Banyak drama [tentang COVID-19] dalam lima bulan terakhir ini. Sebagai orang yang tak senang drama, tentunya hal ini persoalan bagi saya. Namun, rasa-rasanya memang mustahil untuk menghindar dari berita tentang COVID-19 meskipun kita mematikan paket data. Saya, yang semula ingin menyelesaikan membaca buku yang sudah lama menggantung, malah ikut larut dalam drama-drama tersebut, meskipun hanya berperan sebagai scroller.

Lalu titik terang mulai kelihatan. Begitu PSBB dikendurkan, tempat-tempat wisata mulai kembali dibuka—tentu saja mengikuti protokol kesehatan—termasuk kawasan gunung. Saya jadi bisa melarikan diri dari drama-drama itu.

Kali ini saya akan menulis cerita tentang pengalaman baru-baru ini ke salah satu gunung yang pertama kali dibuka, yakni Papandayan. Perjalanan ini dikisahkan dari sudut pandang seseorang yang bernostalgia.


Tengah malam, saya dan kawan-kawan telah tiba di pertigaan menuju kawasan Gunung Papandayan. Kalau sudah pernah ke Papandayan, pastilah kamu ingat dengan masjid besar di sebelah kiri jalan itu. Tak banyak yang berubah. Masih ada ATM di kanan jalan. Di sampingnya ada warung nasi uduk. Dulu warung ini buka 24 jam sebagai tempat peristirahatan pendaki sebelum mencarter kolbak menuju Gunung Papandayan. Kali ini hanya ada satu warung kelontong yang buka. Dan pemiliknya tampak gusar karena saya memesan segelas kopi pada detik-detik ia akan menutup warungnya.

Usai menyesap kopi tanpa terburu-buru (kopi yang terburu-buru disesap takkan terasa nikmat), kami melanjutkan perjalanan melintasi tanjakan yang aspalnya sudah mulus, hingga akhirnya tiba di gerbang bertuliskan “Taman Wisata Alam Papandayan.” Saya lekas turun dari mobil, disambut petugas jaga berpakaian mirip security—ya, bukan seperti ranger. Ia berkata bahwa gerbang dibuka jam 7 pagi dan saya harus menunggu di sini. Pikir saya kala itu, “Apakah tak ada lagi Camp David yang tersohor itu?” Untungnya saya menggunakan mobil sehingga tak sulit mencari tempat peristirahatan menunggu jam 7 pagi. Saya langsung terlelap karena perjalanan sudah membuat saya terlalu lelah.

Hiruk-pikuk kendaraan membangunkan saya. “Ah! Pendaki,” pikir saya. Dengan bersemangat saya keluar mobil. Ternyata suara itu berasal dari kelompok ibu-ibu dengan outfit lumayan ripuh. Ada pula kelompok lain yang orang-orangnya juga tiada yang memanggul keril. Memang ini adalah hari Minggu, hari yang tak lumrah untuk memulai pendakian. Tapi masa tidak ada satu pun yang memanggul keril?

Sudahlah.

Saya kemudian menuju loket untuk membayar tiket masuk. Benar, kau tak salah baca: tiket masuk. Bukan Simaksi. Lumayan mahal untuk pendaki kere seperti saya.

Saya mencoba menaikkan mood dengan memikirkan Camp David, base camp pertama yang saya datangi dalam riwayat pendakian saya. Apakah masih ada? Ketika tiba di kawasan yang saya kenali sebagai Camp David itu, saya jadi berpikir apakah tempat itu masih bisa disebut base camp atau tidak. Yang terlukis di mata hanya pos jaga dan warung-warung yang berjejeran—sekitar dua puluh warung, mungkin. Lahan parkir sudah diaspal mulus, tak lagi berdebu dan berkerikil seperti dahulu.

Lalu saya pergi ke salah satu warung dan memesan kopi hitam. Saya berhadapan langsung dengan punggungan bukit yang mungkin satu-satunya hal yang tidak berubah di Gunung Papandayan.

Trek tangga batu Gunung Papandayan/Muhammad Husen S.

Jam 9 pagi kami memulai pendakian. Di antara pengunjung, saya—dan mungkin kawan-kawan juga—merasa seperti salah kostum, padahal yang saya pakai adalah bungkus badan yang biasa dipakai di kawasan gunung. Dan saya cukup yakin bahwa saya berada di gunung. Gunung Papandayan. Tapi bodo amat. Saya tetap melanjutkan perjalanan melewati trek yang sudah berubah. Di awal, saya disambut aspal mulus yang kemudian disambung oleh undakan batu sepanjang kawah. (Fase menelusuri kawah ini berlangsung selama satu jam dengan perubahan elevasi yang tak terlalu tinggi.) Ojek gunung masih tetap ada. Jika dahulu jalurnya menjadi satu dengan jalur pendaki, sekarang ojek sudah punya jalur sendiri.

