Perjalanan kali ini saya tempuh bersama beberapa teman yang secara mendadak merencanakan perjalanan pendek “satu hari” di Pulau Semau. Saya yang selalu menyimpan tanda tanya mengenai Semau dan segala isinya, mengiyakan ajakan tersebut. Apalagi, segala keperluan akomodasi dan konsumsi selama di sana sudah ada.

Sematang persiapan kami, sematang itu pula niat dan tekad saya berkunjung ke pulau gersang tersebut. Seorang teman yang pernah ke sana bilang, “Semau pung pante talalu bagus, lu harus pi,” yang artinya “Semau punya pantai sangat bagus, kamu harus ke sana.”

Di dalam perahu menuju Semau/Resti Seli

29 September 2021, pukul 07.00 pagi kami tiba di Pelabuhan Tenau untuk menumpang perahu motor menuju Semau. Awalnya, kami ingin menggunakan Kapal Feri di Pelabuhan Bolok, namun saat itu jadwal keberangkatan kapal agak kesiangan. Kami yang tidak ingin berlama-lama pun memutuskan untuk menggunakan perahu saja. 

Pagi itu terlihat begitu banyak perahu yang berjejer menunggu penumpang. Kami diarahkan oleh seorang bapak untuk menaiki perahunya. Tanpa basa-basi, kami pun langsung mengikuti bapak tersebut dan menyeberang dari dermaga. Setelah itu, motor kami diikat berderet dengan motor penumpang lain. Penyeberangan dengan perahu-perahu yang beroperasi setiap hari ini relatif murah, biayanya sebesar Rp20.000/orang dan Rp10.000/motor.

Sekitar 15 menit kami menunggu hingga perahu penuh dengan penumpang. Setelah itu, perahu berlayar menghantar kami menuju Semau. Saya duduk di tengah, dekat dengan kemudi. Saya melihat bapak  tadi, membelokkan kemudi ke kanan dan ke kiri sembari melihat arah laju perahu. Baling-baling perahu yang berputar kencang, sesekali membuat percikan air laut mengenai pakaian saya.

Perahu mulai menerjang ombak. Dari dalam perahu, terlihat ombak-ombak tersebut menutupi setengah jendela perahu. Saya sempat sedikit ketakutan dan mulai merasakan pusing. Untunglah, perjalanan ini tidak begitu lama. 30 menit kemudian, kami tiba di Pelabuhan Hansisi, Semau. 

Tiba di Pelabuhan Hansisi/Resti Seli

Pulau Semau merupakan pulau kecil yang terletak di sebelah barat Kota Kupang, Nusa Tenggara Timur. Pulau ini terkenal dengan tanahnya yang tandus dan cuaca panas. Namun meskipun begitu, pulau ini memiliki pantai yang apik, salah satu diantaranya yakni Pantai Otan, terletak di Desa Otan.

Setelah bersandar di Pelabuhan Hansisi, kami memulai perjalanan menuju Pantai Otan dengan waktu tempuh sekitar 45 menit perjalanan. Saat melintas, sedang ada perbaikan jalan sehingga perjalanan tidak begitu lancar. Keringat menetes di sela kepala, cuaca semakin terik membuat kami lelah. Meski begitu, beberapa ruas jalan yang sudah diperbaiki bak menjadi oase di perjalanan ini.

Ada pepatah berbunyi “Bersusah-susah dahulu, bersenang-senang kemudian.” Begitulah rasanya setelah tiba di rumah yang kami tempati sementara. Ternyata, rumah ini hanya berjarak sekitar 50 meter dari Pantai Otan. Sebelum ke sana, kami memutuskan untuk berendam terlebih dahulu di sebuah kolam yang berada tak jauh dari rumah. Cuaca siang itu sangat terik, kami butuh menyegarkan diri.

Kolam Ui’Simu

5 menit kemudian kami sampai ke sebuah kolam yang bernama kolam Ui’Simu. Susana sangat sepi, pepohonan di sekelilingnya Kolam tersebut sangat sepi. Ditumbuhi banyak pepohonan. Kami masuk dengan leluasa lalu mulai berenang.

Awalnya saya tidak melihat ada penyu. Namun, setelah berenang lebih jauh, saya melihat penyu besar yang juga berenang di samping. Ini kali pertama saya melihat penyu. Maka dari itu, saya sempat terkejut dan keluar dari kolam. Saya duduk di sebuah bangku dan melihat ada beberapa penyu yang keluar dan menampakan diri ke permukaan air. Penduduk di sini bilang, jangan pernah menyentuh penyu-penyu tersebut. Oleh karenanya, saya memandangnya saja.

