“Kapalnya sudah jalan sehabis subuh tadi Bang Syu,” ucap Hasan yang biasa kami panggil Pak Desa dengan suara lesu. Rencananya kami ingin pergi bersama menuju Pangkep. Setelah menghubungi beberapa warganya semalam, kami dijanjikan bisa ikut menumpang kapal salah satu warganya jam sembilan pagi. Salah satu keresahan tinggal di pulau adalah seperti ini, tidak ada transportasi reguler. Semua serba tidak pasti. Hanya bisa mengharapkan tumpangan, ikut kapal-kapal warga.
“Saya coba carikan kapal lagi semoga hari ini ada yang pergi,” Pak Desa masih tetap berusaha meyakinkan saya. Kami berdua memang perlu ke Pangkep. Dia ada pertemuan di sana. Sedangkan saya mesti mencari sinyal dan listrik yang stabil. Kondisi listrik di pulau sudah berbeda dengan 2 tahun lalu saat pertama saya tinggal di sini. Listrik di Kapoposang menggunakan solar panel terpadu yang dihubungkan ke tiap-tiap rumah. Dulu, jika kondisi cuaca bagus kami masih dapat menikmati dari pukul 6 sore hingga pukul 5 pagi. Sekarang dapat menyala 3 jam saja sudah bersyukur. Bagi warga pulau tidak menjadi masalah, tapi bagi saya yang mengandalkan listrik untuk menyalakan laptop ini menjadi persoalan. Laptop tua baterai penyimpanannya tak bisa diandalkan. Mau memakai genset boros di bensin.
Langit cerah, laut tenang dan berita baik pun datang. Sejam setelah janji Pak Desa ucapkan kami mendapatkan info di Pulau Pandangan ada kapal pa’gae yang akan menuju Makassar pukul 2 siang nanti. Kapal pa’gae atau kapal pukat jaring memang selalu membawa hasil tangkapan ikan mereka dari laut menuju Makassar.
Setelah makan siang, kami bersiap menuju kapal pa’gae yang berlabuh depan Pulau Pandangan. Wilayahnya masih satu desa dengan pulau Kapoposang jaraknya hanya 1,2 mll. Kapal yang kami tumpangi milik Haji Jafar, nama kapalnya Safa Marwah 03, Haji Jafar memiliki 4 kapal pa’gae, beliau memang salah satu tokoh di pulau Pandangan yang cukup sukses menjadi nelayan. Si empunya kapal belum tiba tapi kami sudah berada di kapalnya. Selain kami ada 6 orang lagi yang ikut menumpang ke Makassar.
Kapalnya berwarna putih dengan bobot 30 GT, panjang 20 meter dan lebar 5 meter. Untuk ukuran masih relatif tidak jauh berbeda dengan kapal-kapal pa’gae lainnya. Tapi untuk urusan mesin boleh diadu, biasanya kapal lain memakai mesin dengan 6 silinder, kapal Safa Marwah 03 memakai mesin dengan 8 silinder. Otomatis waktu tempuhnya jadi lebih cepat daripada kapal lainnya.
Haji Jafar datang tak lama kemudian. Dengan membawa istri dan 3 orang anak buah kapal. Tidak full team yang biasanya bisa sampai 11 orang jika saat mencari ikan. Setelah memberi aba-aba, pasukan kecil Haji Jafar ini dengan mudahnya menyalakan mesin, memutar haluan, dan mulai berlayar ke arah timur. Baru saya tahu kemudian kalau mereka ke Makassar hanya untuk membeli balok-balok es. Ada 250 balok es yang akan dibeli, Mereka akan menyimpannya dalam 5 kotak besar untuk persiapan menjaring ikan nantinya.
Para ibu dan anak-anak beristirahat dengan nyaman dalam ruang kemudi yang cukup lapang. Sedangkan kami para lelaki berkumpul minum kopi dan mengobrol lepas diayun ombak depan anjungan kapal.
Dari obrolan itu saya jadi lebih mengenal sosok Haji Jafar, saya tak bisa membayangkan bapak tua berumur 60 tahunan, bertubuh kecil dengan peci kupluk, bercelana pendek dan memakai sendal jepit ini ternyata dibalik suksesnya menjadi nelayan ada juga jejak-jejak kelucuannya. Untuk urusan keluarga, tiap kali akan ke Makassar Haji Jafar selalu menyertakan istrinya untuk ikut serta. Kata Pak Desa kalau jaman sekarang istilahnya “bucin”.
Haji Jafar juga ternyata orangnya sangat cuek, pernah ketika jalan di sekitar pelabuhan dan duduk depan salah satu supermarket dia diusir karena penampilannya yang dianggap kumal. Dan beliau dengan santainya pergi tanpa protes atau marah. Ada juga cerita soal Haji Jafar ternyata mempunyai mobil keluaran terbaru tapi tidak pernah dipakai. Alasannya lebih enak naik pete-pete (sebutan angkot di Makassar) tinggal sewa seharian bebas pergi kemana saja, ada yang nyupirin pula. Lalu mobil barunya? Dianggurin saja di rumah kenalannya.
Yang cukup membuat saya takjub adalah usaha dia selama ini tidak memakai pinjaman bank atau dari orang lain. Semuanya murni hasil jerih payahnya sendiri. “Jangan terlalu sombong pakai duitnya orang,” begitu ungkapnya.
Obrolan kami berakhir saat kapal mulai masuk ke area Pelabuhan Paotere. Kami datang dengan berbagai teriakan penyambutan. Menyambut kedatangan kapal Haji Jafar seperti pulang dari medan perang.
Saya berpamitan dengan Pak Desa dan Haji Jafar, mengucapkan terima kasih atas tumpangannya. Setelah keluar dari pelabuhan sembari menunggu jemputan saya melihat kesana kemari. Bergumam dalam hati “supermarket mana ya yang mengusir Haji Jafar?”
Kenali Indonesiamu lebih dekat melalui Instagram dan TikTok kami.
Tertarik buat berbagi cerita? Ayo kirim tulisanmu.
Berimajinasi seperti anak-anak, bersemangat ala pemuda, dan bijaksana layaknya orang tua.