Pernah terpikir nggak, bahwa bumi kita yang berumur sudah sangat tua, harus menanggung beban yang sangat berat akibat perbuatan manusia modern. Over populasi, krisis sumber daya alam, hingga krisis kemanusiaan yang mengakibatkan perang tak berkesudahan. Seandainya bumi ini Made in China, mungkin sudah meledak jauh sebelum kita ada.
Dari pelbagai macam situasi genting yang dihadapi bumi, yang tidak boleh dianggap remeh adalah perubahan iklim. Kalau menurut PBB, definisi perubahan iklim mengacu pada perubahan suhu dan pola cuaca dalam jangka panjang, yang semakin melaju seiring aktivitas manusia yang semakin modern. Negara kita adalah salah satu negara yang juga menanggung dampak dari perubahan iklim; mulai dari hilangnya habitat satwa, bencana alam, hingga kekurangan pangan.
Badan Nasional Penanggulangan Bencana dalam rilisan data mengenai bencana di Indonesia sepanjang 2021 mencatat ada sekitar 3.034 bencana dengan rincian; gempa bumi sebanyak 31 kali, kebakaran lahan dan hutan sebanyak 15 kali, erupsi gunung 1 kali, banjir sebanyak 1.279 kali, tanah longsor sebanyak 621 kali, gelombang pasang dan abrasi sebanyak 43 kali, dan cuaca ekstrim sebanyak 779 kali.
Dari data di atas dapat kita analisis bahwa bencana yang terjadi dengan sebab alamiah hanya satu kali yakni erupsi gunung. Sisanya? Tidak lain adalah akibat dari perubahan iklim dan lingkungan yang semakin cepat.
Sebagai pemilik ekosistem vegetasi pesisir terbesar di dunia—utamanya mangrove—seluas 3.237.000 ha, Indonesia harusnya dapat terus mempertahankan serta menambah luas hutan mangrove sebagai salah satu upaya mengurangi laju perubahan iklim. Namun nyatanya keberadaan hutan mangrove terancam oleh kegiatan pembangunan di pesisir yang tidak lagi memperhitungkan dampak lingkungan sekitar, seperti pemanfaatan tambak udang yang merusak habitat mangrove, juga pengambilan mangrove sebagai bahan kayu bakar.
Padahal dalam rangka mengurangi laju perubahan iklim, hutan mangrove juga berperan besar untuk penyerapan karbon sebanyak 4 gigaton hingga 12 gigaton karbon per tahun. Untuk itulah, ekosistem pesisir—yang meliputi mangrove dan padang lamun—kerap kali juga disebut sebagai karbon biru (blue carbon) yaitu karbon yang disimpan dan diserap oleh ekosistem tersebut.
Apa yang bisa kita lakukan untuk memperlambat perubahan iklim?
Salah satu cara yang paling populer untuk menyelamatkan lingkungan adalah dengan ikut serta menanam mangrove. Banyak komunitas yang menawarkan penanaman mangrove dengan perawatan yang benar dan tanpa kita harus pusing memikirkan alurnya. Tidak mau ketinggalan, TelusuRI menginisiasi pembentukan ‘Pendekar Lingkungan’ sebagai komitmen dalam menyeimbangkan jejak karbon dari segala aktivitas manusia.
Pendekar Lingkungan adalah sebuah kampanye yang mengajak kamu untuk berkontribusi dalam meredam laju perubahan iklim dengan menyeimbangkan emisi karbon yang dihasilkan oleh kegiatan manusia melalui pengelolaan karbon biru di sepanjang pesisir, salah satunya adalah dengan menanam mangrove dan terumbu karang. Dengan menanam satu mangrove saja, kamu sudah berkontribusi untuk penyerapan karbon sebesar 39,53 g per pohon.
Lokasi yang ditargetkan untuk sesi penanaman mangrove kali ini adalah Tambakrejo, sebuah dusun paling utara di Kelurahan Tanjungmas, Kecamatan Semarang Utara, Kota Semarang. Sebagai dusun yang terletak di pesisir Kota Semarang, banyak penduduk yang menggantungkan hidupnya pada laut dengan berprofesi sebagai nelayan ataupun yang tidak jauh-jauh dari laut–seperti pedagang ikan atau buruh. Hasil laut yang terkenal dari dusun ini adalah berbagai jenis kerang dan ikan seperti ikan bandeng dan kerang hijau
Ayo jadi bagian dari Pendekar Lingkungan!
Laut yang selama ini menjadi tumpuan nelayan Tambakrejo untuk menghidupi keluarganya, kini mulai mengancam masa depan. Ombak Laut Jawa secara perlahan mengikis daratan Tambakrejo dan mengancam tempat tinggal mereka karena jarak pantai dengan pemukiman yang semakin dekat.
Tambakrejo dalam beberapa kesempatan sering kali mengalami banjir rob karena ketinggian permukaan tanah yang hanya berjarak 1 meter dari permukaan air laut. Ditambah permasalahan lainnya seperti perkampungan yang kumuh dan sampah yang tidak tertanggulangi, membuat Tambakrejo seperti tinggal menunggu waktu sebelum makin tenggelam.
Untuk itu, berkolaborasi dengan LindungiHutan melalui kampanye alam, kami akan melakukan penanaman pohon Mangrove Rhizophora sebagai salah satu upaya untuk mencegah abrasi. Akar Mangrove memiliki kemampuan untuk menahan dan mengendapkan lumpur sehingga mampu menahan laju ombak yang mengikis daratan. Hingga tahun 2021, LindungiHutan telah menanam 29507 pohon dalam 3,2 ha area dan menyerap 4 ton CO2 ekv.
Ayo bergabung menjadi Pendekar Lingkungan untuk mendinginkan bumi dengan menanam mangrove. Kontribusi kita sangat berarti untuk menghambat laju perubahan iklim dan kerusakan lingkungan. Semoga langkah kecil ini menjadi pengingat bagi kita untuk terus berupaya menyelamatkan bumi.
Save earth save us!
Kenali Indonesiamu lebih dekat melalui Instagram dan Facebook Fanpage kami.
Tertarik buat berbagi cerita? Ayo kirim tulisanmu.