Kunjungan pertama saya ke Gunung Rinjani berlangsung akhir April 2024. Rasanya gembira sekali ketika bisa mendapat tiket daring rute Senaru–Sembalun. Mendaftar via eRinjani, jadwal mendaki saya terkonfirmasi pada 28 April–1 Mei 2024.
Semua tahu, kuota pendakian menuju puncak Rinjani dibatasi. Semua berebut ingin naik. Kita bisa pilih lewat Sembalun, Senaru atau Torean. Mau bersama rombongan open trip (OT), trekking organizer (TO), atau sendirian. Bebas. Taman Nasional Gunung Rinjani (TNGR) memfasilitasi dengan baik.

Opsi Senaru karena Teduh
Referensi yang saya peroleh, jalur Sembalun melintasi padang sabana mahaluas. Sengatan mentari dipastikan membakar jika berjalan siang hari. Sedangkan Senaru menyusuri kelebatan hutan tropis.
Lewat Sembalun dipastikan ramai teman seperjalanan, sementara via Senaru tak banyak pendaki. Saya mantap pilih Senaru! Selain senang mendaki dalam keheningan, tutupan rimba akan memayungi dari panggangan matahari Lombok yang terkenal nyelekit.
Tiba di Lombok, saya menginap semalam di kediaman seorang kawan di Selong, Lombok Timur. Info darinya, masih dua jam perjalanan memakai mobil untuk sampai ke Desa Senaru, Kecamatan Bayan, Kabupaten Lombok Utara.
Besoknya, sepulang kerja kawan saya mengantar langsung ke Senaru. Kami berangkat selepas makan malam. Jalanan tampak sepi. Terlebih ketika memasuki dataran tinggi Sembalun. Rupanya arah ke Senaru melewati kantor TNGR Resor Sembalun. “Kalau siang lewat sini, pemandangannya indah. Tebing dan perbukitan menjulang,” kata Agus di balik kemudi.
Tujuan kami adalah basecamp pendakian Senaru. Memasuki area desa, peta digital menuntun ke sebuah titik. Kami berhenti depan sebuah bangunan. Jalan kampung di situ sempit. Anjing terus menggonggong, tahu ada orang luar datang.
Saya sempat heran, kok basecamp gunung sekelas Rinjani sepi? Seseorang menghampiri, menanyakan kami dari mana dan mau ke mana. Dia lalu mengantarkan ke pintu rumah yang dimaksud peta daring.
Ketika itu pukul 23.00 WITA. Pemilik rumah telah terlelap. Namun, ia tetap tersenyum begitu tahu kami ingin bermalam. “Silakan di kamar depan,” katanya mendampingi ke sebuah ruangan berkarpet dilengkapi kasur pegas dan bantal empuk.



Dari kiri bawah, searah jarum jam: Perlengkapan pendakian saya di depan kamar. Kedai kopi milik Nursaat. Pak Saat Senaru (3 Juli 2025) kini fokus bisnis kopi Senaru/Mochamad Rona Anggie
Paginya saya dan Agus sadar, ini kediaman pribadi yang disulap menjadi homestay. Pemilik rumah bernama Nursaat (52), biasa disapa Pak Saat. Kata dia, pos registrasi jalur Senaru masih lumayan (jauh). “Kalau jalan kaki bisa sejam. Naik motor dua puluh menitan,” ujarnya.
Pada masanya, hunian Pak Saat tak pernah sepi pengunjung. Ini sebelum jalur Torean resmi dibuka tahun 2021. Pilihan pendaki waktu itu lewat Sembalun–Sembalun atau Sembalun–Senaru. “Kini lebih luang, bisa tenang ibadah,” katanya mensyukuri keadaan sekarang. “Ketika masih aktif memandu, nyaris tiap hari saya di gunung,” imbuhnya.
Ya, Pak Saat bersama penduduk Senaru lainnya, sejak muda berpengalaman sebagai guide wisatawan yang pelesir ke sana. Mendampingi rombongan pendaki asing atau para peneliti yang tertarik mengulik kehidupan suku Sasak.
Pukul 07.00 WITA, kami pamit menuju titik awal pendakian. Saya tanya Pak Saat, berapa biaya menginap untuk dua orang. “Gratis, cukup (bayar) kopinya saja,” ucapnya. “Loh, Pak?” saya terperangah dan mengulang, “Berapa kamarnya semalam, Pak?”
“Tidak usah. Saya senang menyambut tamu,” tegasnya.
Saya berterima kasih, sambil menyerahkan selembar uang untuk dua gelas kopi robusta. Saya juga memesan nasi bungkus untuk makan siang di jalur pendakian. Menunya luar biasa lezat: tumis irisan ikan laut nan pedas. Dikemas bentuk kerucut, beda dengan nasi bungkus di Jawa.
Rabu (3/7/25), saya menghubungi Pak Saat. Telepon aktif, tapi belum sempat terangkat. Saya kemudian mengirim pesan pendek. Beliau balas, “Alhamdulillah, kabar baik. Maaf slow respon, sibuk di kebun ga bw hp,” ketiknya.
“Lagi ada stok kopi apa, Pak?” tanya saya.
“Robusta, arabika, dan kopi plung,” ujarnya.
Semenit berselang, Pak Saat mengirim potret dirinya sedang menemani turis Asia di samping kedai. “Mantap,” balas saya.
Melewati Kebun Kopi
Memang betul, jarak dari rumah Pak Saat di seberang Masjid Nurul Jannah, ke pos registrasi cukup jauh. Melewati kampung tradisional Sasak dan rimbun kebun kopi.
Susah payah mobil melintasi jalan berlumpur dan sempit. Sesekali motor pemanen buah kopi, dipepetkan pemiliknya ke sisi kebun, demi memberi ruang kendaraan kami lewat. Sebuah pikap mengangkut pendaki bule. Riang tawa mereka. Kami tiba bersamaan di gerbang pendakian.
Petugas memeriksa tiket digital di ponsel saya. Menyamakan dengan sistem di laptopnya. Lelaki bernama Hadianto itu menanyakan kenapa saya mendaki sendirian. Saya jelaskan sulit mendapat teman perjalanan, karena rekan sebaya sudah punya kesibukan masing-masing.
Dia menyampaikan ada dua tim sudah mendahului. Tercatat 20-an pendaki memulai petualangan di hari yang sama dengan saya. Mayoritas turis asing, dikawal pemandu dan porter. “Hati-hati. Selamat mendaki,” katanya dengan logat setempat.
Menembus Belantara Senaru
Benar saja, di Pos 1 saya bertemu sepasang pendaki asal Cina. Sedangkan di perjalanan menuju Pos 2, saling menyalip dengan wisatawan Belanda, Rusia, Inggris, dan Jepang. Kebanyakan wanita dengan rentang usia mulai 20 hingga 50 tahun.
Jalur pendakian ke Pos 2 terhitung berat. Full tanjakan. Tengah perjalanan ada pos bayangan. Tiap pos di rute Senaru dilengkapi beruga (mirip pos ronda di Jawa Barat). Tutupan hutan kian rapat. Saya sempat berjumpa kelompok pendaki dari Bogor. Mereka mengapresiasi pilihan saya melakukan solo hiking.
Sementara salah seorang porter keheranan, “Naik sendiri?” tanyanya.
“Iya.”
“Hati-hati, Pak! Ini belantara Senaru,” ucapnya menyiratkan sesuatu. “Kita beriringan saja,” ajaknya.
Saya iyakan, dengan tetap menjaga jarak. Bagaimanapun dia sedang bekerja mendampingi tamu. Saya tak mau merepotkan. Setelah pertemuan itu, saya yang memanggul carrier, daypack, dan menjinjing tenda, tertinggal jauh. Beberapa kali saya rebahkan carrier sambil selonjoran. Treknya menyiksa otot paha dan betis.



