Kembali Menyambangi Braga

Sudah sekian lama saya tidak menyambangi Braga. Maka, saat kebetulan sedang berada di kawasan pusat Kota Bandung, pada Ahad pagi, beberapa waktu lalu, saya tak sia-siakan kesempatan untuk mengunjungi Braga.

Posisi waktu menunjukkan pukul 6.47 WIB tatkala saya mulai bergerak menuju Jalan Braga pagi itu, dengan terlebih dahulu harus menyusuri Jalan Naripan dari arah barat. Udara benar-benar sejuk, sangat pas untuk pelesiran.

Jalan Naripan, yang membentang dari barat ke timur, memotong Jalan Braga menjadi dua bagian: Braga pendek di sisi selatan dan Braga panjang di sisi utara.

Braga

Sudah luas diketahui, Jalan Braga adalah salah satu ikon Kota Bandung. Sejumlah sumber menyebut bahwa nama Braga diambil dari kata dalam Bahasa Sunda “ngabaraga”. Arti harfiahnya adalah berjalan menyusuri sungai. Faktanya, Jalan Braga ini memang berada tak jauh dari aliran Sungai Cikapundung yang mengalir berkelok-kelok dan membelah Kota Bandung.

Dulu, ada seorang seniman kecapi yang biasa mangkal di salah satu sudut Jalan Braga. Karena kerap tampil membawakan lagu-lagu milik Rolling Stones, sang seniman, yang aslinya bernama Supeno, kemudian lebih populer sebagai Braga Stones.

Khusus bagi para pecinta seni fotografi film di Kota Bandung, Jalan Braga boleh jadi pula memberi makna dan kenangan mendalam. Di jalan ini sempat berdiri toko dan studio foto yang cukup representatif di zamannya dan menjadi salah satu pilihan utama untuk membeli alat-alat fotografi dan cuci-cetak film.

Koran cetak

Sebelum mencapai Braga, saya perlu singgah sesaat di bursa koran Cikapundung. Saya belum membeli beberapa koran edisi hari itu. Terus terang, meskipun sekarang sudah era digital, di mana segala informasi termutakhir ada dalam gengaman tangan, sebagai generasi zaman old, yang lahir dan besar di era serba manual, saya belum benar-benar bisa sepenuhnya meninggalkan koran cetak.

Braga

Aktivitas pagi saya mesti saja dilengkapi dengan ritual membolak-balik halaman surat kabar. Ada keasyikan tersendiri tatkala beberapa jenak menenggelamkan diri dalam lembaran-lembaran halaman koran. Beruntung, hingga sekarang ini masih ada perusahaan media yang masih konsisten menerbitkan koran cetak—meski semakin hari jumlah halamannya kian sedikit. Koran yang dulunya biasa terbit 32 halaman kini terbit cuma 16 halaman. Yang asalnya terbit 24 halaman, sekarang menjadi 12 halaman—bahkan ada yang dipangkas menjadi 8 halaman.

Begitu sampai di bursa koran Cikapundung, saya membeli tiga koran sekaligus—satu koran terbitan Bandung, dua koran terbitan Jakarta. Saat koran-koran lain menghentikan edisi Minggu-nya, ketiga koran itu hingga sekarang ini masih setia terbit di hari Minggu. Ketiganya juga masih setia memuat cerpen.

Kelar membayar tiga koran, saya pun melenggang ke Braga. Sejumlah pohon tabebuya (Handroanthus chrysotrichus) yang berjejer di kanan dan kiri Jalan Braga terlihat sedang berbunga. Beberapa remaja berlari-lari kecil dari arah utara menuju selatan, melewati sejumlah lukisan yang dipajang di trotoar Braga.

Agak ke selatan, tampak pula seorang bapak sepuh tengah duduk santai sembari merapikan jambangnya yang putih. Di seberang sang bapak, sejumlah pesepeda tengah sibuk menata pose untuk melakukan selfie dan wefie.

Braga

Tak lama, sebuah mobil jenis SUV berwarna putih mengilap melaju perlahan. Mobil itu kemudian berhenti di depan Gedung Sarinah yang kini menjadi sebuah hotel megah. Para penumpangnya turun dan bergegas membuka pintu bagasi untuk menurunkan sejumlah sepeda lipat. Mereka rupanya mau sepedaan hari itu.

Bandung kini hari boleh dibilang menjadi Kota Sepeda, terutama di hari Sabtu dan Minggu. Nyaris di semua ruas jalan di pusat Kota Bandung kita bisa jumpai para pesepeda yang wara-wiri keliling kota.

Setelah sempat sekilas membolak-balik halaman demi halaman ketiga koran yang barusan dibeli, akhirnya saya putuskan untuk beringsut ke sisi paling selatan Jalan Braga, yang mentok ke Jalan Asia-Afrika. Di ruas pertemuan Jalan Braga dan Jalan Asia-Afrika ini, sebuah dokar terparkir sedang mencari muatan. Dua orang perempuan mendekati kusir dokar. Mereka lantas terlibat pembicaraan menegosiasikan tarif dan rute.

Braga Bandung

Berjarak beberapa meter dari dokar yang terparkir, dua sejoli sedang melakukan prewed dengan memilih adegan menyeberangi jalan di atas zebra cross Jalan Asia-Afrika—mirip adegan yang pernah dilakukan para personel The Beatles di Abbey Road, Inggris, puluhan tahun silam. Dua sejoli itu, tanpa terlihat lelah, beberapa kali bolak-balik mengulangi adegan menyeberangi jalan, mengikuti arahan sang juru foto.

Selama kurang lebih dua puluh menit berada di kawasan Braga, sejumlah momen berhasil saya abadikan menggunakan kamera ponsel, yang saya setel besaran pixel-nya di angka 3 MP.

Namun, saya perlu berhenti dulu menjepretkan kamera ponsel karena mesti segera bergegas mencari kedai makan buat sarapan, sebelum menyambangi beberapa tempat lainnya di pusat Kota Bandung pada Ahad pagi itu.


Foto: Djoko Subinarto

1 comment

Melihat Keragaman Budaya Asia dan Afrika di The Great Asia Africa 28/November/2020 - 12:45 pm

[…] dan membeli suvenir untuk dibawa pulang. Harga makanan di sana hampir sama dengan di kafe-kafe di Bandung, sementara harga suvenir juga masuk akal sesuai dengan kualitas dan […]

Reply

Tinggalkan Komentar