Interval

The Summit of the Gods: Kisah Mereka yang Tak Bisa Hidup Tanpa Mendaki Gunung

Semua berawal dari kamera Vest Pocket Autographic milik George Mallory yang ditawarkan seseorang pada Makato Fukamachi. Kala itu, ia menolaknya gara-gara tengah pusing tak memperoleh bahan tulisan.

Mallory merupakan pendaki gunung yang terkenal karena berpartisipasi dalam tiga ekspedisi awal Inggris ke Gunung Everest. Makato lantas berubah pikiran setelah ia melihat seorang pendaki bernama Habu Joji membawa pergi kamera tersebut. Ia lalu mencari cara agar bisa menuntaskan misinya: bertemu Habu dan mendapatkan kamera Mallory. Makato ingin membuktikan apakah Mallory jadi orang pertama yang mencapai puncak Everest. Di perjalanan, ia pun berkesempatan mengenal sosok Habu yang serius sekaligus memahami kegemarannya mendaki gunung.

Kisah Makato Fukamachi dan Habu Joji di atas jadi cerita utama film animasi berjudul The Summit of the Gods (2021). Film ini mengangkat perjalanan Makato berdasarkan serial manga karya Jiro Taniguchi dengan judul serupa yang terbit pertama kali di majalah tahun 2000 hingga 2003.

Selain The Summit of the Gods, banyak film lain yang memasukkan Gunung Everest ke dalam cerita mereka. Hal ini bisa jadi karena Everest merupakan gunung paling tinggi di dunia. Tak sedikit pula orang yang mencoba menaklukkan puncak gunung dengan ketinggian 8.848 mdpl itu lewat berbagai cara hingga kini. Di film The Summit of the Gods, sosok nyata yang diceritakan mendaki Everest adalah George Mallory.

Mallory, penjelajah dan pendaki gunung asal Inggris, menjadi anggota dari tim ekspedisi ke Gunung Everest di tahun 1921, 1922, serta 1924. Di pendakian ketiga, ia berusaha mencapai puncak Everest bersama dengan Andrew Irvine. Mallory membawa kamera model Vest Pocket Autographic selama pendakian. Akan tetapi, perjalanan tersebut tidak membuahkan berita bagus. Baik Mallory dan Irvine tak kembali dalam keadaan hidup. Jenazah Mallory baru ditemukan pada tahun 1999 sedangkan tubuh Irvine tidak berbekas.

Perdebatan tentang apakah Mallory berhasil mencapai puncak Everest lantas muncul setelah kematiannya. Satu-satunya barang bawaan Mallory yang diyakini bisa membuktikan hal tersebut adalah kamera yang ia bawa. Menurut EncyclopÓ•dia Britannica, benda seperti kapak es, tabung oksigen, altimeter, dan pisau lipat milik pendaki itu berhasil ditemukan. Akan tetapi, hal ini tak berlaku pada kamera Mallory. Keberadaannya hingga kini masih misteri.

The Summit of the Gods
The Summit of the Gods yang dibuat berdasarkan serial manga karya Jiro Taniguchi via Netflix

Di The Summit of the Gods, kamera Mallory jadi penggerak jalan cerita dua orang: Makato dan Habu. Dua nama yang disebutkan terakhir merupakan tokoh fiktif yang muncul hanya dalam film. Dengan kata lain, kisah nyata George Mallory serta cerita Makato dan Habu diramu menjadi satu di The Summit of the Gods. Hasilnya, kisah tiga orang tersebut dapat berbaur dengan apik menjadi sebuah cerita baru yang enak buat diikuti walau awalnya penonton mungkin akan mengira film ini bakal banyak bercerita soal George Mallory.

Sejak film dimulai, baik Makato dan Habu ditampilkan sebagai tokoh dengan karakter yang kuat. Makato yang bekerja sebagai reporter majalah tak mundur buat menemukan Habu serta kamera Mallory meski petunjuk yang ia peroleh mulanya tak banyak. Ia orang yang gigih. Sementara itu, Habu adalah sosok yang teguh juga serius. Keteguhan tersebut digambarkan di beberapa adegan dalam film. Contohnya, Habu terus mendaki gunung selama ia hidup meski kegiatan itu tak jarang membahayakan dirinya.

Karakter tokoh di The Summit of the Gods pada akhirnya cukup bisa menghibur penonton yang awalnya barangkali berekspektasi film ini bakal banyak bercerita tentang Mallory. Kenapa? Karena karakter teguh Habu yang seorang pendaki dapat dipastikan juga dimiliki mountaineer seperti Mallory. Keteguhan itu lantas turut digambarkan lewat animasi di film ini.

The Summit of the Gods
Makato dan Habu hendak mendaki Gunung Everest via IMDb

Dari awal hingga akhir, animasi The Summit of the Gods menampilkan karakter para tokoh lewat bahasa nonverbal seperti gesture dan mimik wajah dengan apik. Ia memperkokoh cerita film sehingga menjadi lebih kuat. Selain itu, animasi di film ini juga menggambarkan kegiatan pendakian gunung yang dilakukan Makato, Habu, dan lainnya secara detail serta realistis.

Di beberapa adegan, visual tersebut mampu menggambarkan kesulitan para tokoh saat mendaki gunung dengan jelas. Adegan yang menyuguhkan kesusahan sewaktu mendaki, dalam film ini, tak melulu soal si tokoh yang cedera atau peralatan personal yang jatuh. Di salah satu scene, Habu bahkan pernah bertemu dengan sosok kawannya yang telah meninggal. Cerita model seperti ini kerap kali terdengar saat seseorang mendaki gunung.

Animasi di film ini pun sanggup membuat penonton seakan ikut dalam pendakian. Hal ini jadi sesuatu yang menarik buat mereka yang sama sekali belum pernah mendaki gunung. 

Animasi The Summit of the Gods lebih lanjut juga bisa menjahit cerita dua tokoh, yakni Makato serta Habu yang disampaikan lewat alur maju sehingga tak membuat penonton kebingungan. Hal ini dikarenakan kisah keduanya diceritakan berdasarkan lini masa atau timeline yang berbeda dari awal hingga dua pertiga film.  

Transisi yang berfungsi buat membedakan kisah Makato dan Habu pun ditampilkan dengan jelas. Salah satu contohnya ada di adegan ketika Habu serta kawannya berhasil mendaki Tembok Iblis di musim dingin. Foto momen keberhasilan keduanya yang dimuat di majalah lantas jadi penghubung cerita Makato yang tengah mencari keberadaan Habu yang menghilang. Dalam hal ini, animasi film The Summit of the Gods sanggup menyajikan kisah tentang mereka yang tak bisa hidup tanpa mendaki gunung.


Kenali Indonesiamu lebih dekat melalui Instagram dan TikTok kami.
Tertarik buat berbagi cerita? Ayo kirim tulisanmu.

Ajeng Nadias

Penulis dan jurnalis lepas yang tigggal di Yogyakarta. Suka menonton film, membaca buku, memotret, dan berkebun.

Penulis dan jurnalis lepas yang tigggal di Yogyakarta. Suka menonton film, membaca buku, memotret, dan berkebun.

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

Worth reading...
Ramen Shop: Identitas Diri dalam Semangkuk Makanan