Berkutat dengan skripsi memang sungguh melelahkan, menguras banyak energi, dan rawan terkena stres. Karena saat itu saya sedang menunjukkan gejala frustasi. Saya ajak saja teman-teman seperjuangan dan beberapa adik tingkat di kampus untuk sejenak berlibur. “Eh rek, ayo main,” pinta saya penuh harap melalui chat di grup Line. “Kemana?” salah seorang menimpali. “Gak tau, mau searching dulu, pokoknya harus ke pantai,” balas saya sedikit memaksa.
Semua teman sudah hafal betul jika saya sangat suka laut. Mereka manut saja ketika saya meminta untuk berwisata bahari. Setelah menimbang beberapa pantai yang ada di Malang Selatan, pilihan kami jatuh kepada Pantai Watu Leter yang terletak di Desa Sitiarjo, Kecamatan Sumbermanjing Wetan, Kabupaten Malang. Pantai ini berdekatan dengan Pantai Bajulmati dan Pantai Clungup. Kebetulan, kami berenam juga belum pernah ke pantai ini, jadilah kami berangkat mengunjunginya.
Karena kami sudah terbiasa melawat ke beberapa pantai di Malang Selatan, dengan keyakinan tinggi kami optimis untuk tidak menggunakan Google Maps. Tidak sesuai dengan rencana, kami tersesat dan terpisah jalur.
“Hayo, sombong sih,” umpatan meluncur begitu saja melalui mulut saya kepada adik tingkat. Peluh terus mengucur dari balik kerudung karena waktu perjalanan sedikit lebih lama akibat salah jalan. Walaupun begitu, kami tetap melanjutkan perjalanan dengan diawali sambutan dari petugas parkir dan loket pembayaran. Tarif masuk yang dikenakan di semua Pantai Kabupaten Malang terhitung sama, yaitu Rp10 ribu per orang dan Rp5 ribu untuk parkir kendaraan roda dua.
Nuansa sendu di Pantai Watu Leter
Kami segera membawa raga menuju bibir pantai. Saya begitu takjub ketika melihat kondisi pantai yang indah dipandang. Perpaduan air berwarna hijau tosca dan biru sungguh menyejukkan. Segera saya bertelanjang kaki agar merasakan halusnya pasir putih kekuningan. Langit pun membiru, diikuti susunan awan-awan putih. Tidak ada tanda-tanda ia ingin meredup, seakan menyetujui kedatangan kami.
Tak hanya kami, ada banyak manusia lain yang nampak asik berswafoto ataupun sekadar menikmati semilir angin. Matahari semakin meninggi, menjadi pertanda agar kami mencari sebuah tempat bernaung. Seketika kami memasrahkan diri untuk sejenak bersandar di bawah sebuah pohon yang berdiri kokoh. Sinar mentari berusaha menerobos sela-sela rimbunnya dedaunan. Mendengarkan deburan ombak yang begitu keras memecah karang yang ada di depannya. Buih-buih putih bergerombol mendorong diri menuju bibir pantai. “Bagus banget,” teriak salah satu teman diiringi suara nyaring bayu berhembus.
“Pilihanku nggak pernah salah kan?” balas saya membanggakan diri.
Terlihat daun kering berlarian kesana kemari terbawa angin. Mata saya sayup-sayup segera ingin menutup. Karena suasana yang begitu menyejukkan. Namun kantuk segera pudar karena canda tawa teman-teman yang menyambar. Menikmati goresan tangan Tuhan dibarengi dengan mengupas kulit kacang sebagai bekal sangatlah mengasyikkan. Hingga tidak tersadar bahwa handphone tidak lagi terjamah dan terkapar.
Sekadar berjalan mengamati alam sekitar tidak akan membuat penyesalan, karena Pantai Watu Leter menyajikan beragam kemolekan. Saya lalu mencoba mendekat ke arah laut dan membiarkan kaki bersentuhan dengan dinginnya air laut. Seketika ingin rasanya menceburkan diri merasakan kesegaran. Namun itu hanya sebatas keinginan terpancar.
Walau letih telah menampakkan pengaruhnya. Saya tidak ingin menyia-nyiakan menelusuri setiap sisi pantai. Melihat muda mudi bersenda gurau atau mencelupkan badannya ke dalam air. Ada pula yang membiarkan dirinya terbawa gaya gravitasi dan merasakan basahnya pasir pantai. Kaki ini terus menyeret butiran pasir yang melimpah.
Keunikan Pantai Watu Leter
Mata ini kembali menjelajah kesana kemari. Menatap bongkahan batu karang yang tertutup hijaunya pepohonan. Hingga terhenti kepada sebuah batu karang yang memiliki permukaan rata. Penamaan Pantai Watu Leter menggunakan Bahasa Jawa, yang disebabkan oleh datarnya (leter) sebuah batu karang (watu). Warga setempat lebih mengenalnya dengan nama Pantai Ngleter.
Ombak begitu tinggi, membentuk formasi rapi saat menghantam karang, sehingga terlihat tulisan peringatan dilarang berenang. Tak mengapa, masih ada keelokan yang lain. Bibir pantai ini begitu panjang terhampar. Bahkan pantai ini terhubung dengan muara aliran Sungai Sitiarjo. Hingga pemandangan berupa hutan mangrove menjadi suguhan pelengkap. Tersedia pula penyewaan perahu untuk menerobos lebatnya susunan rapi berbagai spesies ekosistem mangrove. Pantai ini juga dikenal sebagai lokasi persinggahan penyu abu-abu. Serta sering menjadi tujuan untuk program pelepasliaran hewan pengelana samudera itu.
Pantai ini tidak hanya menjadi lokasi untuk mampir sebentar menikmati suasana. Ada pula yang mendirikan tenda untuk merasakan hidup bersama alam. Apabila ingin camping diharuskan membayar tambahan biaya Rp3 ribu per motor per hari. Karena masih tergolong asri, fasilitas yang tersedia belum terhitung lengkap. Namun hal inilah yang menjadi daya tarik tersendiri untuk saya khususnya berlama-lama di Pantai Watu Leter.
Melynda Dwi Puspita adalah sebutir pasir pantai asal Probolinggo, Jawa Timur.