Kenapa kompor masuk serial Nutrihiking? Ya, habisnya percuma dong kalau bahan pangan sudah bagus tapi kompornya tidak mumpuni. Tulisan ini akan membedah berbagai macam kompor untuk pengunungan tropis di Indonesia berdasarkan bahan bakarnya. Kenapa hanya pegunungan tropis? Karena tulisan ini ditujukan untuk kamu pendaki Gen Z yang mendaki gunung-gunung hits di bawah 4.000 mdpl. Kalau sudah lewat dari ketinggian itu, tentunya kompor dan bahan bakar yang digunakan akan berbeda, sebab tekanan udaranya juga akan berbeda dan memengaruhi stabilitas bahan bakar.
Dahulu kala sebelum negara api menyerang—eh! Pokoknya, dulu sekali para senior pedaki biasa memakai kompor BRS dengan berbahan bakar bensin (tapi ini sepertinya cuma berlaku buat pendaki lawas yang cuan-nya oke). Sampai sekarang pun kompor BRS multifuel masih dijual, namun dengan harga yang—yaaah—beli satu kompor berasa beli satu tas keril, belum lagi tabungnya.
Tapi tenang, senior kita tak kehabisan akal dalam memasak di gunung menggunakan bahan bakar dan kompor yang murah. Yang masih eksis sampai sekarang diwariskan ke kita ialah kompor berbahan bakar spiritus dan parafin. Bagaimana dengan yang berbahan bakar gas portabel? Sudah masuk sejak tahun 1980, semakin tenar di akhir 90-an, dan tampaknya akan tetap eksis untuk tahun tahun ke depan.
Terima kasih Alfamart dan Indomaret.
Dahlah, langsung saja.
1. Kompor berbahan bakar parafin
Kompor dengan bahan parafin bentuknya simpel sangat, biasa dijual di toko-toko militer dengan harga Rp20-30 ribu. Bahan bakar parafin juga bentuknya sederhana: kotak dan padat seperti lilin. Harga parafin pun cukup murah, mungkin sekitar Rp14-20 ribu/8 keping parafin.
Menariknya, sebenarnya parafin tak perlu wadah khusus—yang penting aman. Kita bahkan bisa membuat tungku dari bahan yang tersedia di alam seperti bebatuan. Simpel dan enteng. Senior-senior kita sudah ultralight (UL) dari jauh ternyata.
Tapi ada kelemahan, dong. Bahan bakar ini agak sulit dicari karena biasanya hanya dijual di toko-toko peralatan militer. Hanya beberapa toko barang-barang outdoor barangkali yang sekarang masih menjual parafin. Solusi lain, ya, olshop (plus voucher free ongkir).
Kelemahan lain adalah api kompor parafin tidak bisa diatur. (Kecuali mungkin kompor nesting ala militer yang kedua engselnya bisa diatur kemiringannya.) Buat kompor-kompor parafin DIY, untuk mengecilkan atau membesarkan api, jarak nesting ke apinya saja yang diatur. Kelemahan berikutnya adalah baunya yang menyengat, yang bagi sebagian orang mungkin akan mengganggu. Tapi, terlepas dari kekurangannya, saya sangat suka kompor berbahan bakar parafin, terutama karena keping-keping parafin itu bisa digunakan untuk memantik api unggun. Maklum, orang Betawi; demen nabun.
2. Kompor berbahan bakar spiritus
Versi lawas, kompornya biasanya dijual satu set dengan nesting dan windshield-nya. Merk yang paling populer adalah Trangia dari Swedia. (Para pendaki yang terbiasa pakai Trangia kayaknya sudah berada pada masa-masa menimang anak, deh.) Ada juga versi DIY dari Trangia—burner-nya—yang biasanya dibuat dari kaleng softdrink bekas. Kalau malas bikin, beli saja yang sudah jadi. Rentang harganya antara Rp30-150 ribu. Banyak pilihannya, dari mulai buatan pengrajin lokal sampai merk-merk bestseller seperti Alocs.
Meskipun mekanismenya kurang praktis, nyala api kompor berbahan spiritus bisa diatur. Trangia, misalnya, punya shimmer ring yang bisa digeser untuk menyesuaikan nyala api dengan kebutuhan. Kompor spiritus merk Istove, dengan harga sekitar Rp130-200 ribu, bisa diatur pula besar-kecilnya api dengan mekanisme yang apik. Kalau kamu penggemar kompor spiritus garis keras, bisa itu dicoba.
