“Tadi pagi saya nyekar ke makam suami saya,” Ibu Nuraeni Amperawati Firmina memberi jeda, “dan setiap kali saya nyekar ke makam suami saya, saya selalu ingat puisi Pacarkecilku.” 

Perempuan yang biasa dipanggil Ibu Ning itu lantas membuka lembar kertas yang digenggamnya erat; pandang serta tuturnya meloncat langsung pada bait terakhir:

Pacarkecilku tak akan mengerti: pelangi dalam botol cintanya
bakal berganti menjadi kuntum-kuntum mawar-melati
yang akan ia taburkan di atas jasadku, nanti.(2001)

“Ternyata, Mas Joko sudah mengatakan ini jauh-jauh hari,” pungkasnya.

Saya cuma bisa duduk termenung bersama hadirin lain. Sesekali saya coba mencuri pandang ke arah bulu matanya, yang kata mendiang suaminya, bulu matamu: padang ilalang, di tengahnya sebuah sendang.

Umbul Dunga 40 Hari Joko Pinurbo: “Selesai Sudah Tugasku Menulis Puisi”
Gerobak angkringan dan langit sore jelang kumandang azan/Abdillah Danny

Sore yang gerimis di hati saya (dan tentu banyak orang). Dari arah selatan jalanan tak begitu ramai kendaraan. Sementara beberapa kali orang-orang yang melintas menyempatkan diri menoleh, mengira-ngira apa yang sedang diselenggarakan di Monumen Serangan Umum 1 Maret, Kota Yogyakarta ini. Udara terasa sempit, mungkin sesak oleh doa-doa yang merangsek naik ke langit. Rabu yang khidmat (5/6/2024) untuk mengenang penyair keramat.

Sambil menunggu acara dimulai, saya membakar tembakau yang sudah saya linting dari kos pagi tadi. Sejak kemarin saya mendapat informasi dari cerita Instagram beberapa teman dan guru, sehingga sedapat mungkin saya berusaha menyelakan diri untuk hadir hari ini. Umbul Dunga, Mengenang 40 Hari Joko Pinurbo. Sambil berharap kesempatan kongko-kongko bersama kawan lama yang semoga saja bertemu. Maka inilah sekarang, saya sudah di tempat sebelum waktunya.

Benar saja. Belum dapat selinting, datang kawan saya Aqsha. Ia mengenakan kaus putih dan topi fedora khasnya. Di jemarinya tergenggam selembar puisi. Saya jadi tahu, ia nanti akan membaca puisi bersama penyair serta budayawan lain.

Persembahan untuk Sang Penyair

Pembawa acara datang dan membuka dengan salam. Tibalah acara pertama, yakni pembacaan puisi dari komunitas-komunitas sastra, seperti Jejak Imaji (kawan saya Aqsha ikut di sini), Komunitas Kutub, dan Lingkar Pena. 

Di waktu yang bersamaan, sekumpulan pelukis melakukan live painting, mengalihwahanakan puisi-puisi Jokpin—sapaan Joko PInurbo—menjadi sebuah lukisan. Juga, di jarak sekitaran lima langkah dari panggung utama, sekumpulan perajin bekerja sama untuk membuat potret Jokpin dalam bentuk patung dengan ukuran seperempat badan dan skala 1:1. Sambil menikmati hal tersebut, saya melihat beberapa orang sedang sibuk di bakul angkringan. Terdapat total enam gerobak angkringan, yang menurut pendengaran saya, itu dari Danais (Dana Keistimewaan DIY) dan nantinya akan dibuka gratis. Sementara telinga saya menyimak pembacaan puisi, mata saya dimanjakan dengan momen-momen sengkarut yang puitis ini. Saya merasa katarsis.

Umbul Dunga 40 Hari Joko Pinurbo: “Selesai Sudah Tugasku Menulis Puisi”
Para perajin sedang berkarya/Abdillah Danny

Barulah kemudian azan Magrib berkumandang. Pembawa acara memberitahu sekarang waktunya jeda salat. Beberapa hadirin mengangkat badan dan mulai beranjak. Sedikit jauh, di jalanan, kendaraan melintas pelan; terlihat capek dan lesu. Sedang langit menyala jingga. Saya jadi teringat puisi Pacar Senja dan Cita-cita. Sila membacanya di buku atau laman internet.

Selepas salat, acara kembali bergulir. Kali ini, personil pembawa acara bertambah satu. Saya sedikit kaget sebab dari lagak-lagaknya, acara seakan dibuka ulang. Dua orang itu membacakan susunan acara (lagi). Katanya, akan ada sambutan-sambutan terlebih dahulu. Seperti dari Ketua Dinas Budaya DIY sampai Sri Sultan Hamengku Buwono X serta pejabat-pejabat lain. Yang membikin ini menarik adalah bagaimana orang-orang tersebut tak hanya sekadar memberi sambutan yang formal. Lebih dari itu, tiap-tiap mereka membacakan setidaknya satu puisi Jokpin yang mereka pilih sendiri. Ambil contoh Sri Sultan. Beliau memilih puisi berjudul Kota Kecil sambil sebelumnya mengaku bahwa ini adalah pertama kalinya beliau membacakan puisi.

Kembali pembawa acara masuk. Setelah coba-coba menyapa saya (dan tentu seluruh hadirin), disampaikanlah acara berikutnya, yakni pembacaan testimoni dari keluarga, kawan, serta penyair atau budayawan (perorangan, tak seperti kawan saya, Aqsha, sore tadi yang mewakili komunitas). 

