Libur dua hari Sabtu Minggu sejujurnya adalah kesempatan langka bagi saya yang bekerja di industri jasa. Jadi kesempatan libur kali ini tak saya sia-siakan. Saya langsung mengajak kawan-kawan lama untuk sekadar “gas tipis-tipis.” Kali ini saya memilih wisata air, dengan harapan di tempat itu tersedia sinyal agar saya tetap bisa menjalankan kuliah daring. Pilihan wisata air untuk warga Jabodetabek, ya, pasti tak jauh-jauh dari Ancol, Geopark Ciletuh, dan Ujung Genteng. Yang terakhir disebutkan adalah tujuan yang saya pilih.
Konon, nama Ujung Genteng berasal dari frase “ujung gunting” karena letaknya yang ada di salah satu ujung Jawa Barat, di Sukabumi, dan garis pantainya berbentuk gunting.
Setelah enam jam perjalanan menggunakan roda empat, kami langsung rehat di penginapan murah. Ada dua spring bed, tapi tanpa AC. Bagi saya sendiri, jalan-jalan menyewa penginapan seperti ini sudah cukup hedon, sih, mengingat dalam perjalanan terakhir saya tidur entah di mana. Tapi tak apa. Saya memang ingin membangun suasana reuni yang nyaman dalam perjalanan ini.
Setelah lapor-masuk, kami main remi untuk menghabiskan waktu.
Jam 7 pagi saya bangun, lalu memesan segelas teh tawar hangat sembari mencari-cari pantai mana yang cocok untuk kami sambangi hari itu. Ulasan Mbah Google membuat saya tertarik untuk mampir ke tempat penangkaran penyu—yang saya baru tahu. Bisa liburan sembari belajar, pikir saya.
Kami berangkat jam 9 pagi mengikuti panduan Google Maps. Lagu akustik mengalun mencairkan suasana lewat pelantang di mobil.
Setiba di sana, kami membayar tiket masuk, lalu disapa bangunan-bangunan khas ekowisata—aula, mes untuk peneliti, dan penangkaran penyu. Namun sayang beberapa bangunan tampak sudah tak layak pakai. Padahal, menurut saya, tempat wisata seperti ini perlu perlakuan lebih. “Visit Indonesia” mungkin memang hanya untuk destinasi dengan nilai komersial tinggi, tak berlaku untuk tempat wisata dengan nilai edukasi yang tinggi.
Kami berlima langsung menuju pantai. Sejujurnya saya cukup sumringah. Rasanya seperti melihat replika Mpok Tunggal di Gunung Kidul. Benar-benar bersih dari sampah, pasirnya halus, tak ada karang sepanjang mata memandang, ombaknya cukup besar namun masih dalam batasan “menyenangkan” untuk bermain air.
Karena masuk dalam kawasan penangkaran, tak satu pun warung kopi tampak di pinggiran. Bagi para pendaki yang suka ketenangan, pantai ini cocok sekali karena masih sangat asri. Untungnya saya selalu bawa matras dan alat masak sehingga acara minum kopi bisa dilakukan secara paripurna.
Kami bermain air sekitar dua jam sampai terik matahari sudah tak dapat ditolerir lagi. Setelah berkemas, kami langsung menuju bangunan tempat penangkaran penyu. Penyu yang biasa ditemukan di kedalaman laut kini ada tepat di depan mata saya. Di kawasan ini banyak terpampang tulisan kampanye konservasi penyu, salah satunya “Dari 1000 penyu yang lahir, hanya satu yang dapat bertahan hidup.” Tentu tulisan-tulisan itu makin bikin penasaran, terlebih bagi saya yang tak banyak tahu tentang kehidupan di laut.
Kami disambut hangat oleh petugas di sana. Berbagai pertanyaan kami lontarkan. Berikut saya coba narasikan informasi yang kami dapat dari sang petugas:
“Penyu … merupakan hewan yang unik. Saya ceritakan mulai dari kelahirannya. Induk penyu memiliki semacam GPS yang akurat, ia akan melahirkan di tempat ia dilahirkan. Penyu sangat sensitif terhadap cahaya maupun aktivitas manusia. Jika ia melihat manusia atau hewan lain di pinggir pantai, ia lebih memilih untuk tidak bertelur. Hal inilah yang membuat pantai ini tidak dibuat seperti tempat wisata pada umumnya. Dalam sekali melahirkan, penyu betina bisa melahirkan seratus telur. Namun … bukan berarti akan hidup semua, mungkin hanya satu yang mampu bertahan hidup dari seribu penyu yang menetas. Ya, hal ini dikarenakan hukum alam itu sendiri; dimakan oleh predator laut maupun sesama penyu karena mereka juga bisa bersifat kanibal. Namun, satu yang pasti, salah satu predator yang bisa kita kurangi yaitu kita sendiri: manusia. Dengan memberi perlindungan hukum terhadap penyu dan tentunya kita sendiri yang melestarikan penyu tersebut.
