Di antara gemerlap warna-warni wastra nusantara, ada satu yang meredup. Dalam ingatan, ia diredupkan oleh kolonialisme Barat beserta segala yang dibawanya. Padahal di setiap tetes warna yang menyerap pada serat ada lantunan mantra seorang anak untuk ibunya, yang akan terus teringat jika dirawat. Pada hakikatnya, melestarikan wastra adalah perihal merawat ingatan.
Di Sangihe ihwal itu berdiam:
Pisang hote tumbuh subur di Kepulauan Sangihe. Batang tanaman itu menghasilkan serat alami bernama abaka yang kemudian dipintal menjadi benang-benang halus, diberi warna alami hijau daun dan ungu akar, lalu dijadikan kain. Kain bukan sembarang kain. Kain itu adalah adat. Wujud sebuah penyatuan manusia dengan alam yang dianggapnya sebagai ibu. Kain itu bernama koffo.
Pada zaman ketika kerajaan-kerajaan di Sangihe masih berjaya, koffo adalah kain yang digunakan sebagai pakaian tarian adat dengan iringan musik bernama ori. Tradisi Sangihe memercayai ori sebagai sesuatu yang magis, sebagai mantra untuk menolak bala dan penangkal segala bencana. Pun sebagai lagu memanggil hujan lepas kemarau panjang. Koffo adalah pakaian untuk mengantar mantra-mantra itu pada semesta, mengirim doa-doa kepada leluhur. Namun, kedatangan Portugis perlahan mengubur koffo, ori, dan segala daya magisnya, tenggelam di balik tanah. Agama Katolik yang turut singgah dan menyebar di Sangihe menganggap tradisi koffo dan ori hal yang syirik dan harus dimusnahkan. Kini, Sangihe kesulitan mencari tangan-tangan yang mau mencari akar-akar koffo hingga kembali muncul ke permukaan.
Maria Silangen, seorang teman di Manado, merasa gelisah melihat redupnya tenun koffo ketika ia berkunjung ke Desa Manumpitaeng di Kecamatan Manganitu. Dalam kunjungannya, ia melihat desa yang sepi. Tidak ada geliat tradisi koffo dan ori. Ketika ia berkesempatan berjumpa dengan keluarga yang masih menyimpan koffo, Maria mendapati bahwa lepas ditinggal orang tua tidak ada yang meneruskan tradisi wastra itu.
Maria juga bercerita, pernah suatu kala ada pihak yang memberikan bantuan agar warga desa dapat menghidupkan kembali tradisi koffo, atau barangkali bisa menjadikan desa tersebut sebagai tujuan wisata budaya agar tradisi koffo bisa dikenal secara luas. Sayang, rencana itu tidak berjalan dengan baik. Koffo kembali terkikis.
Keberadaan kain koffo di Manumpitaeng hanya diketahui oleh warga sekitar saja dan orang-orang yang pernah datang ke desa. Informasi mengenai koffo belum tersebar dengan baik. Padahal desa tersebut tidak dikatakan sebagai daerah tertinggal. Aksesnya mudah dan infrastruktur bagus.
“Orang-orang desa tidak lagi mengenal sejarah koffo dengan baik. Anak-anak mudanya lebih memilih melakukan sesuatu yang lebih mudah. Jadi di sana sudah tidak ada yang bisa menenun. Koffo adalah tradisi yang terlupakan,” ucap Maria.
“Sayang sekali,” saya menyambung obrolan, melanjutkan, “padahal punya potensi.”
Maria mengaku, ia akan senang jika dapat menjalin kembali ingatan wastra koffo bersama Pijar, startup yang digagasnya untuk pemberdayaan talenta-talenta dalam bidang kreatif. Namun sayang, ia belum menemukan seseorang yang mampu menghadirkan kembali kain koffo sebagai satu wastra nusantara.
“(Koffo) Ini harus dilakukan oleh orang yang memiliki komitmen untuk mengangkat sesuatu yang sudah mau mati,” Maria menutup cerita.
Cerita Maria didukung oleh Annise, seorang teman lain yang bersama Maria mengunjungi desa itu tahun lalu. Ia berkata, “Generasi mudanya kurang. Rata-rata mereka besar hanya sampai SMA, selebihnya keluar dari pulau dan jarang kembali.”
Annise beruntut bercerita lebih jauh di suatu Sabtu malam. Sangihe memiliki kerajaan sendiri. Sebuah kerajaan tua dengan hierarki dan sistem feodalisme yang kuat, seperti Yogyakarta. Ia terpisah dari mitologi Minahasa dan sejarah Sulawesi Utara lainnya. Mereka pun memiliki bahasa sendiri yang berbeda dengan Manado. Jika dirunut, orang Sangihe atau biasa disebut Sanger adalah keturunan Mindanau, Filipina.
