Boyolali, yang tidak lain adalah suatu kabupaten yang berada di kaki Gunung Merapi-Merbabu dapat dengan mudah ditemukannya kawasan wisata. Mulai dari wisata sejarah, wisata alam, wisata budaya, hingga wisata pertanian dapat dijumpai di pelbagai sudut wilayahnya. Bahkan di wilayah eks Karesidenan Surakarta ini, kita bisa dengan mudah berkunjung ke tempat wisata wisata sejarah sekaligus wisata alam di satu titik yang sama. Umbul Leses, salah satunya.
Di kawasan Umbul Leses pengunjung bisa menikmati suasana pedesaan yang masih asri sekaligus belajar dari legenda yang melekat di baliknya. Apalagi sebagai sumber mata air, masyarakat yakin dan percaya bahwa setiap umbul memiliki nilai luhur tersendiri di dalamnya. Hal ini karena bagi masyarakat, air adalah salah satu unsur terpenting dalam kehidupan manusia dan alam semesta. Ada umbul yang digunakan sebagai tempat melakukannya berbagai ritual keagamaan, pengairan lahan pertanian, sebagai tempat rekreasi masyarakat, hingga sarana pelestarian budaya.
Umbul Leses ini juga memiliki nilai tersendiri, apalagi secara geografis, Umbul Leses tidak jauh dari kawasan Pengging yang konon dulunya merupakan kerajaan yang memilih moksa saat Kerajaan Majapahit runtuh. Sehingga esensi sejarah tidak jauh dari eksistensinya.
Meski di Kabupaten Boyolali, khususnya di kawasan Pengging terdapat banyak umbul, Umbul Leses tidak sama dengan umbul yang lain. Berbeda dari biasanya yang lebih cenderung mengoptimalkan sebagai tempat pemandian, Umbul Leses lebih dikenal sebagai wisata ziarah.
Umbul yang berada di jalan utama Sawit-Pengging Banyudono ini memiliki kisah unik. Bagi masyarakat sekitar, pengunjung boleh percaya maupun tidak, akan legenda yang tumbuh secara gethok tular di telinga masyarakat.
Kabarnya dahulu di sekitar umbul hanya ada dua pohon leses setinggi 50 m dengan diameter dua hingga tiga meter yang usianya lebih dari satu abad. Kala itu, saat di Dukuh Soko, Desa Jenengan, Kecamatan Sawit masih berupa hutan, terdapat sepasang pengantin baru yang beristirahat dari perjalanan panjangnya tak jauh dari tempat Umbul Leses berada.
Dalam istirahat mereka, ketika sang suami ingin melanjutkan perjalanan, sang istri meminta untuk tetap istirahat beberapa saat lagi dan berkata “esshh mengko disik!”—yang artinya nanti dulu. Tak berselang lama kemudian keadaan menjadi terbalik, saat sang istri meminta untuk melanjutkan perjalanan, kala itu sang suami malah gantian meminta istrinya untuk tetap istirahat dan berucap kalimat yang sama seperti istrinya tadi.
Akibat perbedaan pendapat tersebut sepasang suami istri yang baru menikah itu kemudian cekcok besar, hingga keduanya berubahlah menjadi sepasang pohon leses. Semenjak saat itu pohon leses yang ada di umbul leses bertambah menjadi empat pohon. Nama leses yang melekat pada penamaan umbul ini tidak lepas dari salah satu jenis pohon yang dikenal oleh masyarakat sekitar.
Letak sumber mata airnya sendiri tepat berada di antara dua pohon leses yang konon merupakan penjelmaan dari sepasang pengantin tersebut. Sumber air yang mengalir di berada di sela-sela akar tunggang dari empat pohon besar yang tumbuh di sekitar umbul. Umbul Leses juga memiliki nuansa yang teduh di bawah rindangnya pepohonan yang tumbuh menjulang di kawasan umbul, ditambah sepinya kunjungan wisatawan.
Pada zaman penjajahan Belanda, pohon leses tersebut pernah menjadi tempat persembunyian masyarakat dari kejaran bala tentara Belanda. Hal ini lantaran ukurannya begitu besar untuk bersembunyi. Kini oleh masyarakat sekitar, Umbul Leses kerap digunakan untuk mencuci pakaian, dan biasanya juga digunakan untuk ciblon anak-anak saat di luar jam sekolah seperti waktu sore hari maupun saat hari libur tiba.
Akses menuju Umbul Leses ini pun tidak sulit, letaknya hanya sekitar 1,7 km dari pusat Kawasan Sejarah Pengging Handayaningrat. Dari arah Alun-alun Pengging, pengunjung dapat terus mengikuti arah jalan hingga menemui gapura tanpa kala makara yang tersusun dari batu-bata yang merupakan pintu masuk umbul. Kalau kebingungan, pengunjung bisa tanya langsung dengan masyarakat sekitar.
Dari gapura tersebut pengunjung dapat langsung menuruni anak tangga menuju umbul yang tinggal beberapa langkah. Pengunjung juga tidak perlu membayar tiket masuk karena Umbul Leses gratis untuk masyarakat umum, siapapun yang mengunjunginya. Kalau mau ciblon dan keceh juga boleh. Pengunjung hanya perlu membayar parkir saja, itu pun kalau ditarik biaya parkir oleh masyarakat yang jaga parkir.
Paling penting, pengunjung harus tetap menjaga kebersihan lingkungan dan selalu membuang sampah pada tempatnya. Lalu, jangan juga mencoret-coret pepohonan yang ada di sini karena bagaimanapun tumbuhan itu juga makhluk hidup. Sedih rasanya, melihat pepohonan leses sudah banyak tercoret akibat ulah pengunjung “iseng”.
Pada tanggal 9 Januari 2020 lalu angin kencang sempat menumbangkan salah satu pohon leses. Kemudian di tanggal 7 September 2021, satu pohon lagi ikut tumbang. Warga sekitar sempat terkejut arena pohon tersebut tumbang secara tiba-tiba, tidak ada angin kencang maupun cuaca buruk. Walhasil pohon yang ambruk itu melintang ke barat dan sempat menutup akses Jalan Sawit-Pengging. Meski telah mengalami perubahan akibat tumbangnya pohon yang berusia ratusan tahun itu, Umbul Leses tidak kehilangan nilai sejarah dan kepercayaan yang hadir di lingkungan masyarakat sekitar.
Kenali Indonesiamu lebih dekat melalui Instagram dan Facebook Fanpage kami.
Tertarik buat berbagi cerita? Ayo kirim tulisanmu.