Benteng Pertahanan Pulau Kabung

Empat puluh lima menit berlayar dari daratan Singkawang menuju Laut Natuna, bagan-bagan berjajar di atas laut tak jauh dari garis pantai. Di daratan, tampak desa dengan rumah-rumah panggung suku Bugis berdiri di atas umpak. Konon, mereka yang di sana adalah imigran yang menyelamatkan diri dari pemberontakan Kahar Muzakkar yang terjadi di Sulawesi pada tarikh 1950 sampai 1965. Namun, pulau itu kini dihuni juga oleh orang Melayu Sambas yang juga membawa serta bahasa mereka. Di pekarangan pinggir pantai, ikan teri dan sotong berjajar di atas gelaran terpal-terpal. Mengulur beberapa jarak dari pasir putih, pohon-pohon kelapa berjajar, bersama-sama tanaman lain menghijaukan bukit rempah.

Fadhil Mahdi bercerita tentang Pulau Kabung.

“Tidak ada perubahan yang berarti,” jawab Fadhil ketika saya bertanya dampak pandemi virus corona di Pulau Kabung. Ia melanjutkan, “tapi pulau memang ditutup.”

Wisata yang biasanya bergeliat tak tampak gelagatnya. Pulau hanya menerima tamu cukong-cukong dari Singkawang yang akan mengambil hasil tangkapan nelayan bagan sekaligus menyuplai bahan pangan untuk warga. Mereka bertahan dengan menutup penyebaran COVID-19 yang sedang melanda agar tidak masuk ke pulau. Meski begitu, kehidupan warga Pulau Kabung tak banyak berubah.

Sebuah bagan di perairan Pulau Kabung, Kabupaten Bengkayang, Kalimantan Barat/Fadhil Mahdi

Seturut ceritanya kemudian, di sana Fadhil melihat aktivitas warga yang tetap berjalan seperti biasa. Menjelang petang, pria-pria Pulau Kabung melepas ikatan tali kapal pada patok-patok di dermaga dan berlayar menuju bagan. Tak jauh memang, hanya lima belas menit mengarung. Para nelayan akan berada di bagan semalaman, memutar katrol, melepaskan ikatan jaring pada empat tiang, menurunkan jaring ke dalam laut.

Di dalam bilik kecil di tengah bagan, genset menyala, menghidupkan lampu-lampu yang kemudian diletakkan di atas lokasi jaring, menyinari air laut. Lampu-lampu itu akan mengundang plankton-plankton untuk menghampiri terang. Lantas rantai makanan berlanjut. Ikan-ikan teri yang lapar akan bergerak mendekati kerumunan plankton, sotong dan ikan-ikan besar lainnya yang juga lapar akan mencari ikan-ikan teri sebagai santapan. Pada akhirnya jaring dinaikkan dan para nelayan menyaring ikan yang terjerat dan meletakkannya pada keranjang-keranjang rotan. Satu putaran pemancingan selesai. Para nelayan akan terus memutar hingga subuh menjelang. Kala matahari hendak beredar di ufuk timur, para nelayan kembali ke pulau. Di sana, ibu-ibu dan anak gadis sudah menunggu di depan tungku-tungku di bawah rumah panggung, siap merebus hasil tangkapan agar tidak busuk.

Hasil tangkapan ikan di bagan dipindahkan ke keranjang-keranjang rotan/Fadhil Mahdi

“Di sana, makan sotong jadi sesuatu yang biasa.”

Saya tertawa mendengar ucapan Fadhil itu. Warga Pulau Kabung tiap hari makan sotong. Sementara orang-orang kota seperti saya begitu bergembira ketika bisa menyantap sotong sekali-sekali. Bagi saya, sotong adalah menu mewah yang jarang dijumpai di meja makan.

Musim berganti. Merah kuning hijau pala, cengkih, dan serai di atas bukit merekah. Orang Bugis yang pelaut itu juga mahir dalam rempah. Pala dan cengkih sang primadona kini panen. Warga rutin menuju atas bukit untuk memetik rempah dalam beberapa bulan musim panen. Rempah-rempah itu diolah menjadi beragam manisan dan bumbu masak; dan oleh seseorang yang giat, pala, cengkih, dan serai disuling dijadikan beragam minyak lalu dipasarkan secara daring. Warga juga menanam beragam sayuran untuk ketahanan pangan selama pandemi.

