1. Dulu gunung sepi sekarang rame
Dulu orang mikir berkali-kali sebelum naik gunung. Daripada capek-capek ngeluarin keringat buat naik gunung mending nongkrong di rumah teman sambil main gitar, atau dengerin radio. Jadi naik gunung bukanlah hobi yang populer dulunya.
Alhasil di gunung pun kamu nggak akan ketemu banyak orang. Kamu bisa kemping dengan leluasa tanpa perlu khawatir kehabisan tempat di lokasi kemping favorit. Kalau niatmu naik gunung pengen cari ketenangan, kamu benar-benar bakal bisa mendapatkan ketenangan karena suasananya sepi banget.
2. Dulu naik gunung pakai peralatan pinjaman sekarang hampir semua pendaki punya alat sendiri
Sebelum vendor perlengkapan pendakian lokal menjamur seperti sekarang, nggak semua orang bisa punya perlengkapan mendaki. Harganya masih pada mahal. Jadi beberapa hari sebelum berangkat, para pendaki bakal pergi ke sana kemari buat nyari pinjaman perlengkapan, dari mulai tenda, keril, kompor, sleeping bag, jaket, sepatu, sampai senter. Boro-boro mikirin nanjak ala “ultra light”—masih zaman Ultraman, bor!
Sekarang persaingan vendor-vendor lokal bikin harga perlengkapan pendakian menjadi ramah di kantong. Cuma menabung sebulan kamu bakal bisa beli keril sendiri. Nabung dua bulan mungkin kamu sudah bisa punya tenda yang lumayan cozy.
3. Dulu mikir-mikir seribu kali dulu sebelum “selfie” di gunung
Dari dulu sebenarnya hasrat buat selfie sudah ada. Cuma belum tersalurkan saja karena apa daya ponsel masih Nokia monokrom (itu pun belum tentu punya). Mau selfie pakai tustel harus mikir seribu kali dulu; harga satu rol film 35mm isi 36 mahal, belum lagi biaya buat cuci. Sayang filmnya kalau cuma buat selfie. Mending buat foto bareng pas sudah tiba di puncak.
Jadi kalau kamu membolak-balik album foto pendaki-pendaki senior, jangan heran waktu lihat foto mereka di gunung, yang kebanyakan adalah foto berkelompok dan jarang banget ada yang selfie—dan posenya pada kaku semua. Bukannya mereka nggak mau, tapi cuma nggak ada doku!
4. Dulu waktu belum bisa beli trangia atau MSR, masaknya pakai kompor kupu-kupu… atau parafin
Tersebutlah sebuah kompor bermerk “Butterfly” yang dulunya populer di kalangan pendaki. Kompor ini praktis memang, seperti kompor Bulin. Ringkas karena cuma terdiri dari dudukan untuk wadah masak—yang kalau dibuka mirip kupu-kupu—dan saluran penghubung gas ke kompor.
Tapi nyalain kompor ini sensasinya agak mirip sama menjinakkan bom. Salah-salah, saluran gasnya bisa bocor dan api akan merembet keluar menghanguskan segala yang bisa dihanguskan. Makanya sebelum berangkat nanjak kompor kupu-kupu mesti dibersihin dulu. Alternatif kedua adalah parafin. Meskipun api dari parafin susah buat dikontrol, masak pakai parafin bakal ngasih kamu satu bonus: lubang hidung penuh jelaga.
5. Dulu bangga banget bisa punya edelweiss di dompet
Bukannya vandal; dulu akses informasi nggak segampang sekarang. Jadi mana paham kalau edelweiss itu adalah tanaman langka yang seharusnya dilestarikan bukannya dipetik. Makanya pada cuek saja memetik edelweiss di cadas lalu membawanya turun dan membagikannya ke kawan-kawan. Edelweiss dari gunung itu lalu banyak yang nasibnya berakhir di dompet.
Tapi sekarang kebiasaan membawa pulang edelweiss sudah kuno, katro, dan saatnya untuk ditinggalkan. Biarkan rumpun-rumpun edelweiss itu tenang di Alun-Alun Mandalawangi, di Suryakencana, atau di Tegal Panjang, atau di alun-alun manapun di gunung. Dilihat boleh, dipegang jangan.
6. Dulu mabok-mabokan, sekarang juga?
Ini kita kembalikan ke diri masing-masing saja. Hmm… memang benar adanya bahwa sebagian—sekali lagi, sebagian saja—pendaki zaman dulu suka membawa alkohol pas naik gunung.
Mungkin mereka mikirnya, “Bawa bir ah biar di atas anget.” Tapi ya kalau kebanyakan bukannya badan jadi hangat, malah kebablasan: mabok. Dan teler di gunung sama sekali nggak direkomendasikan. Hangover di gunung cuma bakal bikin kamu gagal untuk menikmati keelokan momen matahari terbit. Lagian buat apa jauh-jauh ke gunung kalau cuma buat mabok?
7. Dulu pendaki gunung rata-rata “gondes,” sekarang banyak yang klimis
No offense buat yang klimis. Poin ini cuma buat mengilustrasikan saja bedanya sosok pendaki zaman dulu dan sekarang. Dulu kelompok pencinta alam isinya sebagian besar orang-orang gondrong ndeso (gondes). Biasanya mahasiswa-mahasiswa yang lulusnya lama. Makanya ada anekdot bahwa mapala itu singkatan dari “mahasiswa paling lama.” Penampilan mereka lecek karena cuma mandi untuk menyongsong hajatan-hajatan besar (sudah mirip jamasan alias ritual memandikan benda-benda pusaka).
Pendaki sekarang sudah sadar pentingnya kesehatan. Makanya pada bersih dan rapi. Rambut gondrong habitat kutu sudah mulai dihindari. Nah, pendaki yang masih setia dengan gaya lawas siap-siap saja jadi “Englishman in New York” waktu naik gunung.
Jika tidak dituliskan, bahkan cerita-cerita perjalanan paling dramatis sekali pun akhirnya akan hilang ditelan zaman.
Ya allah. Ku kangen argopuroooo dan ka ajo, ka deli, ka benny, ka eka, ka teguh :3
seru banget itu Argopuro 🙂
Ya allah. Ku kangen argopuroooo dan ka ajo, ka deli, ka benny, ka eka, ka teguh :3
seru banget itu Argopuro 🙂