Liburan semester kemarin, 2-3 Juni 2019, menurut saya menyenangkan meskipun agak konyol. Sebabnya, liburan itu mendadak. Menjelang tengah malam sehari sebelum keberangkatan, tiba-tiba saja kakak-kakak sepupu saya menawarkan untuk ikut mereka traveling ke Pacitan, Jawa Timur.
Awalnya saya ragu untuk ikut. Namun, setelah menjelajah dunia maya dan mendapati bahwa pantai di Pacitan bagus-bagus, dengan yakin saya menjawab bahwa saya bersedia ikut. Malam itu juga saya mengemasi perlengkapan jalan-jalan, termasuk alat mandi dan pakaian ganti, agar tidak tergesa-gesa esok pagi.
Keesokan paginya, setelah mengepel kamar, mandi, dan minum susu, kami berenam berangkat naik motor dari Yogyakarta ke Pacitan.
Karena hanya bermodalkan Google Maps dan plang penunjuk jalan, kami sempat nyasar dalam perjalanan. Tapi akhirnya kami tiba juga dengan selamat di Kabupaten Pacitan sekitar jam setengah dua siang.
Mencari tempat bermalam di Pantai Klayar
Pantai pertama yang kami datangi adalah Pantai Soge. Tempatnya bagus dan bersih. Para penjual makanan di sekitar pantai juga ramah-ramah dan makanan-makanan yang dijual lumayan murah. Kami istirahat sebentar di pantai itu sebelum lanjut melanglang ke Pantai Srau.
Hampir jam empat sore ketika kami tiba di Pantai Srau. Niatnya, kami mau menikmati sunset di sana. Tapi, sayang sekali saat itu cuaca sedang tidak bersahabat. Langit mendung. Jadi, kami cuma foto-foto saja di pantai itu. Seperti Soge, pantai ini juga bagus. Namun saya masih melihat sedikit sampah di tempat ini.
Dari Srau, kami melanjutkan perjalanan ke Pantai Klayar untuk mencari penginapan atau homestay murah. Setiba di Klayar kami langsung menghampiri salah satu warung yang ternyata adalah milik salah seorang pengelola pantai.
Sementara kami istirahat, dua kakak laki-laki saya pergi mencari penginapan. Mereka kembali dengan tangan hampa. Harga penginapan dan homestay di Pantai Klayar terlalu mahal untuk mahasiswa rantau (yang traveling bermodal nekat) seperti kami.
Akhirnya, salah seorang kakak saya memberanikan diri untuk bertanya ke istri dari pemilik warung mengenai apakah kami boleh menginap di warung itu atau tidak. Lega sekali rasanya mendengar sang ibu dengan senang hati menjawab “boleh.” Syaratnya cuma satu: kami belanja makanan di warung itu. Tidak masalah, sebab makanan di sana lumayan murah dan lengkap (ada nasi telur, mi, sayur, sambel mentah, dll.). Untuk menginap, kami cuma perlu membayar Rp25.000 per orang.
Tentang asal-usul nama Pantai Klayar
Malamnya, sang pemilik warung sempat duduk-duduk bercerita dengan kami. Banyak sekali yang diceritakan olehnya. Tapi, yang paling berkesan bagi saya adalah soal asal-usul nama Pantai Klayar.
Konon, menurut sang bapak, zaman dahulu kala ada sebuah perahu yang terombang-ambing diterjang ombak besar (glayar). Perahu yang glayar itu lalu terdampar di pesisir yang sekarang bernama Pantai Klayar. Lama-lama, kata glayar itu berubah menjadi “klayar.”
Tapi tidak cuma cerita asal-usul namanya saja yang membuat Klayar menarik. Secara fisik, pantai ini unik. Klayar dikelilingi oleh tebing dan batu karang. Garis pantainya dilapisi oleh pasir putih kecokelatan yang sangat lembut. Dengan segala pesonanya, tak mengherankan jika pantai yang berada di Desa Kalak, Kecamatan Donorejo, Kabupaten Pacitan, Jawa Timur, ini terus dikembangkan dan dipromosikan sebagai destinasi wisata oleh pemerintah setempat.
Selesai bercerita, sang bapak pamit pulang. Ia berpesan pada kami agar berhati-hati dalam perjalanan pulang ke Yogyakarta keesokan hari.
Sambil menunggu makan malam diantarkan oleh istri sang pemilik warung (ia ternyata memasak di rumah), bergantian kami mandi. Mulai makan sekitar jam setengah sembilan malam, kami baru tidur lewat jam sebelas malam. Herannya, keesokan harinya kami tetap bangun pagi. Mungkin karena sudah tak sabar lagi untuk berlari-lari di pantai.
Mampir ke pantai yang katanya “Raja Ampat-nya Pulau Jawa”
Dari Pantai Klayar, kami berpindah ke Pantai Kasap. Ternyata tiket masuk pantai yang disebut-sebut sebagai Raja Ampat-nya Pulau Jawa itu tidak terlalu mahal, hanya Rp2.000. Harga makanan di warung-warung di sekitar Pantai Kasap juga lumayan murah. Supaya wisatawan lebih nyaman, disediakan pula tempat penitipan barang.
Karena spot berfoto di Pantai Kasap berada di bukit, kami mesti sedikit mendaki. Tak apa-apa, anggap saja olahraga pagi. Lagian, bukitnya juga tidak terlalu tinggi. Setiba di puncak bukit, barulah kami tahu bahwa setiap pengunjung mesti membayar Rp5.000 untuk masuk kawasan instagenik itu.
Petualangan kami menelusuri pantai tak berhenti di Pantai Kasap. Dari sana, kami lajut ke Pantai Buyutan, di mana kami makan siang—saya memesan nasi lele plus sambal dan susu—di salah satu warung terus mandi-mandi sampai sore.
Jam enam kurang, kami mengucapkan selamat tinggal pada Pacitan dan pulang ke Yogyakarta. Setelah perjalanan panjang sekitar empat jam, akhirnya kami tiba dengan selamat di Yogyakarta menjelang jam sepuluh malam. Capek yang kami rasakan tak ada artinya dibanding pengalaman menjelajahi lima pantai di Kabupaten Pacitan dalam waktu dua hari.
Kenali Indonesiamu lebih dekat melalui Instagram dan Facebook Fanpage TelusuRI.
Tertarik buat berbagi cerita? Ayo kirim tulisanmu.