Hingga di satu momen, saya coba memanggil tim di depan. Dua kali teriakan tak ada balasan. Wah, benar-benar sendirian di tengah rimba, batin saya. Sampai kemudian penunjuk Pos 2 tampak. Lega rasanya. Saya berharap bisa bertemu pendaki lain. Ternyata tak ada orang. Saya merasa sedih dan patah semangat.
Di Pos 2, saya buka perbekalan. Tak ada pelataran yang nyaman untuk menggelar matras. Dalam kesendirian, angin membelai lembut. Terasa dingin menyentuh badan yang basah oleh keringat. Tengah hari itu langit mulai tertutupi awan, kabut seliweran.
Saya baca keterangan di plang, jarak dari titik awal pendakian ke Pos 2 nyaris lima kilometer, ketinggian 1.500 meter di atas permukaan laut (mdpl). Sementara ke Pos 3 menempuh jarak 2,4 km, mirip dari Pos 1 ke Pos 2.
Tanpa pikir panjang, setelah menganalisis situasi, saya putuskan turun gunung. Mumpung masih siang, target sebelum gelap sampai pos registrasi. Saya tak mau gegabah menembus kelebatan rimba seorang diri, dalam kondisi fisik kian lelah. Keselamatan adalah nomor satu.
Langkah saya terhenti di Pos 2 jalur Senaru. Ternyata, tidak mudah mendaki seorang diri.

Tekad untuk Kembali
Saya tiba di pos registrasi pukul 16.00 WITA. Ojek menjemput di gerbang. Saya berniat menginap lagi di rumah Pak Saat. Eh, bang ojek ternyata tetangganya. “Sampai pos dua sudah setengah perjalanan itu. Hanya saja ke pos tiga masih jauh,” katanya membesarkan hati saya. Sedangkan untuk mencapai Plawangan Senaru perkiraan pukul 17.00 WITA.
Pak Saat dan istrinya terkejut ketika saya datang. Mereka bersyukur saya baik-baik saja, lantas mempersilakan beristirahat di kamar.
Saya tidak berkecil hati, belum berhasil muncak Rinjani. Sebelum memejamkan mata, saya berdoa dan bertekad untuk kembali. “Tunggu aku, Rinjani.”
* * *
Selang 27 hari kemudian, penulis mendaki Rinjani via Sembalun–Torean. Perjalanan tergabung dalam rombongan open trip (OT), berlangsung lancar dan mencapai puncak.
Foto sampul: Keindahan Gunung Rinjani memikat banyak pendaki Nusantara dan mancanegara (Mochamad Rona Anggie)
Kenali Indonesiamu lebih dekat melalui Instagram dan Facebook Fanpage kami.
Tertarik buat berbagi cerita? Ayo kirim tulisanmu.