Semenjak mengikuti isu krisis iklim dan kerusakan bumi, saya jadi tergerak untuk melakukan perubahan dalam keseharian. Tak ingin menjadi penyumbang efek buruk untuk lingkungan. Berusaha aktif menambah wawasan dengan ikut seminar, baca artikel, dan menonton tayangan dalam upaya penyelamatan bumi. Sedikit-sedikit saya coba praktekkan mulai dari membawa botol minum sendiri, membawa tempat makan, dan juga tas belanja. Apalagi semenjak COVID-19 merebak, keinginan untuk menyiapkan peralatan makan sendiri saat berpergian menjadi semakin tinggi.
Tak hanya itu, di rumah, saya juga mencoba memisahkan sampah organik, anorganik, dan sampah baterai. Namun sayangnya, rumah saya hanya punya satu bak pembuangan sampah, yang mana petugas sampah akan mengambil sampah dari tempat tersebut. Mereka kembali menjadikan satu sampah-sampah yang sudah saya pisahkan. Lalu, muncul pertanyaan di hati saya, “Apakah petugas sampah yang bukan dibawah unit kedinasan tidak dibekali pengetahuan dalam memisahkan sampah?”
Semakin hari pengetahuan saya bertambah, sampai suatu hari saya menemukan informasi mengenai penggunaan pembalut kain. Membaca ulasan tersebut, mengantarkan saya pada cerita masa lalu saat saya pertama kali datang bulan. Saat itu, saya berusia 12 tahun dan tidak tahu apa-apa tentang ‘tamu bulanan.’ Nenek membuatkan saya pembalut kain yang beliau jahit sendiri. Supaya pembalut tersebut tidak berubah posisi, nenek memasang semat atau peniti. Namun selang beberapa bulan, penggunaan pembalut kain ini tidak nyaman karena setelah dicuci terasa lebih kasar dan keras.
Setahu saya, pembalut kain sendiri sudah digunakan dari zaman dahulu. Seiring dengan perkembangan zaman, pembalut kain mulai ditinggalkan. Sebagian besar perempuan beralih menggunakan pembalut sekali pakai karena lebih praktis.
Pro dan kontra antara pembalut kain dan pembalut sekali pakai pun menjadi bahan perdebatan. Mulai dari faktor kesehatan, biaya, efisiensi dalam pemakaian, cara perawatan, dan bahan baku yang ramah lingkungan.
Jika dibandingkan, pembalut kain punya beberapa kelebihan yakni hemat biaya, bahan baku ramah lingkungan, mengurangi penumpukan sampah yang sulit didaur ulang, dan lebih sehat asal tetap memperhatikan kebersihan genitalia agar tidak menjadi pemicu untuk tempat bakteri berkembang biak.
Perempuan pada umumnya mengalami menstruasi pertama yang disebut menarche pada usia 11 sampai 14 tahun. Menstruasi akan berlangsung setiap bulan dan akan berakhir saat fase menopause. Jika dihitung rata-rata perempuan akan menstruasi sekitar 400 kali hingga menopause tiba. Dalam satu bulan, menstruasi berlangsung selama 5 hingga 7 hari dan perempuan membutuhkan sekitar 42 pembalut. Sementara itu, satu lembar pembalut sekali pakai akan mengurai dan hancur hampir 400 tahun. Saya sendiri tak sanggup membayangkan jika semua perempuan yang sudah menstruasi menggunakan pembalut sekali pakai, betapa lelahnya bumi ini mengurai sampah pembalut kita.
Dewasa ini, sebagian besar perempuan menyadari efek buruk dari sampah-sampah yang mereka hasilkan, pentingnya menjaga bumi dengan konsisten membangun kebiasaan hidup berkelanjutan. Salah satu caranya yakni dengan beralih pada penggunaan produk-produk ramah lingkungan seperti pembalut kain.
Saya lalu menelusuri laman e-commerce, menemukan banyak sekali pembalut kain dengan pelbagai macam motif, warna, dan harga Masing-masing produk mempromosikan keunggulan dan cara perawatan. Sebagai calon pembeli saya cukup mudah memahami produk ini dan semakin yakin untuk beralih menggunakan produk ini.
Pernah sekali terlintas di kepala, kenapa sampah pembalut ini tidak dibakar saja supaya tidak menumpuk. Ternyata, membakar sampah pembalut bukanlah menjadi solusi. Hal ini justru menimbulkan masalah baru: memperparah pencemaran lingkungan karena asap dari sampah tersebut mengandung kimia berbahaya yang menyebabkan gangguan kesehatan seperti ISPA, kanker, pembengkakan hati dan gangguan sistem saraf jika terhirup manusia.
Setelah berhari-hari mencari pembalut kain di salah satu e-commerce. Saya memutuskan untuk memesan produk handmade buatan seorang penjahit perempuan asal Yogyakarta, beliau menjahit pembalut sesuai dengan prapesan dari pembeli. Ada pelbagai macam ukuran pembalut yang ditawarkan sesuai dengan flow menstruasi masing-masing pengguna. Tersedia ukuran L, M, dan yang paling kecil S. Warnanya dan motif juga beragam.
Setelah memesan beberapa pembalut, saya sempat ngobrol via chat dengan penjahit yang menyebut namanya Rani. Ia bercerita, pada mulanya hanya menjahit untuk kebutuhan sendiri sebagai tanda cinta untuk organ reproduksi. Kemudian hatinya terpanggil untuk mengajak perempuan lain agar beralih pada produk yang lebih ramah lingkungan dengan cara menjual pembalut hasil jahitannya.
Hampir satu minggu kemudian, pembalut kain hasil karya Rani tiba. Terbungkus sebuah kotak karton, dan tidak ada selembar lakban plastik menempel pada paket ini. Kardusnya bisa saya gunakan kembali, atau bisa juga mendaur ulangnya. Di dalamnya terdapat sebuah kertas berisi tentang banyak tips, cara mencuci pembalut, cara perawatan, dan cara pemakaian.
Satu hal yang paling menjadi perhatian saya adalah pembalut kain biasanya kaku dan keras setelah dicuci. Setelah belasan tahun lamanya, saya mendapat jawabannya. Ternyata, jika pembalut kain kaku setelah dicuci, artinya masih ada residu sabun yang menumpuk. Rani menuliskan solusinya, ada dua cara. Pertama rendam dengan air dingin selama 30 menit, dan kedua tambahkan sedikit baking soda kemudian bilas hingga residu busa hilang.
Kita sebagai perempuan bisa melakukan berbagai kebaikan untuk bumi, mulai dari hal sederhana. Kamu, kapan memulainya?
Kenali Indonesiamu lebih dekat melalui Instagram dan Facebook Fanpage kami.
Tertarik buat berbagi cerita? Ayo kirim tulisanmu.
Atika Amalia yang kini tinggal di Jakarta. Disela-sela kesibukannya sebagai Ibu Rumah Tangga, Atika juga menekuni hobi fotografi.