Air kolam berasal dari resapan air laut. Sehingga, apabila laut surut maka air kolam akan menyusut. Bila laut pasang, air kolam akan bertambah. Kolam ini dikelilingi oleh bebatuan karang yang tajam. Selain itu, penyu menggunakan celah antar batu karang sebagai tempat persembunyian.

Serangan terik matahari yang membakar kulit, terobati dengan rindangnya Ui’Simu.

Makan jambu air

Menyantap jambu air di rumah warga/Resti Seli

Seorang masyarakat mengajak kami untuk berkunjung ke salah satu rumah penduduk, tak jauh dari Ui’Simu usai kami berenang. Sesampainya di sana, kami makan buah jambu air yang sedang musim-musimnya saat itu. Sambil menyantap, kami berbincang-bincang dengan salah seorang ibu. Dia menceritakan kepada kami mengenai Semau.

Saya mendapatkan dua hal yang cukup mengejutkan. Pertama, di Semau belum ada mall dan pasar. Sehingga, apabila ingin membeli pakaian atau kebutuhan lainnya, masyarakat di sini harus menyebrangi laut menuju Kupang.

Kalau untuk kebutuhan sayur-mayur dan bumbu dapur, biasa membeli dari orang yang menanam di kebun atau yang menjualnya di kios-kios kecil. Kedua, kebutuhan air sangat mahal. Satu tangki air dipatok harga ratusan ribu. Berbeda dengan di Kupang, yang harganya sekitar Rp75.000,00.

Siapa yang tahu, di balik keindahannya, Semau punya “perjuangan” yang harus dihadapi para penduduknya. Saya hanya dapat terus berdoa dan berharap, agar Semau dapat selalu memperjuangkan dirinya, untuk bertahan dan semakin menjadi lebih baik kedepannya.

Berdamai dengan Diri Sendiri di Pantai Otan

Berhubung waktu telah menunjukkan pukul 16.00 WITA, saya dan teman-teman bergegas memacu kendaraan kami menuju Pantai Otan. Perjalanan kurang lebih memakan waktu sekitar 10 menit, deburan ombak Pantai Otan dan sebuah papan bertuliskan “OH, JELAS TENTRAM, AMAN, NYAMAN” kemudian diikuti “Otan Beach” lalu menyambut.

Otan memiliki pasir pantai yang benar-benar putih, halus, dan bersih. Saya memilih berjalan menyusuri pantai tanpa mengenakan alas kaki. Pasir-pasir pantai yang menyusut ke cela-cela jari kaki terasa lembut. Saya melihat dua ayunan yang terbuat dari kayu, menghadap langsung ke arah pantai. Ada juga lopo yang berjajar rapi namun rusak di beberapa bagiannya karena badai Seroja April 2021 lalu.

Senja di Pantai Otan/Resti Seli

Saya duduk di atas ayunan dan terpaku melihat ombak yang tenang, sejenak merasakan semilir angin. Saya kemudian melakukan kontemplasi. Menyadarkan diri untuk berdamai dengan diri sendiri.

“Resti!” Teriak salah satu teman memanggil saya. Mengakhiri refleksi singkat di kepala. Saya bergabung dengan mereka. Memotret kenangan yang nantinya akan kami rindukan. Karena langit semakin gelap, kami memutuskan untuk pulang dan membersihkan diri. Kemudian beristirahat, memulihkan tenaga untuk pulang kembali ke Kupang.

30 September, 06.00 pagi, kami sudah memacu motor menuju Pelabuhan Hansisi untuk mengejar jadwal kapal feri yang akan melaju pada pukul 08.00 menuju Kupang. Perjalanannya sama seperti waktu kedatangan kami, melewati jalan berbatu, tanah putih, dan aspal mulus. Pukul 07.00 kami tiba di pelabuhan. Kami menunggu beberapa saat kemudian feri datang. Terlihat kendaraan besar naik ke kapal terlebih dahulu, baru setelahnya kendaraan kecil.

Kapal mulai berlayar, saya meninggalkan Semau dan kenangannya di sana. Kurang lebih satu jam, kapal bersandar di Pelabuhan Bolok. Menandakan kami telah tiba kembali di “rumah.”


Kenali Indonesiamu lebih dekat melalui Instagram dan Facebook Fanpage kami.
Tertarik buat berbagi cerita? Ayo kirim tulisanmu.

3 komentar

Yani Leo 17 April 2022 - 19:27

Kerenn Non❤

Reply
anang sarjiyanto 21 Agustus 2022 - 21:57

Semoga bisa sampe kesana suatu saat nanti. Aamiin

Reply
Resti Seli 24 September 2022 - 12:05

kalau kesini kontak aku ya

Reply

Tinggalkan Komentar