Setiap dua puluh menit ada pos peristirahatan, lengkap dengan toilet yang sangat bokerable. Sepanjang perjalanan, bau belerang cukup menyengat. Beberapa pasang muda-mudi tampak asyik berswafoto. Hiruk-pikuknya berorkestra dengan suara knalpot motor ojek yang membawa pewisata yang malas berjalan jauh. Di titik peristirahatan ketiga, saya berhenti dan menyesap Gudang Garam, mencoba memahami apa yang saya lihat di depan mata. Sekarang, pikir saya, mungkin bisa dibilang bahwa Gunung Papandayan sudah seperti Gunung Bunder di Taman Nasional Gunung Halimun Salak, menjadi sebuah kawasan gunung yang ramah.

Hutan Mati/Muhammad Husen S.

Sampailah kami di persimpangan antara Hutan Mati dan Pondok Salada. Seingat saya, dulu belum ada trek yang langsung menuju Hutan Mati. Kami memilih trek baru tersebut. Tangga batu tersusun dengan tanjakan yang lumayan menguras tenaga. Sekitar satu jam meniti jalur tersebut, sampailah kami di Hutan Mati, tempat paling tenar di Papandayan. Tak banyak berubah. Dan di sini saya mulai merasakan vibe pendakian. Banyak orang berswafoto dengan keril di punggung. Rasa rindu saya terhadap suasana pendakian pun terobati. Tapi, karena sudah jam 11 dan matahari sudah lumayan terik, kami tak berlama-lama di sana dan segera melanjutkan perjalanan menuju Pondok Salada.

Setengah jam berjalan, sampailah kami di Pondok Salada. Semua masih tampak sama seperti saat saya ke sana dulu, kecuali keberadaan fasilitas-fasilitas umum baru, seperti musala, kamar mandi (mungkin sekitar 6 unit), dan warung kelontong dengan periuk cilok terpajang di depan. (Dipikir-pikir, dari dulu memang tak perlu berpayah-payah membawa logistik jika ingin mendaki gunung ini.) “New Papandayan,” saya lihat-lihat, ramah sekali untuk rekreasi keluarga. Fasilitas umumnya makin banyak. (Meskipun para pendaki yang mendamba kegiatan alam bebas barangkali takkan terlalu suka dengan fasilitas-fasilitas artifisial.) Sampah juga semakin minim sebab sudah ada yang bertanggung jawab untuk mengurusnya saban hari.

Saya dan kawan-kawan langsung bergegas mencari tempat mendirikan tenda. Jam segini, para pendaki sudah mulai banyak yang merubuhkan tenda, pertanda bahwa mereka hendak segera turun. Pikir saya, mesti akan ada satu sampai lima tenda yang bertahan. Sampai esok mungkin.

Pondok Salada/Muhammad Husen S.

Nyatanya, tak ada satu pun kelompok yang bertahan kecuali rombongan kami, sebagaimana yang diberitahukan seorang petugas jaga yang menghampiri. Saya sempatkan bertanya apakah boleh mendaki lebih tinggi dari Pondok Salada. Ia menjawab bahwa pengunjung hanya diperbolehkan sampai Pondok Salada. Lebih dari sana, penjaga tak bertanggung jawab jika terjadi hal yang tak diinginkan. Pupus sudah harapan saya mengunjungi Tegal Alun—atau, lebih jauh lagi, Tegal Panjang—untuk melihat edelweiss yang terhampar luas.

Sore hari saya melipir ke warung, menyantap seblak dan memesan segelas kopi kemudian dilanjutkan dengan teh tawar. Banyak cerita dalam percakapan sore itu. Tentu saja obrolan soal COVID-19 yang mendominasi.

Semakin malam, Pondok Salada “New Papandayan” terasa semakin sepi. Ditinggalkan para pendaki, ia menjadi bebas menunjukkan jati diri. Bunga-bunga edelweissnya bergoyang-goyang ditiup angin kecil, pohon-pohonnya bergemerisik memiringkan badan ke arah matahari terbit, kabut tipisnya datang dan pergi perlahan dengan sopan.

Tinggalkan Komentar