Merebus hasil tangkapan di bagan agar tidak busuk/Fadhil Mahdi

Saya bertanya, “Kepada siapa segala hasil bumi itu dijual?”

Fadhil bercerita bahwa semua hasil tangkapan nelayan, panen rempah, dan segala hasil bumi masyarakat Pulau Kabung hanya boleh dijual pada tengkulak-tengkulak dari Singkawang. Baru kemudian dari tangan tengkulak hasil bumi itu bisa tersebar ke berbagai daerah. Pun sebaliknya, bahan pangan lain yang dibutuhkan warga dibeli dari para tengkulak.

Di pulau, kehidupan masyarakat berjalan seperti biasa. Yang hilang hanya pariwisata. Pun dengan kegiatan belajar mengajar. Di Pulau Kabung hanya terdapat satu bangunan sekolah dasar. Lepas itu, mereka harus keluar pulau jika ingin melanjutkan ke tingkat yang lebih tinggi.

Proses penjemuran hasil tangkapan/Fadhil Mahdi

“Uniknya, para orangtua memiliki tradisi melarang anak-anak yang melanjutkan sekolah untuk kembali ke pulau,” ucap Fadhil. Lalu bagaimana nasib bagan dan kebun di atas bukit jika tidak ada yang meneruskan?

(Satu yang disayangkan, masyarakat Pulau Kabung tidak bisa mengatur keuangannya secara baik. Di beberapa kala, dalam satu kali transaksi penjualan tangkapan bagan, mereka mampu mendapatkan uang sebesar tiga puluh juta rupiah. Nominal yang besar itu tidak mereka sisihkan untuk ditabung, pergi mengalir begitu saja. Jadi, ketika uang itu habis, mereka mengalami kesulitan keuangan.)

Saya berpikir, barangkali memang begitulah kehidupan masyarakat desa. Para orangtua tidak ingin anak-anaknya mengalami hidup susah seperti mereka. Mereka ingin anak-anak bisa berkembang di luar pulau. Dengan akses yang tak mudah itu pula, masyarakat pulau harus bisa memenuhi kebutuhannya sendiri secara mandiri. Seperti kehidupan manusia rimba, mereka berburu cukup untuk makan hari ini. Tidak berlebihan. Esok cari lagi. Tidak merusak alam. Imunitas mereka adalah kabut yang keluar dari rongga-rongga tanah dan pepohonan. Mereka percaya alam akan terus memberi jika manusia tidak serakah. Toh, pangan tidak melulu soal nasi.

Warga berkumpul di gubuk pengolahan ikan Pulau Kabung/Fadhil Mahdi

Berbeda dengan orang kota yang bergantung pada pasar, yang ketika pandemi mewabah seperti saat ini kesulitan bergerak. Sebagian menimbun segala pangan, vitamin, dan rempah. Tak peduli lainnya. Terus dan terus membeli. Sebagian lainnya, yang cerdik, lantas memutar otak. Berjaga-jaga, menghadapi sengkarut ekonomi, terutama di tingkat lokal, yang bisa saja terjadi. Kelompok kedua itu kemudian mengadopsi pola kehidupan masyarakat desa, memulai gerakan tahan pangan mandiri. Dengan lahan—yang barangkali terbatas—menanam sawi, kangkung, terong, dan segala sayuran. Jika beruntung, mereka bisa membikin bibit sendiri.

Lalu pertanyaannya: kapan pandemi ini akan menemui titik? Di luar sana hanya ada prediksi. Tak ada yang tahu pasti. Sepertinya, tidak untuk waktu dekat. Lantas ketahanan seperti apa yang bisa dipraktikkan manusia agar bisa selamat dan melanjutkan peradaban?

Syahdan, hidup itu seperti permainan bola, yang tak hanya perkara menyerang. Kadang kala, kelompok yang menang adalah yang mampu membentangkan kokohnya benteng pertahanan.

Tinggalkan Komentar