INTERVAL

Titik Rawan Rinjani: Plawangan, Puncak, dan Segara Anak

Pemerintah Indonesia akhirnya menghentikan (total) aktivitas pendakian Gunung Rinjani. Pengumuman ini disampaikan Menteri Koordinator bidang Politik, Hukum, dan Keamanan (Menko Polhukam) Budi Gunawan, Jumat (18/7/2025).

Keputusan diambil merespons kecelakaan beruntun yang kembali menimpa warga negara asing (WNA). Rabu (16/7/25), pendaki Swiss Benedikt Emmenegger (46) jatuh di jalur arah Segara Anak dari Plawangan Sembalun. Kamis (17/7/25), turis Belanda Sarah Tamar van Hulten, terperosok saat mau ke danau. Keduanya dievakuasi helikopter, lalu diterbangkan ke rumah sakit di Bali.

Penutupan Gunung Rinjani menunda keinginan banyak petualang yang belum pernah ke sana. Padahal, sepanjang tahun gunung terindah di Nusantara ini selalu dibanjiri pengunjung. Di balik panorama eloknya, Rinjani menyimpan potensi bahaya merenggut korban jiwa.

Tiga pendaki terakhir gugur, yakni Kaifat Rafi Mubarok (16) asal Jakarta, Rennie Abdul Ghani (57) dari Malaysia, dan pendaki Brasil Juliana Marins (27). Ini belum yang luka-luka hingga patah tulang, seperti dua kasus teranyar.

Di mana saja titik paling rawan pendakian Rinjani?

Titik Rawan Rinjani: Plawangan, Puncak, dan Segara Anak
Titik tertinggi dalam foto adalah puncak Rinjani. Pendaki harus menaiki punggungan besar, sebelum meniti trek berpasir yang bersisian dengan jurang ratusan meter/Mochamad Rona Anggie

Plawangan Sembalun–Puncak

Sesungguhnya sejak menapaki tubuh Rinjani dari gerbang Kandang Sapi (rute Sembalun), pendaki dihadapkan medan yang tak mudah. Tiga jam jalan kaki di tengah terik mentari menuju Pos 2, bisa menyebabkan dehidrasi. Tak jarang kelelahan mengakibatkan seseorang pingsan. 

Berikutnya, menyusuri “tujuh bukit penyesalan” juga bukan perkara enteng. Jalur menanjak terjal, terutama setelah Pos 4. Tanah-pasir cokelat berdebu mengganggu pandangan dan pernapasan. Potensi terpeleset sangat besar di jalur ini. Hati-hati, sebelah kiri lembahan cukup dalam, sedangkan di sisi kanan sulit menemukan pegangan ketika tiba-tiba langkah merosot.

Selanjutnya, Plawangan Sembalun jadi kado manis buat mereka yang berhasil menaklukkan—saya menyebutnya—“tujuh bukit kegembiraan”. Pesona Segara Anak nan biru-luas, begitu memanjakan mata. Namun, petualangan masih panjang. Tantangan semakin berat di depan.

Titik Rawan Rinjani: Plawangan, Puncak, dan Segara Anak
Tempat berkemah di Plawangan 2/Mochamad Rona Anggie

Summit Attack dari Plawangan Sembalun

Pada pendakian 1–4 Juni 2024, saya tergabung dalam rombongan 21 orang. Kami bermalam di Plawangan 2. Plawangan terbagi menjadi empat area. Tenda pendaki menyesaki jalan setapak. Plawangan 1 dekat shelter emergency, sedangkan Plawangan 4 sebelum punggungan curam berpasir. Banyak pohon cemara di situ.  

Saya satu tenda dengan Michael (Balikpapan), Hanif (Tangerang), dan Teguh (Cirebon). Kami tidur berimpitan dan sebisanya memejamkan mata. Pemandu mewanti-wanti agar setelah pukul 21.00 WITA segera beristirahat. Jangan begadang. Pastikan tubuh fit untuk mendaki ke puncak dini hari nanti. 

