Mendengar kata “Tengger”, hal yang pertama terlintas dalam benak kebanyakan orang pasti Bromo, lautan pasir, sabana hijau, dan matahari terbit keemasan (golden sunrise). Tapi, lebih dari itu, Tengger adalah masyarakat dengan kekayaan tradisi dan budaya yang diwariskan turun-temurun. Jika dirunut, cerita soal Tengger akan sampai ke masa Majapahit.
Pengalaman pertama saya bertandang ke wilayah yang dihuni orang Tengger berlangsung akhir bulan September lalu saat melakukan penelitian. Saya bersama satu orang teman tinggal di rumah tetua adat, yang disebut “dukun”, selama beberapa hari dan ikut berbaur bersama masyarakat. Lokasi di mana saya tinggal adalah Desa Ngadiwana, Kecamatan Tosari, Kabupaten Pasuruan.
Selama tinggal di Ngadiwana, saya menikmati betul betapa indahnya pemandangan Pegunungan Tengger. Di belakang rumah saja saya sudah dapat menikmati langit sore yang kemerahan disinari matahari menjelang tenggelam. Tak jarang pula saya jalan-jalan ke desa-desa sekitar sambil melihat-lihat pohon-pohon cemara nan elok.
Tapi, tentu yang saya lakukan di sana tak cuma bersantai dan bersenang-senang. Bersama warga, saya juga ikut ke hamparan ladang yang hijau. Sekali waktu, saya juga dapat kesempatan untuk berpartisipasi dalam perayaan Kuningan.
Hari raya Kuningan jatuh pada 26 September 2020. Karena sebagian besar masyarakat Tengger memeluk Hindu, hampir satu desa ikut beribadah di pura.
Perayaan Kuningan di Tengger dimulai pagi hari. Sejak dini hari, di rumah tempat saya tinggal, ibu sudah menyiapkan masakan. Makanan yang dimasak cukup bervariasi, antara lain oseng-oseng kentang, ketupat, ikan asin, telur, semur daging, dan mi. Setelah jadi, saya bantu ibu menyusun makanan itu dalam tampih, persembahan berwujud mangkuk kecil yang terbuat dari daun pisang. Setelah semua selesai, tampih kemudian diantarkan ke pura untuk diberkati. Namun, tak semua makanan itu dijadikan tampih, sebagian disisihkan untuk dimakan bersama ketika di pura.
Saya pun berangkat menuju pura bersama warga yang tampak antusias menyambut perayaan Kuningan.
Saya benar-benar merasakan nuansa Tengger. Setiap orang mengenakan pakaian tradisional. Laki-laki memakai jas hitam dan celana hitam. Sarung terikat di pinggang mereka, terurai sampai lutut. Aksesori lainnya yang dipakai oleh laki-laki Tengger adalah udeng, ikat kepala yang juga digunakan oleh komunitas Hindu Bali. Sementara, pakaian para perempuan saya perhatikan mirip dengan pakaian tradisional daerah Jawa Tengah. Mereka memakai kebaya dan jarik, dengan selendang yang diikatkan ke pinggang. Warna selendang itu senada dengan warna kebaya yang mereka pakai.
Meskipun tanpa pakaian tradisional, sekadar mengenakan baju hitam dan udeng, saya mencoba berbaur dengan masyarakat Tengger.
Di luar pura banyak orang berkumpul dan bercengkerama. Tangan mereka memegang bunga-bunga dan bungkusan makanan yang akan diberkati. Di sekitar gerbang pura saya melihat banyak sekali tampih untuk dipersembahan kepada para leluhur. Kompleks pura, mulai dari arca, tiang-tiang, hingga candi dihiasi kain-kain bernuansa kuning dan putih. Begitu masuk, saya disambut aroma bunga dan dupa yang begitu kental. Atmosfer demikian magis.
Saya kemudian duduk di barisan belakang. Sudah banyak orang di sana, duduk lesehan dan mengobrol sembari menunggu ritual. Setiap umat Hindu yang ada di situ membawa bunga dan dupa yang digunakan untuk ritual. Ritual Kuningan masih belum dimulai. Saya perhatikan sekitar. Di keempat candi banyak sekali bungkusan makanan yang akan diberkati saat ritual Kuningan. Alunan doa dan musik Hindu dilantunkan.
Ritual pun dimulai. Orang-orang pun menyalakan dupa dan menggunakan bunga sebagai medium untuk berdoa. Dukun memimpin jalannya ritual dengan membunyikan bajran (lonceng) dan melantunkan doa yang ditujukan kepada para dewa, leluhur, dan Ibu Pertiwi. Umat khusyuk mengikuti sang pemimpin spiritual. Saya bukan pemeluk Hindu, tetapi saya juga ikut terhanyut dalam kekhusyukan ritual itu.