“Postur wajahnya lonjong seperti orang Filipina,” jelas Annise.
Sampai akhirnya Portugis datang. Bangsa itu tak suka melihat sesuatu yang kuat. Hierarki kerajaan Sangihe harus runtuh dan feodalisme adalah dua sisi mata uang yang menjadi senjata kehancuran. Melalui kolonialisme, adat dan segala tradisi dihilangkan dari Tanah Sanger. Merantas segala akar. Mereka beranggapan bahwa seni magis yang berhubungan dengan adat dan keyakinan, termasuk koffo dan ori, bertentangan dengan agama barat yang dibawanya.
“Apa-apa diharamkan. Apa-apa dimusyrikkan,” ucap Annise.
Masih di Sabtu malam yang sama, cerita silih berganti pada kain koffo Manumpitaeng. Ia bertandang ke rumah Pak Yumbure, seseorang yang masih menyimpan kain koffo dan ori, di rumahnya, meski tak lengkap. Pak Yumbure mengaku ibundanya adalah seorang penenun, sementara neneknya pemain ori.
“Apa yang membedakan kain koffo dari Manumpitaeng dengan kain tenun daerah lain?” tanya saya.
Annise menjawab, “Koffo tidak memiliki motif [tertentu]. Jika ada kain tenun bermotif, itu bukan koffo. Tenun Sangihe bukan hanya koffo.”
Saya melihat foto-foto yang dikirimkan Annise, sementara ia melanjutkan cerita bahwa kain tenun bermotif itu biasanya berupa ragam hias, seperti untuk sekat bilik atau gorden ketika pementasan tarian. Koffo sendiri berupa baju panjang, sarung, saputangan, dan ikat kepala.
“Kata teman-teman yang mencoba, (koffo) enak dipakai, nyaman buat bergerak,” aku Annise.
“Oiya?” saya penasaran. Tapi kain itu tampak lemas.
“Nampaknya saja lemas, tapi itu kaku. Dilipat pun enggak bisa,” jelas Annise.
“Padahal buat menari. Seharusnya lemas,” saya masih penasaran.
“Itu keajaiban orang zaman dulu,” jawab Annise.
Koffo juga hanya memiliki dua warna: hijau dan ungu, selain perbedaan antara yang digunakan untuk perempuan dan laki-laki. Annise mengaku bahwa ia hanya mendapatkan kain perempuan. Pak Yumbure sebagai tuan rumah tidak lagi memiliki kain koffo untuk laki-laki.
“Sudah rusak,” ucap Annise meneruskan ucapan sang tuan rumah.
Annise juga menyayangkan keadaan desa yang tampak sepi. Banyak rumah tak berpenghuni. Rumah-rumah yang tertutup itu membiarkan alat tenun hanya tersimpan, rusak karena tak terpakai.
Memang, ada pihak lain yang sudah berusaha mengembangkan kain tenun koffo di luar Manumpitaeng. Namun tak ada yang bisa menggantikan autentisitas filosofi Ibu Bumi, yang tersemat dalam kain tenun koffo, yang diyakini oleh masyarakat Manumpitaeng. Hal yang membuat koffo sebagai adat, yang seharusnya tak terpisahkan dari ori dengan segala seni magisnya, tidak muncul di ingatan. Saya berpendapat perbedaan itu mungkin saja terjadi, karena, barangkali, sejarah dan mitologi yang memang berbeda.
“Gara-gara koffo aku jadi keranjingan shibori pewarna alami. Kemarin sudah berhasil membuat shibori pakai ampas kopi, sekarang mau coba pakai daun mangga dan kulit bawang merah,” Annise menutup cerita tentang koffo.
Minggu malam, ketika menulis ini, saya memikirkan kembali cerita Maria dan Annise. Yang terjadi pada koffo di Manumpitaeng memang sungguh menyedihkan. Perihal merawat koffo tidak bisa dilakukan hanya oleh satu pihak. Selain warga Manumpitaeng sendiri, kesadaran merawat warisan leluhur Sangihe juga merupakan tanggung jawab pemerintah daerah.
Layaknya sebuah tenunan, ia adalah benang-benang yang saling terikat. Hote tidak akan tumbuh di tanah yang tak terawat. Harus ada banyak tangan liat yang saling terentang untuk kembali mencari akar yang terkubur, merawat tanah dan menjaga haranya agar subur, menanam hote, menyerut batang hingga menemukan serat, mengikat, lalu menjadikannya koffo. Jika tidak, koffo hanyalah sebuah sejarah di atas kain usang yang akan mati terkubur serat sintesis zaman.
Cerita ini didedikasikan kepada Pak Yumbure yang sudah berpulang tanggal 12 September 2020 lalu.