Amazon kaya akan banyak hal. Kawasan hutan hujan yang terletak di sembilan negara Amerika Selatan ini—Brasil, Kolombia, Peru, Venezuela, Ekuador, Bolivia, Guyana, Suriname, dan Guyana Prancis—menjadi rumah 30 persen dari total spesies di dunia. 

Ratusan jenis mamalia dan reptil, ribuan macam ikan, burung, serta hewan amfibi bertebaran di sana. Spesies tanaman dan pohonnya lebih banyak lagi.

Menurut Mongabay, Amazon memiliki 40.000 jenis tanaman serta 16.000 spesies pohon. Lebih dari setengah volume hutan hujan bumi terdapat di Amazon. Ada pula basin Amazon, yang menjadi sistem drainase terbesar dan menunjang kehidupan hutan hujan terbesar di dunia tersebut.

Namun, penemuan “kekayaan” lain berupa emas menciptakan keadaan baru yang tidak menyenangkan. Penambangan logam mulia berskala kecil maupun besar telah terjadi di Amazon. Hal ini menimbulkan masalah berantai. Tak hanya bagi keanekaragaman hayati di hutan, tetapi juga kehidupan masyarakat adat seperti Yanomami. Suku asli yang tinggal di utara Brasil hingga selatan Venezuela.

Pada 1986, demam pertambangan bahkan membuat 20 persen anggota suku Yanomami meninggal dunia dalam kurun waktu tujuh tahun.

Poster film The Last Forest
Poster film dokumenter karya Luiz Bolognesi dengan judul berbahasa Latin (IMDb) dan Inggris (Metacritic)

Penyajian Visual Cerita Konflik Secara Artistik

Di film The Last Forest, ketegangan antara masyarakat adat Yanomami dan penambang emas di hutan Amazon menjadi sorotan. Film dokumenter yang pertama kali tayang tahun 2021 itu dibuat oleh Luiz Bolognesi. Sutradara sekaligus penulis naskah kelahiran Brasil. Pada tahun yang sama, The Last Forest mendapat nominasi di Berlinale Documentary Award dan menang dalam Panorama Audience Award di Berlin International Film Festival.

Dalam durasi 1 jam 16 menit, The Last Forest mampu menceritakan semua elemen penting: siapa suku asli Yanomami, bagaimana cara mereka hidup, seperti apa kehidupan serta cara mereka bertahan tatkala penambang emas masuk hutan, dan bagaimana kompleksitas hidup suku asli Yanomami usai penambangan marak terjadi di Amazon.

Pendekatan observasi film ini mampu menjahit adegan demi adegan secara apik. Saking halus jahitannya, menonton The Last Forest ini terasa seperti melihat film fiksi. Visualnya pun artistik dan menarik perhatian.

Luiz Bolognesi berhasil menunjukkan bahwa perubahan lingkungan yang terjadi akibat penambangan berpengaruh ke segala level. Tak hanya di lingkup terkecil seperti keluarga, tetapi juga mencakup seluruh anggota komunitas Yanomami.

Yawarioma, The Last Forest
Yawarioma, roh jahat yang menggoda suami salah satu perempuan Yanomami di film The Last Forest/IMDb

Kita bisa melihat cerita salah satu perempuan Yanomami yang mengaku kehilangan suaminya. Orang pintar (shaman) yang ia mintai pendapat lantas memberi jawaban menusuk hati. Ia mengatakan penyebab pasangannya tak kembali, salah satunya karena tergoda roh jahat bijih logam atau mineral bernama Yawarioma. Selama ini sang suami menjadi satu-satunya lelaki yang memenuhi kebutuhan makan keluarga dengan cara berburu.

Perempuan itu lalu memutar otak. Ia berusaha membuat kerajinan keranjang agar dapurnya tetap menyala. Kerajinan itu nantinya akan memperoleh kompensasi berupa imbalan makanan. Akan tetapi, tidak jelas makanan seperti apa yang akan ia dapatkan.  

The Last Forest juga turut menampilkan Davi Kopenawa Yanomami, seorang shaman dan juru bicara suku Yanomami. Ia tergolong sangat vokal memperjuangkan hak masyarakat adat.

Davi menunjukkan keberanian sejak awal hingga akhir film. Ia bersama para lelaki Yanomami, misalnya, berusaha mengusir orang kulit putih yang ingin menambang. Davi berpesan agar tidak tergiur dengan apa pun yang penambang berikan. Sebab aktivitas itu bisa berdampak serius bagi lingkungan tempat mereka tinggal.

Davi Kopenawa Yanomami, The Last Forest
Davi Kopenawa Yanomami, shaman dan juru bicara masyarakat adat Yanomami/IMDb

Keberanian Suku Yanomami Melawan Pertambangan

Dari dua kisah sorotan sang sutradara, selanjutnya berhasil memperlihatkan peran signifikan masyarakat adat dalam menjaga hutan beserta isinya. Yanomami, yang telah hadir sebelum Brasil dan Venezuela berdiri, berusaha hidup berharmoni dengan alam. Mereka tidak mengusik hutan, sungai, tanaman, maupun satwa liar di sana.

Tak hanya itu. The Last Forest juga memancing penonton untuk mempertanyakan komitmen pemerintah. Sejauh mana pemerintah menjamin kelangsungan hidup orang-orang Yanomami lewat dua cerita tokoh utamanya. Bagaimanapun, mereka tak bisa menyelesaikan problem ini sendiri.

Kegigihan Davi mengawal isu pertambangan emas menandakan minimnya kemauan politik pemerintah dalam menjamin hak suku asli tersebut. Keteguhan ini diperlihatkan dalam sejumlah scene. Di antaranya Davi mengatakan bahwa penambangan membuat lingkungan mereka tercemar merkuri. Ia menasihati orang-orang Yanomami agar tidak menerima kehadiran para penambang. Pemakaian logam berat buat mencari emas dapat mengganggu kesehatan mereka.

Di akhir film, Luiz Bolognesi menyuguhkan jawaban dari pertanyaan-pertanyaan awal. Jawabannya ringkas, tetapi tegas dan jelas. Penonton mungkin bertanya-tanya mengenai kebijakan pemerintah. Namun, tak perlu khawatir bingung. Sang sutradara memberikan konteks riil, yaitu tentang sejauh mana sebuah negara menjamin kelangsungan hidup orang-orang Yanomami. 

The Last Forest sudah sepantasnya dilihat banyak penonton. Lewat film ini, Luiz Bolognesi sanggup membuat penonton mengikuti perjalanan panjang masyarakat adat dalam menjaga rumahnya. Hutan Amazon tak hanya penting bagi suku Yanomami, tetapi juga kita dan orang-orang yang hidup di luar komunitas tersebut.

Referensi:
Mongabay, The Amazon Rainforest: The World’s Largest Rainforest, https://rainforests.mongabay.com/amazon/


Judul Film: The Last Forest
Judul Asli: A Űltima Floresta
Sutradara: Luiz Bolognesi
Produser Eksekutif: Ana Saito, Daniela Antonella Aun
Produksi: Gullane and Buriti Filmes
Tahun: 2021
Penulis Naskah: Luiz Bolognesi, Davi Kopenawa
Pemain: Davi Kopenawa, Daucirene Yanomami, Ehuana Yaira Yanomami
Sinematografi: Pedro J. Márquez
Genre: Drama, Dokumenter
Durasi: 74 menit


Kenali Indonesiamu lebih dekat melalui Instagram dan TikTok kami.
Tertarik buat berbagi cerita? Ayo kirim tulisanmu.

Tinggalkan Komentar