Kami menengadahkan wajah ke arah langit, seluruhnya tampak gelap dan mencekam, untuk sebentar kemudian gerimis berjatuhan secara ritmis. Padahal, kami memulai pemberangkatan dengan keluhan dan kesangsian tipikal anak-anak urban sebelum melangsungkan vakansi; cuaca terik siang hari.
18 Februari 2021, sekitar pukul 14:20, dengan pakaian yang hampir kuyup, kami tiba di Gua Maria Bukit Kanada. Kamu keliru jika mengira tempat ini berada di titik paling ujung Amerika Utara. Nama Bukit Kanada tak lain akronim dari ‘Bunda Kita Kampung Narindang Dalam’ yang diciptakan oleh Romo St. Sumardiyo, Pr.
Seperti namanya, ruang ziarah dan devosi umat Katolik ini terletak di Kampung Narindang Dalam, Desa Jatimulya, Rangkasbitung. Berjarak tak lebih dari 4 kilometer dari pusat kota, namun gaduh dan riuh aktivitas manusia (raung kendaraan, macet, dan teriakan-teriakan tak perlu) benar-benar tak terdengar sedikit pun.
Sebelum tiba di Gua Maria Bukit Kanada, kami sempat rehat untuk melangsungkan ibadah salat zuhur di Masjid Agung Al-Ar’aaf tepat di alun-alun barat Rangkasbitung. Dengan menggunakan sepeda motor, ditambah tersesat beberapa kali, dalam hitungan 20 menit saja kami telah tiba di tujuan utama. Dalam rentang yang pendek itu, kami melewati satu lagi tempat peribadatan yang rasa-rasanya penting; Vihara Ananda Avalokitesvara.
Kadang-kadang, dengan cara pandang yang agak naif, segala ricuh dan setegang akibat konflik lintas-agama, lebih sering terdengar nyaring dan mendapat tempat justru di jagat maya. Sementara dalam realitas keseharian kita—terutama dalam lawatan singkat ini—sepertinya berjalan kondusif, semua membaur, melebur, dan akur.
Salah satu dari kami misalnya, yang bahkan dipindai sepintas-lalu pun terlihat sebagai penganut Islam yang taat alih-alih jemaat Katolik, senantiasa diterima tanpa waspada dan curiga. Seorang satpam menyapa dengan maksud mengingatkan kami, dengan nada yang agak formal ditambah seulas senyum, “Jangan lepas masker dan silakan cuci tangan,” sembari menunjukkan keran sebagai bagian dari protokol kesehatan.
Dan, ketika membaca gapura dengan tulisan “Gua Maria Bukit Kanada” kami segera dikepung oleh nuansa yang sangat intim sekaligus senyap secara bersamaan.
Saya pribadi bukan tipikal orang yang taat menjalankan ritus agama. Tapi acap kali mendatangi ruang peribadatan—apa pun itu—selalu ada hal-hal yang menyergap dan merayap di hati dan pikiran. Seringnya, soal bagaimana cara adaptasi dan penerimaan satu kelompok masyarakat terhadap alam dan dinamika sosial belakangan.
Gua Maria ini, bagi saya, bukan sekadar pengejawantahan atas Ensiklik Redemptoris Mater yang dikemukakan oleh Paus Yohanes Paulus II pada tanggal 25 Maret 1987. Lebih daripada itu, ia secara jelas tampak sebagai upaya menyelaraskan panggilan religiusitas dan pelestarian alam.
Pohon-pohon yang dirawat agar tetap merindang mengelilingi kompleks peziarahan, ajakan untuk tetap menjaga kebersihan, dan penempatan gedung-gedung yang dibuat presisi dengan kontur tanah yang tak rata, sudah cukup untuk menjadi bukti pendapat saya di paragraf sebelum ini.
Anjing-anjing pemandu
Entah karena suasana wabah, sedang tidak bertepatan dengan hari-hari ibadah, atau disebabkan cuaca yang kurang molek—atau, boleh jadi, gabungan ketiganya—monumen keagamaan yang sarat dengan keheningan ini benar-benar sepi pelancong. Lebih tepatnya, hanya kami berdua.
Beberapa saat setelah terpikat oleh kombinasi antara ornamen-ornamen ciptaan manusia dan bentangan alam yang demikian serasi, di salah satu gazebo yang disediakan untuk rehat para pengunjung, empat ekor anjing meringkuk sembari memperhatikan langkah kami yang terasing dan kikuk.
Digerakkan oleh rasa cemas dan gemas—cemas karena mereka bisa saja menganggap kami sebagai pengusik, gemas karena perangai mereka yang sangat manis—saya berusaha mendekat pada mereka.
Dan, ketika cahaya dari kamera saku menyala untuk mengambil gambar, alih-alih menggonggong atau menunjukkan gelagat berang, mereka justru berlarian ke arah kami. Mereka, dengan cara yang sedikit komikal, mengendus-endus sepatu saya.
Mereka menerima kami. Percayalah, tak ada yang lebih menggembirakan dari penerimaan tulus dari kawan yang baru saja kamu kenal.
Ketika hendak beranjak, mereka terus mengekor langkah kami. Dua di antara mereka bergerak bak pemandu wisata dengan berlenggok di hadapan pemakai jasanya, sementara yang lain berjalan di belakang seperti berusaha ‘mengamankan’.
Setiap kali kami berhenti untuk memotret atau memperhatikan detail, mereka turut menghentikan langkahnya. Saling menubruk tubuh masing-masing, bermain-main, dan tetap dalam kondisi tenang tanpa gonggongan.
Kami tak bisa memastikan, apakah mereka terlatih untuk melakukan hal-hal semacam itu, atau memang Tuhan tengah memberi pelajaran dalam peristiwa wisata kami yang demikian singkat.
Hari menjelang gelap, tiba-tiba gerimis berubah menjadi deras. Kaki kami secara alamiah berlari cepat menuju jalan keluar, mencari tempat berteduh untuk kemudian pulang. Dan, untuk waktu yang agak lama, kami baru menyadari bahwa anjing-anjing pemandu itu turut serta hingga tempat parkir kendaraan.
Sebelum pulang, kami berjanji untuk kembali lagi, entah kapan.
Muhammad Nanda Fauzan, esais dan prosais. Tulisannya dimuat di media daring dan luring, seperti Koran Tempo, Jawa Pos, Media Indonesia, Detik.com, Mojok.co, Voxpop.id, dan lain sebagainya.
2 comments
Terima kasih mas, sdh mampir berkunjung ke Goa Maria Bukit Kanada tuk memperlambat langkah sejenak, menyapa & menyadari kehadiran Tuhan melalui alam semesta flora & fauna. Tuhan berkati & bunda Maria melindungi
terima kasih atas toleransi nya dalam hal beragama dan berkenan mengunjungi tempat berziarah kami umat kristiani. semoga semua umat beragama bisa bertoleransi dan hidup damai berdampingan sesuai dengan kehendak Allah. amin. God Bless Us