Obrolan tentang pariwisata Jogja memang takkan ada habisnya. Dari tempat wisata ramai seperti Malioboro, Candi Prambanan, Taman Sari, dan Keraton Kasultanan Yogyakarta sampai pantai-pantai di Gunung Kidul, semua memancarkan daya tarik tersendiri bagi setiap wisatawan. Kulinernya pun tidak kalah menarik untuk dicoba.
Saya sendiri sebenarnya pernah hidup di Jogja selama kurang lebih empat tahun, dari 2016 hingga 2020. Saya pulang ke kampung halaman bulan Juli 2020 lalu karena masa studi saya sudah selesai. Tapi, akhir Agustus lalu, meskipun sedang di tengah pandemi, saya mampir ke Jogja. Selain untuk melepaskan penat sejenak, saya ke Kota Gudeg untuk mengurus dokumen kelulusan sekaligus bertemu teman-teman kuliah sebelum kami sibuk dalam kehidupan masing-masing.
Tanggal 26 Agustus 2020, saya bersama lima teman main ke Kulonprogo. Sebenarnya tempat yang akan kami datangi dulunya adalah lokasi KKN teman saya. Karena sudah bosan mampir ke tempat wisata Yogyakarta yang mainstream, kami mencoba untuk ke Kulonprogo. Bagi banyak orang, mungkin nama Kulonprogo masih belum setenar Kota Yogyakarta atau Sleman. Tapi, beberapa tahun terakhir Kulonprogo mulai menunjukkan taringnya, terlebih usai rampungnya Yogyakarta International Airport.
Kami berangkat ke tempat yang dikenal oleh warga setempat sebagai Bukit Widosari itu saat matahari sedang terik-teriknya. Perjalanan ke sana bisa menghabiskan satu album Iwan Fals. Tempat ini masuk Kulonprogo, D.I. Yogyakarta, namun lebih dekat jika dicapai dari Magelang, Jawa Tengah. Ada dua hal yang bisa dilihat di kawasan Bukit Widosari, yakni kebun teh dan Puncak Widosari. Akses jalan menuju tempat itu sudah bisa dilalui kendaraan roda empat, melewati perbukitan dengan belokan serta tanjakan-turunan.
Ketika sampai di sana kami langsung disapa udara segar dan hawa sejuk, meskipun kami tiba sekitar pertengahan antara Zuhur dan Asar. Terik panas matahari jadi tak terasa. Ah, memang ini yang saya cari-cari. Entah karena sedang pandemi atau memang karena belum banyak yang tahu, tempat itu tak terlalu ramai. Hanya dua-tiga rombongan yang kami lihat waktu itu.
Sambil menikmati suasana, kami beristirahat di salah satu warung kecil yang berjejeran. Sekadar untuk mengganjal perut dan melepas dahaga saya rasa sajian di warung-warung ini sangat pas.
Selesai menghabiskan dua Indomie, lima es teh, dan beberapa gorengan, kami terus ke tujuan pamungkas.
Jalan ke sana benar-benar sangat memacu adrenalin—apalagi bagi yang kebagian jatah menyupir mobil seperti saya. Jika ada kesempatan ke sana lagi, saya sepertinya akan naik motor saja. Jalan ke parkiran Puncak Widosari berbatu-batu dan sangat sempit—kadang mesti melewati jurang tanpa pengaman. Saya tak tahu apa yang bakal terjadi jika dua mobil berpapasan, sebab tak semua ruas punya ruang untuk meminggirkan si roda empat.
Maka lega sekali rasanya ketika saya akhirnya memarkirkan mobil di areal parkir di puncak bukit. Beban tanggung jawab di pundak karena membawa lima anak manusia seketika terangkat—andai mereka tahu bagaimana rasanya menyetir di jalur penuh tantangan tadi. Dari tempat parkir ke puncak, kami tak perlu susah-susah mendaki jalan setapak, sebab sudah ada jalur dan tangga beton.
Rasa tak menentu akibat semburan adrenalin dan capai karena menaiki anak tangga seolah-olah mendadak hilang begitu kami tiba di puncak bukit. Saya tak menyangka pemandangan akan seelok ini. Juga, banyak tempat untuk berfoto di sana—tapi tenang, tak ada spot foto “love”, kok. Kalau mau duduk-duduk, bisa pilih salah satu dari kursi yang disediakan untuk istirahat. Tapi, tak ada pedagang atau warung kecil di puncak.
Kami pun berkeliaran di sekitar Puncak Widosari. Sebentar lagi matahari akan terbenam. Rona senja sudah mulai kelihatan, menyapu pemandangan dengan nuansa keemasan.