Kak Syukron mengajak kami jalan-jalan melihat kebun sayur yang ia kembangkan bersama masyarakat lokal.
Saat berjalan, aku celingak-celinguk memerhatikan pepohonan sekitar. Kudapati pisang, sukun, kelapa, jeruk nipis, dan pohon-pohon lain yang tidak kuketahui namanya. Pohon pinus yang biasanya kulihat di dataran tinggi juga ada. Ia berdiri tegak di tanah berpasir pinggir laut. Rantingnya seolah-olah melambai-lambai menyambut ombak yang datang silih berganti.
Kebun kecil itu ada dua dan secara organik ditanami kangkung, terong, seledri, serai, dan cabe rawit. Untuk pemupukan, Kak Syukron memanfaatkan sabut kelapa, serbuk kayu yang sudah lapuk, dan kotoran hewan. Tapi, bukan cuma soal pemupukan itu yang bikin kebun itu jadi unik.
“Hasil kebun ini kami tidak jual, tapi kami bagi-bagi ke masyarakat untuk dikonsumsi,” ujar Kak Syukron. Selama ini, masyarakat mesti membeli sayur jauh-jauh ke Pangkep daratan.
Pernyataan Kak Syukron itu mengingatkanku pada arti kemanusiaan, yakni saling berbagi. Hal tersebut jarang kujumpai pada masyarakat perkotaan yang lebih mementingkan keuntungan pribadi. Mendengar itu, rasa kagumku pun mencuat.
Snorkeling dan diving adalah dua hal yang paling dinantikan dari berkunjung ke Kapoposang. Titik-titik penyelaman tersebar sekeliling pulau, dengan terumbu karang elok dan biota laut menarik. Di dekat dermaga juga ada area transplantasi karang.
Saat menyelam, kita ‘kan menjumpai taman. Bukan taman bunga yang sering kita jumpai di tengah kota atau di desa, melainkan taman terumbu karang yang tersusun rapi di dasar laut. Karang-karang itu merekah, melebarkan kelopaknya, tak dihinggapi kupu-kupu, kumbang, atau lebah, melainkan berbagai jenis ikan sangat cantik warna-warni yang terus menari di depan mata.
Hari itu, kapal kecil milik nelayan membawa kami ke sebuah titik penyelaman, melewati laut dangkal dengan dasar pasir putih. Bintang-bintang laut—seperti Patrick Star—menyambut kedatangan kami. Aku pun jadi teringat film kartun yang sering kutonton waktu kecil, yaitu Spongebob Squarepants.
Kapal berhenti. Terumbu karang tampak jelas di bawah sana. Aku dan beberapa kawan bergegas memakai peralatan. Sebagian hanya memakai alat dasar, lainnya melengkapi diri dengan peralatan scuba, termasuk tabung oksigen. Peralatan selam memang sudah disediakan oleh pemuda setempat, baik bagi pemula sepertiku maupun mereka yang sudah mahir.
Menceburkan diri ke laut dengan bantuan alat untuk bernapas baru kali itu kurasakan. Menegangkan namun menyenangkan. Hamparan karang tepat di bawahku, ikan-ikan kecil berenang beriringan seperti pelangi di dekatku. Senyumku kembali tersungging karena selama ini aku lebih sering berenang bersama manusia.
Karang jenis Acropora humilis, Montipora aequituberculata, dan berbagai jenis karang lunak maupun keras masih jamak ditemui di perairan Pulau Kapoposang. Aku melayang-layang melihat ikan badut—seperti dalam Finding Nemo—bermain di sela-sela karang bergoyang. Malu-malu ikan itu menampakkan diri, membuatku tersenyum. Usai menyelam, kawan-kawan yang turun dengan peralatan scuba, menunjukkan foto-foto yang mereka ambil di bawah sana. Mereka menyelam berdampingan dengan penyu, di samping karang warna-warni yang bermekaran, elok dan gemulai.
Tak terasa, sore pun tiba. Surya sedang mengakhiri hari. Kutatap dia lekat-lekat dari ujung kapal, di tengah laut, sambil menitipkan pesan agar memanggil ribuan bintang untuk menghiasi malam. Menjelang matahari terbenam, kembali kuceburkan diri ke dalam laut. Aku berenang di bawah sinar redup merah merona. Dalam perjalanan kembali ke pulau, aku merasa semakin dekat dengan alam; hal yang menjadi tujuan ketika kaki ini membawaku beranjak.