Mayoritas pendaki berangkat ke puncak (summit attack) pukul 01.00 WITA. Lainnya berselang satu hingga dua jam. Kami dibangunkan sejak pukul 00.00. Juru masak membagikan burger ke tiap tenda. Mau tak mau harus “sarapan” dulu. Biar ada tenaga. 

Saya menyandang daypack yang biasa digunakan sehari-hari. Membawa jas hujan, air tiga liter, kurma, dan cokelat. Hanif keheranan, “Pakai Bodypack, pak?” Saya mengangguk. Ah, yang penting fungsinya, bukan soal merek, batin saya. 

Jas hujan di perjalanan menuju puncak Rinjani sangat penting. Selain pelindung kala hujan, juga bisa menutup aurat ketika terpaksa buang air besar atau kecil. Ingat, di trek berpasir tak ada pojokan pepohonan untuk sembunyi dari pengunjung lain. Mepet ke celah jurang, jelas tak disarankan. Pasir berbatu rentan merosot dan menggelincirkan siapa pun yang ceroboh.    

Tatkala mulas mengharuskan “bongkar muatan” di jalur terbuka, jas hujan dapat diandalkan menyelubungi badan supaya tidak dilirik orang. Cuek saja, terpenting hajat tertunaikan, keselamatan terjaga. Bisa meneruskan pendakian dengan lega. Bukan begitu?

Stamina dan Pemandu Berperan Penting

Target pendaki menginjak puncak sebelum tengah hari. Perhitungan waktu mesti cermat. Jangan sampai perjalanan turun menjelang sore. Berbahaya. Trek berpasir merupakan area terbuka. Jika angin bertiup kencang atau badai datang, tubuh pendaki leluasa dihantamnya. Jurang menganga di kanan dan kiri jalur tak boleh kita sepelekan.  

Durasi perjalanan dari Plawangan ke puncak normalnya 4–5 jam. Ketahanan fisik dan mental tiap pendaki memengaruhi capaian. Pendaki yang melangkah santai dan banyak beristirahat, boleh jadi enam jam baru tiba. Tapi kalau ritme berjalan konstan dan minim berhenti, bisa mencatatkan waktu empat jam sampai di titik 3.726 mdpl.

Tiga pemandu mengawal kami ke puncak. Ada Agung Kurniawan, Danang Wisnu (Popo), dan Rahman Saleh Tutupoho (Lhotse). Mereka mengambil posisi terdepan (leader), tengah, dan paling belakang (sweeper). 

Walau didampingi pemandu yang sudah sering muncak, kesiapan naik Rinjani jangan dianggap remeh. Karakteristiknya beda dengan gunung-gunung di Jawa. Mulanya, saya sempat menyangka Rinjani mirip Semeru. Sebatas kesamaan trek berpasir menuju puncaknya. Terbayang Segara Anak persis Ranu Kumbolo ada di lintasan pendakian yang sama.

Saya keliru. Kalau kalian memilih rute naik-turun Sembalun–Sembalun, tak akan menjumpai Segara Anak. Danau yang di tengahnya berdiri Gunung Barujari itu, ada di titik lain, sekitar 3–4 jam dari Plawangan Sembalun ke arah barat. Di sekitar danau banyak percabangan, jangan sampai tersasar.  

Oleh sebab itu, sangat dianjurkan mendaki Rinjani memakai jasa pemandu bersertifikasi dan porter setempat. Apalagi buat yang perdana ke sana. Percayalah, tiap jengkal Rinjani itu keindahan. Namun, perlu perjuangan untuk menyambangi setiap sudut cantiknya.

Titik Rawan Rinjani: Plawangan, Puncak, dan Segara Anak
Jurang dalam mengarah ke Segara Anak/Mochamad Rona Anggie

Fokus Melangkah

Pengalaman saya meniti trek berpasir Rinjani, jalur tersebut memang berbahaya. Pendaki melaluinya ketika suasana masih gulita. Sorot headlamp wajib benderang. Pastikan baterai terisi penuh. Lebih bagus bawa senter cadangan, antisipasi kalau perangkat rusak atau baterai drop.

