INTERVAL

Teras Cihampelas Bandung dan Sebuah Mimpi yang Belum Sempurna

Sejumlah kantung sampah menyambut langkah kaki saya yang tengah menaiki tangga menuju Teras Cihampelas, Bandung, Minggu (8/6/2025) pagi. Kantung sampah itu diselipkan di antara tiang-tiang pagar dan penyangga tangga. 

Hari itu libur panjang karena bertepatan dengan momen cuti bersama perayaan Iduladha, dan Bandung selalu diserbu wisatawan setiap kali libur panjang. Namun, alih-alih diserbu wisatawan, kawasan Teras Cihampelas justru dirundung sunyi. Nyaris tak ada aktivitas sama sekali.

Saat berada di atas Teras Cihampelas, saya palingkan pandangan ke bawah, ke arah Jalan Cihampelas, yang melintang lurus dari sisi utara ke selatan. Seperti biasa, jalan itu dirayapi kendaraan, lengkap dengan raungan mesin dan jeritan klaksonnya. Tetapi, di Teras Cihampelas, yang membentang dan persis berada di atas Jalan Cihampelas—tempat yang digadang-gadang sebagai ruang pemberi harapan dan keteraturan—yang terdengar hanya desir angin tipis dan gemerisik daun mahoni, yang sebagian telah jatuh berserakan mengokupasi beberapa sudut teras.

Dua petugas kebersihan terlihat sedang bertugas menyapu bagian tengah teras. Mereka menyapu daun-daun mahoni bukan hanya untuk membersihkan lantai, melainkan juga seperti sedang merawat sisa-sisa impian yang hampir punah. Saya lalu layangkan pandangan ke sekeliling. Kios-kios yang sebagian besar bercat putih di sepanjang Teras Cihampelas tutup. Dinding-dindingnya penuh dengan coretan. Tentu, coretan-coretan itu bukan mural seni yang direncanakan, melainkan grafiti liar yang seolah mencatat kekecewaan kolektif.

Teras Cihampelas Bandung dan Sebuah Mimpi yang Belum Sempurna
Sisi selatan Teras Cihampelas/Djoko Subinarto

Skywalk Modern yang Ramah Pejalan Kaki

Ketika proyek Teras Cihampelas digulirkan pada tahun 2017 oleh Kang Emil—panggilan akrab Ridwan Kamil yang kala itu menjabat sebagai Wali Kota Bandung—Teras Cihampelas disebut-sebut sebagai perwujudan skywalk modern di Bandung yang tertib, rapi, dan ramah pejalan kaki, sekaligus tempat berdagang bagi pedagang kaki lima (PKL) tanpa harus mengganggu arus lalu lintas di bawahnya. Bahkan, Presiden Joko Widodo saat itu sempat menyebut Teras Cihampelas sebagai model penataan PKL yang patut ditiru kota-kota lain. 

Bisa dibilang ada kebanggaan yang tumbuh kala itu seolah Bandung telah menemukan rumus cespleng untuk menyatukan ruang kota dan ruang sosial. Namun, saat saya saksikan di Minggu pagi itu, Teras Cihampelas tak lebih dari sekadar jalan layang pejalan kaki yang kesepian. Ia bak sebuah panggung teater yang kehilangan para aktornya. Boleh jadi ini bukan karena konsepnya salah, melainkan mungkin karena ekosistem pendukungnya tak pernah benar-benar hadir.

Pembangunan fisik Teras Cihampelas memang rampung sepenuhnya. Kendati begitu, pembangunan sosial, kultural, dan ekonomi tampaknya tidak ikut tergarap secara utuh. Para PKL yang dipindahkan ke atas rupanya tidak mendapatkan jaminan arus pengunjung yang cukup. Alhasil, Teras Cihampelas hanya menggeliat sesaat kemudian terbengkalai dan sepi dengan sendirinya.

