Bawah laut Indonesia memang indah. Tempat-tempat snorkeling dan diving baru bermunculan seiring tingginya minat wisatawan untuk berkunjung. Pada 27 Desember 2020, Kementerian Pariwisata dan Ekonomi Kreatif mengumumkan melalui akun sosial media instagramnya bahwa Indonesia meraih penghargaan sebagai Destinasi Wisata Selam Terbaik di Dunia Versi Dive Travel Awards 2020 oleh Majalah Dive UK.

Namun, di balik keindahan tersebut terdapat satu hal yang kerap menjadi perhatian namun seringkali diacuhkan, yaitu sikap pelaku wisata (penyelenggara dan wisatawan).

Demi Konten, Abai Perilaku 

Terumbu Karang
Snorkeling/Melynda Dwi

Wisata bawah air tidak hanya sebatas scuba diving, tetapi ada pula freedive dan snorkeling. Ternyata, kegiatan penyelaman lebih banyak berpengaruh terhadap kerusakan karang. Terlebih lagi jika penyelam kurang berpengalaman, hal ini akan berpotensi menyebabkan kerusakan karang lebih besar. Penggunaan alat scuba mulai dari sarung tangan, tabung oksigen hingga diving fins juga berpotensi merusak karang. Studi menyebutkan, dibandingkan dengan snorkeling yang melayang di air, menyelam lebih berdampak besar terjadinya gesekan dengan karang.

Terumbu karang acap kali dianggap sebagai batu atau benda mati yang boleh diperlakukan semena-mena. Sehingga saat melihat karang, timbul rasa penasaran dari wisatawan untuk menyentuhnya.

Padahal, terumbu karang tergolong sebagai binatang yang juga merasa terancam saat didekati oleh benda asing, termasuk dari manusia. Banyak orang yang mengira bahwa sentuhan kecil pada karang tidak menimbulkan efek yang signifikan. Padahal sentuhan tersebut dapat mengakibatkan kerusakan fisik dan terganggunya pertumbuhan karang. Bahkan dapat berakhir pada kematian karang.

Terumbu Karang
Kaki di atas karang/Melynda Dwi

Berdasarkan pengalaman pribadi saat berwisata ke salah satu pulau di Kepulauan Seribu. Saya yang menyaksikan langsung wisatawan menyentuh bahkan menginjak karang-karang. Bahkan yang lebih membuat tak henti-hentinya diri ini menggelengkan kepala ialah tour guide-nya pun juga melakukan hal yang sama. Ia seperti tidak tahu bahwa terumbu karang termasuk ekosistem yang dilindungi.

Seringkali entah wisatawan maupun pelaku wisata cenderung acuh dengan kondisi terumbu karang. Yang ada di benak wisatawan hanyalah rasa puas menelusuri bawah air lengkap dengan ‘foto-foto terbaik’ berinteraksi langsung dengan terumbu karang. Begitu pula dengan pelaku wisata yang merasa bahwa kebahagiaan pengunjung dan keuntungan ekonomi menjadi prioritas.

Dampak Terhadap Lingkungan 

Kerusakan terumbu karang tidak hanya diakibatkan oleh perubahan iklim. Kerusakan ini bisa disebabkan karena peningkatan suhu air laut, peningkatan muka air laut dan penurunan derajat keasamannya yang menyebabkan pemucatan (bleaching) pada karang, ataupun karena kegiatan perikanan yang melibatkan alat tangkap tidak ramah lingkungan. Namun aktivitas pariwisata juga sangat berperan terhadap kerusakan terumbu karang.

Mari mengingat sejenak akan peristiwa pada Maret 2017, kandasnya Kapal Pesiar M.V. Caledonian Sky di Selat Dampier, Raja Ampat. Terjadi kerusakan hebat pada terumbu karang seluas 1,8 hektar. Dan para ahli memperkirakan butuh ratusan tahun untuk memulihkan kondisi karang yang rusak.

Terumbu Karang
Terumbu karang yang tersisa/Melynda Dwi

Rusak bahkan hancurnya terumbu karang tidak hanya berakibat pada nilai estetika semata. Terumbu karang sebagai salah satu ekosistem di kawasan perairan laut berperan sebagai habitat bagi ikan. Mulai ikan konsumsi hingga ikan-ikan karang.

Bila terumbu karang rusak, otomatis biota laut lain akan kehilangan tempat tinggalnya. Selain wisatawan enggan untuk berkunjung, nelayan juga menangis karena tidak ada ikan yang bisa ditangkap. 

Dampak Ekonomi Juga Terasa

Sudah barang tentu, terumbu karang yang sehat akan mendatangkan wisatawan. Pemasukan negara dari sektor kepariwisataan tidak bisa disepelekan. Maka tidak mengherankan apabila pemerintah menggelontorkan dana ‘fantastis’ untuk menggaet influencer dalam hal promosi wisata pasca wabah corona.

Beberapa spot diving seperti Raja Ampat, Bunaken, Wakatobi dan Karimunjawa terkena dampaknya. Jika diambil contoh dari kerusakan terumbu karang di Raja Ampat, semakin banyak wisatawan ternyata semakin berdampak pada kerusakan lingkungan. Pun, keterlibatan masyarakat lokal juga jauh lebih sedikit dalam pengelolaan wisata karena banyaknya ‘pendatang’ ikut serta.

Jika terus dibiarkan, bisa jadi suatu saat jumlah wisatawan di Raja Ampat menurun karena bawah lautnya tak lagi indah. Kalau sudah begitu, tidak hanya pihak pelaku pariwisata yang terdampak. Setidaknya industri hospitality, transportasi, dan makanan juga akan terkena imbas.

Sekali Lagi, Edukasi Itu Penting!

Saat ini banyak program rehabilitasi terumbu karang dengan berbagai metode bermunculan. Sayangnya, kegiatan rehabilitasi tidak semudah yang diperkirakan. Selain membutuhkan biaya pemasangan dan perawatan besar, urusan tenaga ahli nggak boleh sembarangan karena rehabilitasi terumbu karang yang terkesan asal-asalan akan berdampak pada kesia-siaan. 

Maka dari itu upaya mencegah lebih baik daripada mengobati, bukan?

Yang saya tahu, selama ini sebatas nelayan-nelayan perikanan yang mendapatkan perhatian dan arahan untuk tidak merusak karang. Namun, pelaku industri wisata sering dinomorsatukan dan malah kurang mendapatkan pengetahuan terkait konservasi terumbu karang ini.

Sebagai wisatawan yang sedikit mengetahui bahwa terumbu karang termasuk dalam lingkup konservasi, melihat langsung tour guide yang menginjak karang hanya bisa membuat saya terdiam.

Saya masih sadar diri. Saya hanya pengunjung, bukan penduduk asli. Oleh karena itu, peran Pemerintah dan LSM yang memberikan sosialisasi dan pengawasan mutlak diperlukan.


Kenali Indonesiamu lebih dekat melalui Instagram dan Facebook Fanpage TelusuRI.

Tertarik buat berbagi cerita? Ayo kirim tulisanmu.

Tinggalkan Komentar