Momen menegangkan melintasi jalur berpasir berlangsung sekitar pukul 02.00–04.00. Pendaki mesti ekstra waspada. Lawan rasa kantuk dan lelah. Jangan sembarangan duduk di pinggiran jalur. Pasirnya mudah ambrol, kita bisa bablas ke jurang.

Menghindari demikian, saya memilih rehat sambil tetap berdiri. Bertumpu pada trekking pole. Biarkan pendaki lain lewat, baru lanjut lagi. Capaian saya terhitung baik. Mampu mengimbangi para bule yang terlihat kecapekan menghadapi medan berpasir Rinjani. 

Mendekati puncak, secercah cahaya kuning keemasan muncul di balik ufuk. Sungguh elok pemandangan sunrise di lintasan “letter E”. Saya menapaki puncak timur Rinjani dengan panorama kawah gunung pukul 06.03 WITA. Sementara kerumunan pendaki di puncak barat, tampak sibuk mengabadikan momen berlatar Segara Anak. Pendaki asing tak lupa mengibarkan bendera negaranya.

Turunan Berbatu dan Lereng Curam menuju Segara Anak

Tiga rekan wanita, terakhir meninggalkan puncak pukul 09.30. Tim kami kumpul lengkap di Plawangan 2 pukul 12.00. Tanpa makan siang, dua jam kemudian kami bergerak ke Segara Anak.

Turunan curam menyambut begitu membelakangi Plawangan. Empat pendaki terdepan ada Uda Jhony dan istri, saya serta Yoke. Namun, semakin jauh turun, langkah saya melambat. Pijakan bebatuan besar—di antaranya berundak—dengan jarak berlompatan, membuat dengkul ngilu.

Saya tertinggal, tapi tak lama “ditempel” Dio. Lega rasanya ada kawan beriringan. Selepas medan bebatuan yang dipagari tali pengaman, pendaki akan melewati jembatan. Kabarnya, jembatan ini dibangun untuk menghubungkan dua bukit yang sempat terbelah akibat gempa bumi tahun 2018.

Trek lantas menyusuri setapak perbukitan. Tanjakan masih ada. Tidak banyak, tapi tetap bikin ngos-ngosan. Perjalanan ke danau ternyata tak mudah. Menguji stamina, usai energi tersedot buat muncak dini hari tadi. Nyaris 16 jam kami melek. Belum ada kesempatan tidur.

Sore hari, kabut tebal berseliweran menghalangi pandangan. Entah di mana Segara Anak. Kalau dari ketinggian tampak jelas, tapi begitu didekati tak tahu sebelah mana posisinya. Tertutup gundukan bukit.

Lereng perbukitan di kanan-kiri jalan setapak harus diperhatikan. Jangan lengah, karena di beberapa titik, jurang cukup dalam. Area berkontur curam inilah tempat pendaki Swiss dan Belanda terperosok hingga cedera parah.

Usai tiga jam menyusuri jalur Plawangan–Segara Anak, sampai langkah pun terasa gontai, akhirnya saya dan Dio tiba di area danau pukul 17.00. Tenda terpancang dekat sebuah warung. Uda Jhony dan Yoke sedang memesan mi rebus seharga Rp30.000 per mangkuk. Saya enggan ketinggalan.

Gelap menghampiri. Dingin membekap. Segara Anak berselimut kabut. Anggota tim kami terakhir tiba pukul 18.00. Semua dalam kondisi baik. Tawa renyah terdengar saat juru masak mendatangi tiap tenda, membagikan makan malam berupa soto daging berkuah merah yang sangat lezat.


Foto sampul: Penunjuk arah ke puncak dan danau Segara Anak terpancang di area Plawangan 3 Sembalun (Mochamad Rona Anggie)


Kenali Indonesiamu lebih dekat melalui Instagram dan Facebook Fanpage kami.
Tertarik buat berbagi cerita? Ayo kirim tulisanmu.

Mochamad Rona Anggie

Mochamad Rona Anggie tinggal di Kota Cirebon. Mendaki gunung sejak 2001. Tak bosan memanggul carrier. Ayah anak kembar dan tiga adiknya.

    Tinggalkan Balasan

    Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

    Worth reading...
    Semoga Juliana Marins yang Terakhir