Sebagai pendaki yang sudah bolak-balik ke puncak-puncak gunung di Indonesia, kamu pasti sadar kalau para pendaki gunung di Indonesia punya lima kebiasaan berikut:

1. Suka nanjak rame-rame

Pendaki Indonesia itu sosial banget. Makanya sebagian besar di antara mereka lebih senang nanjak rame-rame ketimbang bersedikit atau sendirian. Pokoknya, makin rame makin asyik.

Kalau temen-temen deket nggak mau diajak karena lagi sibuk, para pendaki gunung Indonesia bakal main ke forum-forum atau akun-akun Instagram komunitas pendaki buat nyari barengan. Bagi mereka nggak apa-apa nanjak sama orang yang baru dikenal. ‘Kan bisa kenalan pas naik.

2. Naik malam hari

Satu lagi kebiasaan para pendaki di Indonesia adalah naik di malam hari. Praktik naik gunung di malam hari ini dilakukan, umumnya, buat menghindari panas yang menyengat di siang hari.

Biasanya, sekitar jam 9 malam mereka akan mulai nanjak. Setiba di kamp terakhir menjelang puncak—tengah malam atau dini hari—mereka bakal buka tenda dan istirahat menunggu pagi. Jam 4-5 pagi, mereka bakal bangun buat menyusuri setapak menuju puncak.

3. Perjalanan Sabtu-Minggu

Kebiasaan lain para pendaki di Indonesia adalah nanjak Sabtu-Minggu. Kenapa Sabtu dan Minggu? Ya, karena itu adalah akhir pekan dan hari-hari libur.

Makanya kamu jangan heran mendapati bahwa setiap Sabtu-Minggu gunung-gunung di Indonesia selalu ramai oleh para pendaki. Jadi, kalau mau mencari ketenangan di gunung, kamu bisa mendaki selain di hari Sabtu dan Minggu.

4. Bangun di pagi buta dan nanjak ke puncak buat lihat “sunrise”

Pendaki di Indonesia rela bangun di pagi buta dan nanjak ke puncak buat melihat matahari terbit (sunrise). Dingin yang menusuk, kantuk, dan, terkadang, rasa lapar nggak bisa menghalangi mereka buat menyaksikan terbitnya sang surya.

Setiba di puncak, mereka bakal nongkrong sebentar, foto-foto, terus turun lagi ke kamp. Sesampai di kamp, lanjut tidur lagi, deh.

5. Turun “nyeleng”

Ini, nih, yang paling bikin heran. Banyak pendaki di Indonesia yang suka turun lari-larian ninggalin temen-temennya di belakang. Istilahnya kalau di Yogyakarta dan sekitarnya: “nyeleng.” Turun nyeleng inilah yang diduga berkontribusi paling banyak terhadap gagal dengkul setiba di rumah.

Gimana? Kamu bisa relate nggak, Sob?


Kenali Indonesiamu lebih dekat melalui Instagram dan Facebook Fanpage TelusuRI.

Tertarik buat berbagi cerita? Ayo kirim tulisanmu.

Tinggalkan Komentar