Karena bahan bakar ini berbentuk cairan, perlu wadah khusus untuk membawanya. Kamu bisa beli tabung Trangia di toko-toko barang keperluan alam-bebas. Kalau mau nekat—mudah-mudahan jangan—bisa pakai botol, tapi, ya, rawan bocor. Bahaya kalau ditaruh dalam keril. (Paling tidak segel tutup botolnya pakai selotip). Ketersediaan bahan bakar ini ada di toko-toko material bangunan. Harga spiritus cukup murah meriah, sekitar Rp20-25 ribu/liter. Patokannya, untuk pendakian standar selama 2 hari biasanya perlu 300-400 ml spiritus untuk memasak.
3. Kompor berbahan bakar gas portabe
Ah, ini dia yang paling laris di kalangan pendaki Gen Z. Kompor ini bisa laku keras karena bahan bakarnya ada di mana-mana, utamanya di mini market. Merk gasnya macam-macam, seperti Hi-Cook, Winn Gas, dan Bright Gas. Yang disebut terakhir produk keluaran Pertamina, lho. Harganya bervariasi, sekitar Rp19-25 ribu/tabung 230 gr. Untuk pendakian dua (2) hari biasanya saya membawa dua (2) tabung. Itu pun juga masih sisa sampai base camp.
Jenis kompornya? Banyak sekali. Pas zaman Avatar Roku mungkin kompornya masih segede gambreng. Tapi, pas zaman Avatar Aang sudah ada beragam varian kompor gas portabel. Yang paling hits kompor Kovar lalu disusul dengan kompor kembang karena harganya paling murah, sekitar Rp50-100 ribu. Pesaingnya, ya, kompor Bulin dengan ciri khas berupa tungku kaki tiga dan selang regulator yang bikin kompor ini tampak futuristik. Harganya sekitar Rp200-500 ribu. Setelah itu barulah masuk kompor-kompor UL berukuran sejari kelingking dengan harga sekitar Rp100-400 ribu. Namun, kompor UL biasanya harus menggunakan tabung canister yang harganya lumayan.
Tapi tenang, bukan Indonesia namanya kalau tak mengakali masalah alat-alat. Sekarang sudah banyak dijual kompor UL plus adaptor kaki tiga yang terhubung dengan gas portabel. Jadi tak perlu lagi tabung canister. Satu set biasa dijual Rp100-150 ribu.
Kekurangan? Jelas ada. Meski api kompor gas portabel bisa diatur, bahan bakar gas ini mudah meledak apabila terjadi kebocoran akibat pemasangan gas yang salah. Tak hanya soal kebocoran, klep pengatur apinya pun tak awet-awet amat karena terbuat dari karet. Jadi, ya, ada kalanya kompor ini bakalan rusak dan sulit diservis, sebab suku cadang karetnya langka.
Sekiranya, itu tiga jenis kompor sesuai bahan bakar yang jamak digunakan untuk memasak di gunung. Selanjutnya, saya akan rangkum dalam bentuk tabel agar pembaca yang budiman sekalian lebih gampang dalam menimang-nimang kompor apa yang cocok dibawa dalam pendakian.
Jenis bahan bakar | Parafin | Spiritus | Gas portabel |
Ketersediaan bahan | Sulit | Mudah | Mudah |
Harga kompor (Rp) | 20-30 ribu | 30-150 ribu | 50-500 ribu |
Harga bahan bakar (Rp) | 14-20 ribu/8 keping | 15-20 ribu/liter | 19-25 ribu/tabung |
Lalu bagaimana dengan kompor pilihan saya sendiri? Ya, saya, sih, mengikuti zaman menggunakan kompor UL lengkap dengan tabung canisternya, karena tabung canister dan kompornya bisa masuk ke dalam nesting sehingga lebih ringkas. Namun, saya membawa bahan bakar parafin untuk berjaga-jaga apabila terpaksa berada dalam keadaan survival, atau sebagai bahan bakar cadangan apabila gas portabel habis atau bocor dalam perjalanan.
Jadi, sudah menentukan pilihan kompormu? Yuk, kita flambé pakai nesting di Suryakencana!
Kenali Indonesiamu lebih dekat melalui Instagram dan Facebook Fanpage kami.
Tertarik buat berbagi cerita? Ayo kirim tulisanmu.
1 comment
[…] Nutrihiking: Jenis-jenis Kompor Lapangan […]