Di akhir ritual, tirta (air suci) dipercikkan kepada umat, lalu beras yang sudah diberkati ditempelkan ke dahi.
Usai ritual, makanan-makanan di candi pun diambil dan disantap bersama-sama. Orang Tengger percaya bahwa itu akan mendatangkan berkah kepada mereka. Pengalaman itu sangat berkesan bagi saya. Walaupun saya “orang luar”, mereka menerima saya seperti keluarga sendiri. Suasana kebersamaan pun begitu terasa.
Selesai beribadah di pura, saya diajak mengikuti upacara Kuningan di Pura Luhur Poten yang berada di kaki Gunung Bromo. Naik pikap, saya dan beberapa warga duduk di bak belakang. Sepanjang perjalanan saya melihat banyak rombongan bersepeda motor yang tampaknya juga sedang berangkat menuju Bromo, juga orang-orang menumpang jip, mobil keluarga, atau pikap juga seperti kami.
Selama di pikap, kami ditemani lautan pasir dan Gunung Bromo. Menjelang lautan pasir, jalan menurun curam—sempit pula. Saya sampai merinding, terlebih ketika mesti berbagi jalan dengan kendaraan dari arah berlawanan. Pagi-pagi adrenalin saya sudah tumpah-tumpah. Setiba di lautan pasir, derita masih berlanjut. Jalanan benar-benar tak rata dan kami terombang-ambing dalam bak. Sebenarnya saya ingin merekam perjalanan itu dalam video, namun takut juga kalau seketika saya kehilangan keseimbangan dan jatuh karena sibuk memegang ponsel.
Dari kejauhan tampak banyak sekali mobil terparkir sekitar pura. Salah seorang rekan perjalanan saya di pikap memberi tahu bahwa setiap perayaan Kuningan, komunitas Tengger dari Lumajang, Probolinggo, Pasuruan, dan Malang akan berkumpul di Pura Luhur Poten untuk beribadah bersama.
Pura ini terdiri dari tiga bagian, yakni luar, tengah, dan dalam. Di bagian luar dan tengah banyak orang berkumpul menunggu giliran beribadah. Ritual sendiri dibagi menjadi dua gelombang karena umat yang hadir demikian banyak.
Saya lihat-lihat, pakaian tradisional Tengger ternyata bervariasi. Bentuk udeng setiap komunitas Tengger berbeda. Dari udeng yang digunakan saja sudah dapat ditebak seseorang berasal dari daerah Probolinggo atau Pasuruan atau kawasan komunitas Tengger lain.
Hal lain yang saya catat adalah soal bahasa yang digunakan orang Tengger. Biarpun mereka menyebut diri Jawa, bahasa Jawa mereka sedikit berbeda, khususnya dalam kosakata dan pelafalan huruf. Dalam bahasa Tengger, aku adalah “reang” dan kamu “rika”. Jika dialek Jawa umumnya cenderung membunyikan “a” di ujung kata sebagai “o”, komunitas Tengger melafalkannya “a”.
Dari pura, Gunung Bromo terlihat begitu megah. Cuaca yang cerah semakin menyemarakkan panorama. Sebagaimana Bromo, bangunan pura pun tampak begitu megah. Saya lihat banyak orang berfoto-foto ria dengan latar pura.
Sekitar jam 1 siang, gelombang pertama selesai. Sangat ramai hingga harus umpek-umpekan untuk keluar dari pura dalam. Kloter kedua pun masuk, bersiap untuk mengikuti ritual.
Membawa bunga dan dupa, saya duduk di bagian tengah, mencoba mengikuti prosesi. Prosesinya sama seperti yang di Desa Ngadiwana. Saya mengikuti doa-doa yang diucapkan oleh sang dukun, juga mengikuti gerakan seperti meditasi.
Selesai melakukan ritual peribadatan, saya bersama orang-orang Ngadiwana kembali berkumpul untuk makan bersama. Dukun dan tetua desa pun ikut makan bersama kami dan bercerita. Saya diberi tahu bahwa ritual Kuningan yang ada di Bali dipercaya dibawa dari Tengger. Sama seperti Tengger, Bali juga adalah tujuan eksodus Majapahit setelah kerajaan runtuh. Itu salah satu wawasan baru yang saya dapat dari perjalanan ini.
Selesai kami makan-makan, saya berfoto-foto di Pura Luhur Poten, kemudian pulang ke rumah. Bagi saya perjalalanan ini sangat berkesan. Rasa kebersamaan dan wawasan baru yang didapat serta keramahan dan kehangatan Masyarakat Tengger tidak ada duanya. Saya harap Tengger selalu hangat dan ramah.