“Mengapa [usaha untuk melindungi penyu] penting? Di dunia terdapat tujuh jenis penyu, dan enamnya berada di Indonesia. Sungguh kaya, bukan, negeri kita. Namun sayangnya tidak dibarengi dengan wawasan nelayan sekitar kita. Hadirnya penangkaran ini diharap mampu mengedukasi masyarakat sekitar tentang penyu. Kita beri edukasi bahwasanya keberadaan penyu sangatlah penting bagi ekosistem laut. Penyu merupakan predator puncak dari ubur-ubur yang sering memakan telur ikan. Secara tidak langsung [penyu] mendukung kehidupan ikan sebagai salah satu komoditas ekonomi kita. Tak hanya ubur-ubur, penyu juga memakan spons laut yang merupakan kompetitor dari terumbu karang. Dengan hadirnya penyu, terumbu karang akan tetap tumbuh dan berkembang dan nantinya akan menjadi rumah bagi ikan-ikan tangkapan kita jua.”
Banyak informasi lain sebenarnya, tapi rasa-rasanya itu sudah cukup untuk menekankan betapa pentingnya pelestarian penyu. Saya bukan duta laut, tapi saya mau ajak rekan-rekan pembaca tulisan ini untuk ikut peduli pada salah satu makhluk laut ini. Jangan ragu untuk melaporkan penjualan penyu ataupun telurnya yang konon mampu meningkatkan stamina. Sekurang-kurangnya, jangan cuma mengunggah konten, tapi pelajari jua apa saja detail-detail dari konten yang diunggah itu. Rasanya sikap ini juga bisa dipraktikkan saat mengunjungi tempat-tempat lain, entah Gede-Pangrango dengan elang jawa dan lutungnya, Argopuro dengan meraknya, atau Lawu dan menjangannya.
Setelah mendengar kisah menakjubkan sekaligus menyedihkan dari petugas penangkaran penyu itu, kami pamit untuk mencari makan siang. Di tempat wisata yang tampaknya baru dibuka, Bukit Teletubbies namanya, ada tempat makan. Karena sinar matahari begitu menyengat, kami lebih memilih nyerande—“malas-malasan” dalam bahasa Sawangan—di pelataran warung nasi. Desir angin dan harga makanan prasmanan yang murah bikin suasana makan jadi menyenangkan. Selepas nyerande kami beranjak ke penginapan. Kawan-kawan tidur siang, tapi saya sendiri tidak karena ada kuliah daring.
Pukul 16.30 kami pergi ke Pantai Ujung Genteng, berharap melihat mentari terbenam yang elok. Kedatangan kami disambut tugu bertuliskan “Ujung Genteng” yang cukup besar. Ada titik-titik berfoto yang cocok untuk diunggah ke Instagram—ayunan, dipan dengan latar belakang “love,” bingkai Instagram, dan lain-lain. Entah kenapa tempat-tempat begitu menjamur di berbagai atraksi turisme, entah pantai atau bukit di mana orang bisa jalan kaki dalam waktu yang singkat. Rasanya sudah jadi ciri khas Indonesia. Tapi menurut saya, ya, tak penting-penting amat.
Kami memilih gazebo yang sekiranya pas jadi tempat melihat laut dan perahu-perahu nelayan yang tertambat rapi. Kami pesan ikan bakar supaya vibe laut makin terasa. Kami makan ikan dengan nasi liwet, sambal, dan lalapan, lalu ditutup dengan teh tawar hangat.
Kala itu langit mendung sehingga senja-senji enggan hadir. Tapi nyatanya rona senja tak maksimal itu tak berpengaruh signifikan. Menurut saya, enak atau tidaknya jalan-jalan utamanya dipengaruhi dengan siapa kita jalan-jalan.
Sembari menengok tenangnya laut, kami bercengkerama sambil mengulang cerita-cerita jenaka kala kami main-main semasa SMP dulu. Tak terasa sudah dua belas tahun lingkaran pertemanan kami terjaga. Kalau dahulu kami hanya anak kecil bandel yang melarikan diri untuk piknik, sekarang rasanya kami seperti bapak-bapak arisan yang melepaskan diri sejenak dari keriuhan rumah.