Perjalanan, kata yang menyihir semua orang. Perjalanan banyak dimaknai sebagai kata yang bergantung pada perpindahan fisik dari satu tempat ke tempat lain. Beberapa lainnya memaknai sebagai perpindahan rohani, dari gersangnya hati menuju oase penuh pengalaman. Perjalanan, apapun maknanya, selalu meninggalkan kesan yang mendalam. Mendorong manusia mengalami perubahan fisik, sudut pandang, hingga pola pikir.
Beberapa waktu lalu, TelusuRI mendapatkan dukungan dari Kemenkumham, Friedrich Naumann Foundation, dan juga Climate Institute untuk menyelenggarakan Sekolah TelusuRI yang kali ini mengambil Perjalanan Lestari sebagai tema besar dalam acara SENYAWA+ 2021.
Lokakarya “Perjalanan Lestari” ini merupakan pelatihan pembuatan video bertemakan lingkungan yang ditujukan bagi para pejalan dan penggiat konten media sosial. Rangkaian acara ini dibuka dengan ‘Opening Talks: Jauh – Dekat Perjalanan Lestari’ dengan menghadirkan sosok wanita-wanita inspiratif yang berbagi ilmu mengenai perjalanan dan lingkungan diantaranya Byanmara, Sr. Social Impact & Carbon EcoTrip Manager; Jovita Ayu yang merupakan Travel Influencer serta Blogger; Oke Fifi yang menjabat sebagai Unit Inovasi Lestari di Lingkar Temu Kabupaten Lestari; dan Putri Potabuga sebagai Director di Climate Institute.
Mereka berempat memberikan banyak sekali insight dan pengalaman masing-masing seputar isu lingkungan dan pariwisata yang nantinya akan dikemas oleh peserta menjadi konten video edukasi.
Ketika seseorang telah meninggalkan tempat perjalanannya, maka tempat itu kan lebih baik setelah kita tinggalkan.
— Didi Kasim, Editor At Large at Grid.id Network, Editor in Chief of National Geographic.
Menjadi Pejalan Bijak
Sesi pertama dibuka oleh Jovita Ayu. Pengalamannya sebagai penulis perjalanan, konsultan perjalanan dan juga advokat untuk Wonderful Indonesia membuatnya sangat mengetahui seluk beluk kondisi pariwisata Indonesia.
Jovita pun memberikan insight bahwa kita sebagai pejalan, punya peran untuk menjaga tempat yang dikunjungi. Salah satu cara untuk kita dapat berkontribusi, ya dengan menjadi pejalan bijak.
Menurut Jovita hal penting pertama yang harus diperhatikan untuk menjadi pejalan bijak adalah etika. Setiap tempat ada etika tersendiri yang mungkin saja berbeda jauh dengan kebiasaan kita. Etika inilah yang harus dijunjung lebih dahulu ketika berada di suatu tempat.
Selanjutnya adalah mengeksplor budaya setempat.
Seperti kata pepatah “When in Rome, do as the Romans do.” Interaksi yang kita lakukan dengan penduduk lokal akan menumbuhkan kesadaran bahwa tidak ada budaya yang superior. Apalagi budaya Indonesia sangat beragam, mempelajari budaya tempat yang kita kunjungi akan membuat kita sadar; Indonesia memang kaya budaya.
Lalu, biasanya ada yang kurang kalau kita bepergian ke suatu tempat tanpa membeli oleh-oleh. Nah, ternyata tidak hanya sekedar buah tangan, oleh-oleh bisa mendatangkan manfaat ekonomi lokal lho. Dengan membeli oleh-oleh dari produk lokal, kita mendukung perputaran ekonomi di sana.
Hal lain yang ditekankan Jovita yakni sebagai pejalan, kita juga harus bertanggung jawab kepada lingkungan. Katanya, diri kita sendiri harus bisa merubah kebiasaan kecil seperti membawa tumbler air, membuang sampah pada tempatnya, mengurangi plastik sekali pakai. Hal-hal seperti ini terlihat sepele, tapi dampaknya sangatlah besar apabila semua orang mempraktekannya.
Dampak Perjalanan pada Perubahan Iklim
Penelitian University of Sydney dan University of Queensland menunjukkan bahwa turis menghasilkan sebanyak 8% dari total karbon dunia. Tak dipungkiri, banyak orang nggak sadar kalau perjalanan yang dilakukan, berdampak pada perubahan iklim. Ini karena setiap perjalanan meninggalkan jejak yang tidak terlihat, yakni jejak karbon—yang jenisnya bermacam-macam seperti karbon dioksida dan gas rumah kaca.
Contoh sederhananya, perjalanan membutuhkan transportasi untuk sampai ke tempat tujuan. Transportasi sendiri, menggunakan bahan bakar fosil yang menghasilkan emisi gas buang.
Nggak hanya itu, pola konsumsi kita juga berperan besar terhadap perubahan iklim.
“Salah satu jejak karbon adalah pemakaian energi yang berlebihan. Misalnya saja distribusi jejak karbon dalam satu cangkir kopi, kalau dilihat ini sangat banyak [jejak karbon] mulai dari perkebunan, pengolahan, pengiriman dan lainnya,” papar Putri Potabuga.
Jejak karbon berlebih tentu berakibat pada perubahan iklim, yang selain mengancam kehidupan, juga mengancam sektor pariwisata itu sendiri. Oleh karenanya selain bijak dalam melakukan perjalanan, penting mengubah pola konsumsi untuk berkontribusi dalam upaya mitigasi perubahan iklim.
“Semua harus teredukasi, baik masyarakat perkotaan maupun pedalaman, untuk memastikan jejak karbon ataupun sampah semakin berkurang,” terang Putri.
Ditulis oleh: M. Irsyad Saputra