Cuaca Pulau Kapoposang ketika angin barat ternyata membuat saya harus pasrah dengan segala rutinitas dan musti berhenti sejenak. Ampas kelapa tak kunjung kering karena tak bisa dijemur. Semaian tanaman yang sudah mulai kelebihan air juga membutuhkan panas matahari.

Padahal saya mesti mempersiapkan ampas kelapa untuk pakan ayam dan mengumpulkan tanah agar bisa segera memindahkan bibit ke polybag yang lebih besar. Ini semua sebenarnya persiapan agar saya bisa meninggalkan kewajiban kegiatan di pulau dengan tenang. Rencananya, jika ada kapal yang berangkat menuju Pangkep, saya akan ikut, terus lanjut ke Jakarta.

Jumat ini cuaca sepertinya bersahabat. Mendung menuju cerah. Sehabis salat Jumat, Pak Sapar memberitahukan jika sebentar lagi ia akan ke Pangkep. Beruntung malam sebelumnya saya sudah mengemas tas.

Selama perjalanan, laut cukup tenang dan matahari menyinari lautan dengan hangat. Padahal sehari kemarin hujan badai dan ombak besar. Saya mengecek tanggal dan mencoba membuat daftar apa saja yang akan saya lakukan selama pergi ke luar Kapoposang. Saya baru teringat kalau besok Sabtu ada acara ANTERO dari Kok Bisa dan SabangMerauke di Makassar, “Keliling Indonesia Merawat Toleransi.” Pas sekali. Bisa saya agendakan untuk ikut.

Kapal kami baru tiba Pangkep menjelang Magrib dan saya jalan keesokan paginya.

Dari Pangkep menuju Makassar saya naik pete-pete (angkot) berwarna biru. Cukup banyak pete-pete dari Pangkep ke Makassar. Jadi, tak perlu menunggu lama, pantat saya sudah mendarat mulus di bangku penumpang.

Walau belum tahu rute mana yang akan dilewati, saya go show saja. Yang penting sampai Makassar dulu. Nanti tinggal tanya-tanya, begitu pikir saya. Setelah tanya pak supir, ternyata saya hanya perlu dua kali ganti angkot. Akhirnya saya turun di Sentral Makassar dan berjalan sekitar 15 menit menuju hotel di mana acara ANTERO diadakan.

Acara itu ternyata berada di lantai 17. Begitu melihat nama ruangan yang dipakai ANTERO, saya tertawa dalam hati. Kapoposang. Nama ruangannya Kapoposang. Semesta memang suka bercanda dengan caranya sendiri. Kapal yang tidak direncanakan ke Pangkep, ruang yang bernama Kapoposang. Suatu kebetulan yang remeh.

Acara dimulai jam 10. Dari 50 peserta terpilih, beberapa sepertinya memang sudah saling kenal, sementara lainnya masih meraba-raba, terlihat kikuk mengantisipasi informasi yang akan mereka dapat di ANTERO kali ini.

Reynold Hamdani sedang berbagi soal toleransi di ANTERO Makassar/Kok Bisa
Reynold Hamdani sedang berbagi soal toleransi di ANTERO Makassar/Kok Bisa

Sebelum acara dimulai kami menyanyikan lagu Indonesia Raya 3 Stanza. Jujur, ini pertama kalinya saya menyanyikan lagu Indonesia Raya 3 Stanza. Kalau saja tidak dipandu oleh lirik yang ada di layar proyektor, mungkin saya tidak bisa menyanyikannya. Malu juga karena asing dengan lagu kebangsaan sendiri.

Selanjutnya ada perwakilan UNDP, Bapak Syamsul Tarigan, yang menceritakan bahwa awal mula acara ini adalah kegelisahan bahwa, faktanya, toleransi di negeri ini sudah berada di tahap yang mengkhawatirkan. Selanjutnya ada Reynold Hamdani dari SabangMerauke, Albi dari Kok Bisa, dan Siti Fuadilla dari Perempuan (di) Makassar, yang bercerita tentang toleransi dari sudut pandang mereka.

Menarik dan menggugah memang. Saya seperti berkeliling Indonesia mendengar cerita mereka berbagi soal toleransi di berbagai tempat. Ditambah lagi para peserta aktif bercerita tentang bagaimana kondisi tolerasi terutama yang terjadi di Makassar dan kegelisahan mereka bahwa ternyata isu ini memang sudah relevan dalam kehidupan sehari-hari.

Saya sebenarnya tidak terlalu menelaah toleransi, karena bagi saya itu bukan isu pribadi. Selama kita masih punya empati dan rasa peduli terhadap kawan sekitar, toleransi akan terbangun, karena itu bukan hanya konsep tapi juga tingkah laku.

Tapi, kalau dipikir-pikir lagi, memang ada beberapa memori yang membuat saya sadar bahwa selama ini saya selalu bercanda dengan tolerenasi.

Misalnya saat menjadi relawan di salah satu tempat yang terkena bencana. Saat itu saya bersama teman-teman dari Belgia dan Belanda. Ketika mengunjungi posko untuk memberikan bantuan, perwakilan dari posko itu bertanya pada saya, “Apakah bantuan ini dari warga asing itu?” Saya jawab, ada beberapa. Lalu mereka tanya, “Apakah mereka seagama dengan kami?” Saya bilang, “Udah, Pak. Daripada pusing, mending bantuannya disyahadatin aja.” Bapaknya melengos. Saya pasang muka bego.

Pernah saat di Papua saya menumpang di rumah teman. Mama teman saya ini rajin ke gereja. Suatu waktu saya sedang rebahan bersama teman-teman, padahal azan sudah berkumandang. Mama menghampiri sambil setengah teriak: “Kalian ini kalau tra solat sa baptis di gereja saja! Pi solat sana!”

Toleransi memang bisa dibangun dengan sebercanda itu.

Salah satu karya Kok Bisa tentang toleransi/Kok Bisa

Kenali Indonesiamu lebih dekat melalui Instagram dan Facebook Fanpage kami.

Tertarik buat berbagi cerita? Ayo kirim tulisanmu.

Tinggalkan Komentar