Malam itu kami menyantap hasil panen nelayan. Energi dari makanan itu membawa kami bergeser ke pinggir laut, mencari kayu bakar, lalu menyalakan api unggun. Api unggun itu kami lingkari kemudian kami perindah dengan candaan. Kami pun makin akrab. Nama-nama panggilan baru disematkan, guyonan bersahut-sahutan, ditimpali tawa keras yang bergema melenyapkan suara ombak. Di tengah peristiwa itu, aku membaringkan diri di samping api unggun, di bawah pohon pinus, dan menatap langit. Matahari ternyata memenuhi permintaanku; seribu bintang dipanggil olehnya. Sinar gemintang menyelinap menembus ranting, meliuk-liuk melewati daun-daun pinus, membuatku kembali tersenyum.
Tak terasa pagi hampir tiba. Burung gosong kaki merah bernyanyi, bernyanyi, lalu diam. Kami mendekatkan diri ke pinggir laut untuk melihat alam melahirkan hari baru dan sejuta harapan. Tak ada suara tangis bayi dalam persalinan itu, hanya sinar merah yang perlahan-lahan merekah. Kami terdiam melihat semua itu.
Aku merayakan kelahiran itu dengan berteriak sekencang-kencangnya. Menyaksikan itu, kawanku pun tertawa—kami tertawa. Perayaan itu kami lanjutkan dengan mengabadikan momen lewat kamera ponsel. Kami berpose dengan gaya masing-masing untuk dipamerkan di media sosial. Lengkap dengan caption puitis tentunya. Kak Meli menulis begini, “Kepada sunyi, rindu tak perlu pamit.”
Satu minggu bermain di Kapoposang, sepanjang waktu mataku menyaksikan berbagai macam keindahan. Tapi, lebih dari itu, aku menemukan keramahan. Warga menerima kami, menjamu kami dengan sajian yang menerbitkan selera, dengan senyum, dengan obrolan.
Aku belajar bersyukur dari para nelayan, melihat mereka mengambil ikan di laut secukupnya saja agar laut tetap lestari. Setiap tahun, mereka mengekspresikan rasa syukur dan terima kasih kepada laut dengan menggelar mappanretasi (memberi makan laut). Barangkali benar bahwa alam menunjukkan dirinya sesuai perlakuan manusia kepadanya. Keindahan alam yang kunikmati di Kapoposang tentunya berasal dari keindahan perilaku dan kebiasaan masyarakat setempat; segala sesuatu yang dirawat dengan cinta akan menghasilkan sesuatu yang indah.
Di Pulau Kapoposang aku akrab dengan senyum dan tawa. Itu luar biasa, mengingat listrik di sana hanya menyala pada malam hari. Orang-orang kota mesti sudah menggerutu jika lampu mati beberapa jam saja. (Namun, alih-alih jengkel, aku justru merasa nyaman karena bisa jauh dari ponsel yang selalu mengabarkan berita-berita soal ketidakjelasan-ketidakjelasan negeri ini.)
Orang-orang pulau itu kurang sejahtera, katanya. Anggapan itu sering kudengar dari orang-orang kota. Tapi aku jadi bingung. Bagaimana mereka bisa beranggapan seperti itu? Di pulau, nelayan bisa tersenyum, anak-anak kecil berseragam sekolah dengan riang mengendarai sepeda, dan masyarakat tetap santun meskipun hanya mengenakan pakaian sederhana. Di kota, orang-orang yang berpapasan bahkan tak bertegur sapa, orang-orang berpakaian necis susah tersenyum karena sibuk memikirkan cara menambah pundi-pundi materi. Bersyukur adalah urusan kesekian. Jadi, mana sebenarnya yang sejahtera? Dan apa sebenarnya arti “sejahtera”?
Kebingungan itu, dalam sepi, kutanggapi dengan senyum dan tawa.
Hobi bepergian dan tertawa lalu menulisnya dalam buku harian. Sarjana pertanian namun lebih suka dianggap petani.