Berkumpul dan bisa mengenal mereka adalah hal berharga yang tak akan pernah lepas dari ingatanku. Mereka siapa? Mereka pejuang-pejuang cilik yang sehari-hari berjibaku menghadapi pahitnya kehidupan: anak-anak jalanan.

Aku mendeskripsikan demikian sebab mereka benar-benar hebat dan kuat—dan aku telah menyaksikannya dengan mata kepalaku sendiri. Hidup dengan keterbatasan ekonomi membuat mereka mesti rela terjun ke jalanan mencari koin recehan. Ada pula di antara mereka yang tak berkesempatan merasakan cinta dan kasih sayang keluarga. Banyak pengalaman yang mesti mereka sisihkan—indahnya kehidupan masa kecil, pendidikan yang menjanjikan masa depan—demi menyambung hidup.

Aku masih ingat hari pertamaku menghabiskan waktu bersama para pejuang cilik itu. Aku jadi salah satu anggota komunitas relawan yang mengabdikan diri membantu kehidupan anak-anak jalanan dengan mengajar. Sudah jam 15.30 WIB saat sekolah usai hari itu. “Huh, aku harus cepat ini. Sudah terlambat,” pikirku. Meskipun aku masih memakai seragam sekolah, dengan pikiran masih melekat pada catatan-catatan guru di papan tulis, aku bersemangat sekali sekali untuk segera bertemu mereka. Buru-buru kugas Honda tuaku menuju tempat belajar para pejuang cilik itu.

Setiba di sana, aku merasakan udara panas, dikepung asap, dan dibekap aroma tak sedap. Tempat itu semacam pelataran dari sebuah bangunan yang masih dalam tahap pembangunan. Di sekitarnya adalah ruko-ruko sederhana yang sesore itu sudah banyak yang tutup. Motor lalu-lalang, membuat kebisingan kian terasa, bersahut-sahutan dengan gonggongan anjing.

Aku bersyukur ternyata aku belum setelat itu. Belum ada satu pun anak yang datang. Di tempat itu baru ada beberapa orang relawan yang sedang mengatur tempat untuk belajar. Tak ada bangku, tentu. Yang ada hanya alas duduk sekadarnya yang diadakan secara swadaya oleh para relawan. (Salah seorang kawan relawan bercerita bahwa lokasi ini ternyata di pagi hari menjadi tempat penjualan ikan. Mendengarnya, aku jadi memaklumi aroma tak sedap itu.)

Lalu aku diajak menjemput anak-anak untuk belajar. Ritual “menjemput anak-anak” itu memang sudah biasa dilakukan para relawan. Jika hanya menunggu, dapat dipastikan takkan ada yang datang. Banyak dari anak-anak itu yang tak terlalu memikirkan soal menggali ilmu “tambahan.” Bagi mereka, ilmu “dasar” seadanya dari sekolah saja sudah cukup. Komunitas kami memang mengajar anak-anak [jalanan] yang juga sudah disekolahkan oleh pemerintah.

Seorang anak jalanan berjalan di rel kereta api (KA) saat pulang dari sekolah menuju rumahnya di permukiman kumuh bantaran rel kereta api Tanah Abang, Jakarta Pusat, Senin, 8 Juni 2015 via TEMPO/Subekti

Menjemput mereka bukan perkara mudah! Kau harus menahan emosi ketika mereka sedang mempermainkanmu, entah dengan lari-lari ke sana kemari atau kabur entah ke mana saat diajak. Tentu saja sabar adalah kunci utamanya. Apalagi jika kau mengalami hal sepertiku: mengangkut empat anak menggunakan satu sepeda motor. Aku mesti berusaha menyeimbangkan motor bermuatan ekstra, mengendarainya di tengah jalan yang berbatu, dan mati-matian melihat jalan sebab pandangan terhalang sepasang kepala anak-anak—dan semua jadi makin menantang begitu mataku terkena debu. Untung saja rute yang kutempuh tak terlalu jauh.

Tiba di tempat belajar, kulihat beberapa relawan masih sibuk meladeni anak-anak yang sedang bermain—sepak bola, mengejar burung dara, atau “beradu argumen” dengan anjing tetangga. Sungguh berwarna macam dan rupanya. Sekitar setengah jam kemudian barulah situasi sedikit aman. Kami pun memulai kelas, dengan meninggalkan beberapa anak yang masih “bandel.” Kata salah seorang relawan senior, “[Biarkan saja.] Toh nantinya mereka akan gabung dengan sendirinya.”

Sebelum belajar, kami mendaraskan doa bersama-sama. Aku memegang grup anak berusia di bawah tujuh tahun. Rasanya gemas sekali melihat tingkah mereka. Jika berkata-kata saja masih terbata-bata, berdoa apalagi. Ketika pelajaran dimulai, aku melihat pemandangan yang mengharukan. Mereka sangat antusias, bersemangat, dan selalu menyunggingkan senyum di bibir. Sesekali mereka bermanja-manja kepadaku, minta gendong, minta foto, dan ada pula yang selalu duduk dalam pangkuanku. Sangat menggemaskan.

Orang yang melihat barangkali menganggap aku mengajar. Tapi sebenarnya aku justru belajar dari mereka. Aku belajar bahwa kebahagiaan itu sangat sederhana. Dan siapa pun dirimu, dari mana pun asalmu, seperti apa latar belakangmu, kau pantas merasa bahagia. Dari mereka aku juga belajar arti perjuangan. Sekecil itu mereka harus terjun ke jalan—entah untuk berjualan koran, mengamen, atau bahkan mengemis.

Pengalaman berharga di hari itu akan terus terekam dalam memoriku. Aku juga berharap semoga semakin banyak manusia baik yang mau membantu sesama. Semoga saja.

Tinggalkan Komentar