“Namun, sebelum itu mari kita dengarkan musikalisasi puisi dari Oppie Andaresta featuring Bagus Mazasupa!” potong pembawa acara cewek membuyarkan lamunan saya. Masuklah orang yang dimaksud dan sungguh, begitu suara keyboard Mas Bagus mulai mengalun, kemudian suara Mbak Oppie menyanyikan puisi Pacarkecilku. Sebuah “sendang” tercipta di tengah bulu mata saya. Belum lagi sesekali Mbak Oppie melirik ke arah Ibu Ning, istri mendiang Jokpin. Saya merasa haru.

Mereka yang Ikut Mendoakan Joko Pinurbo

Adapun setelahnya, Ibu Ning naik ke panggung mewakili keluarga besar Jokpin. Ia menyatakan bahwa baginya, malam ini adalah malam yang penuh syukur. Malam yang bertepatan dengan 40 harinya orang yang dikasihi dipanggil Tuhan. 

“Tentu saja kami juga bersedih, tapi kami juga diajarkan untuk beriman, sebab Tuhan punya rencana yang baik bagi kami.” tambahnya. 

Sebelum mengakhiri, Ibu Ning sempat menyampaikan pesan titipan dari mendiang Jokpin. Katanya, saat masih dirawat di RS Panti Rapih sekitar Februari lalu, Jokpin menitip pesan maaf untuk semua orang. “Kalau-kalau kadang gojlokannya suka kelewatan, dan kesalahan-kesalahan lain. Kami memohon maaf kepada semua. Semoga perjalanan Mas Joko semakin terang dan lapang,” terangnya.

Kemudian, Ibu Ning bercerita soal nyekar dan membacakan puisi Pacarkecilku. Lantas ia meminta pamit.

Umbul Dunga 40 Hari Joko Pinurbo: “Selesai Sudah Tugasku Menulis Puisi”
Ibu Nuraeni Amperawati Firmina membaca puisi Pacarkecilku/Abdillah Danny

Selanjutnya adalah Butet Kertaradjasa. Dengan mimik wajah yang gagah, Pak Butet membacakan puisi Kamus Kecil. Saya merasakan perbedaan yang besar saat melihat beliau beraksi. Seakan ketika beliaulah yang membacakan, ‘anak panah kata’ akan semakin tepat sasaran, sebab dibawakan dengan mantap dan yakin. Kemudian dilanjutkan oleh Landung Simatupang. Lantas Faruk HT (saya meminta tanda tangan pada beliau selepas acara), Hairus Salim, Joni Ariadinata, Kris Budiman, hingga Raudal Tanjung Banua. Barulah kemudian seorang Romo masuk, memimpin hadirin melangitkan doa untuk Bapak Philipus Joko Pinurbo.

Pembawa acara itu masuk lagi. Namun, kali ini kabar yang ia bawa begitu menggembirakan hati. Katanya, sebelum acara kembali dilanjutkan, para hadirin dipersilakan untuk menikmati sajian di angkringan yang sudah siap. 

Umbul Dunga 40 Hari Joko Pinurbo: “Selesai Sudah Tugasku Menulis Puisi”
Seperti kata Jokpin, Jogja terbuat dari rindu, pulang, dan angkringan/Abdillah Danny

Langsung saja, begitu pembawa acara memberi aba-aba, dengan tangkas saya mengambil nasi kucing dan sate usus. Namun, ternyata keserakahan saya tak disambut dengan keserakahan orang lain. Jadilah saya malu sendiri, lalu untuk kedua kalinya, kembali ke gerobak angkringan lantas menyeduh kopi dengan santai dan perlahan. Di sela keramaian itu, pembawa acara mengulang-ulang kutipan Jokpin soal angkringan: Jogja terbuat dari rindu, pulang, dan angkringan.

Acara berlanjut. Dari kelompok aktor, terdapat Kedung Darma Romansha yang baru saja main film Tuhan, Izinkan Aku Berdosa. Lalu dari kalangan yang lebih muda, terdapat Mutia Sukma selaku sastrawan dan pengelola JBS (Jual Buku Sastra), juga Komang Ira Puspitaningsih yang kini gemar berpuisi di kamar dapur. Dilanjutkan dengan Ons Untoro, Heru Joni Putra, serta masih banyak lagi. Ada pula Rumah Pantomim yang menyajikan pertunjukan singkatnya sebagai penutup.

Umbul Dunga 40 Hari Joko Pinurbo: “Selesai Sudah Tugasku Menulis Puisi”
Mutia Sukma membaca puisi Jokpin/Abdillah Danny

Menyadari betapa menyentuh hatinya hari ini, saya tertunduk memekur. Ransel di punggung saya buka dan mengambil buku puisi Jokpin yang berjudul Malam Ini Aku Akan Tidur di Matamu. Selalu saja saya ngakak saat berjumpa puisi yang berjudul Duel. Kemudian saya menutup buku itu, melihat sekeliling yang tetiba hilang suara. Langit yang sesak, untuk sementara menyembunyikan bintang. Jalan raya terlihat ayem. Padahal ini hari seharusnya saya sedih. Namun, entah mengapa saya merasa belum. Hingga angin tiba-tiba berhenti dan terdengar suara jelas sekali di telinga saya:

Selesai Sudah Tugasku Menulis Puisi

Sebab kata-kata sudah besar,
sudah selesai studi,
dan mereka harus pergi
cari kerja sendiri.

(Telepon Genggam, 2003)*

* tentu saja kalimat terakhir di paragraf akhir tersebut adalah fiksi.


Kenali Indonesiamu lebih dekat melalui Instagram dan Facebook Fanpage kami.
Tertarik buat berbagi cerita? Ayo kirim tulisanmu.

Tinggalkan Komentar