Di kota yang kian sibuk seperti Bandung, agaknya orang lebih memilih efisiensi. Berpayah-payah naik ke skywalk macam Teras Cihampelas hanya untuk window shopping dan berbelanja mungkin bukanlah pengalaman yang menarik dan perlu. Apalagi jika tidak ada kegiatan pendukung yang menyeret atensi dan sinambung yang turut menyertainya.

Lagi pula, infrastruktur publik, terutama yang mengubah lanskap kota, tidak bisa berdiri sendiri. Ia harus ditopang strategi jangka panjang, mulai dari aktivitas promosi, kurasi kegiatan, pelibatan warga, hingga perawatan berkesinambungan. Jujur saja, selama ini, tak sedikit proyek perkotaan kita terjebak pada logika peresmian seremonial. Setelah acara gunting pita atau pecah kendi dan foto bareng, proyek dianggap kelar, selesai. Padahal, justru sejak saat itulah tugas terberat dimulai.

  • Teras Cihampelas Bandung dan Sebuah Mimpi yang Belum Sempurna
  • Teras Cihampelas Bandung dan Sebuah Mimpi yang Belum Sempurna

Tak Hanya dengan Niat Baik

Kondisi Teras Cihampelas yang mengenaskan sekarang ini menunjukkan bahwa ruang publik tak bisa dibangun hanya dengan niat baik semata. Ia perlu komunitas yang aktif, perlu narasi yang terus dirawat, dan perlu kehadiran pemerintah sebagai fasilitator, bukan hanya pembangunan secara fisik.

Beberapa pedagang yang dulu menempati kios-kios di Teras Cihampelas, kini memilih kembali ke trotoar Jalan Cihampelas. Mereka mengaku omzet jauh menurun sejak dipindahkan ke atas. Desain yang cantik saja tampaknya tak berarti inklusif. Toh, tidak semua warga nyaman atau mau naik turun tangga.

Teras Cihampelas memang pernah punya potensi menjadi ruang temu antara warga dan wisatawan, antara aktivitas belanja dan budaya, antara Jalan Cihampelas dan langit di atasnya. Akan tetapi, potensi itu hanya mewujud seumur jagung, sebelum akhirnya ditelan oleh ketidaksinambungan. Sudah barang tentu, ini bukan cerita tentang kegagalan teknis. Ini cerita tentang abai terhadap keberlanjutan. Kota tidak hanya dibangun dari beton dan baja, tetapi juga dari perencanaan yang peka, kesediaan mendengar warganya, dan mampu beradaptasi dengan dinamika kehidupan sehari-hari.

Bukan Sekadar Memperbaiki Kios

Tentu saja, Teras Cihampelas perlu dihidupkan kembali. Caranya bukan sekadar memperbaiki kios-kios yang terbengkalai atau membersihkan coretan-coretan yang saat ini mendominasi kawasan ini. Ia butuh redefinisi. Mungkin sudah saatnya kios-kios itu tidak lagi disewakan untuk berdagang barang, tetapi sepenuhnya untuk kegiatan komunitas. 

Pemerintah Kota Bandung bisa menggandeng perguruan tinggi, komunitas urban, atau seniman lokal untuk membuat program revitalisasi berbasis partisipasi. Dalam skala kecil, festival akhir pekan bisa dicoba dihidupkan. Tema bisa berganti tiap pekan. Contohnya, musik akustik, stand up comedy, teater jalanan, parade tari tradisional maupun pameran kreatif mahasiswa.

Jika warga memiliki alasan kuat untuk datang, aktivitas para pedagang pun akan kembali menggeliat dan berkembang. Lalu, ekosistem akan terbentuk secara organik dengan sendirinya. Keberhasilan ruang publik bukan diukur dari seberapa mewah ruang itu, melainkan seberapa sering orang mau datang dan merasa nyaman berlama-lama di dalamnya.

Teras Cihampelas adalah sebuah pelajaran berharga. Ia menegaskan ruang dalam sebuah kota bukan hanya soal tata letak, melainkan juga tentang cerita yang perlu dirawat bersama. Banyak kota besar dunia pernah mengalami proyek mangkrak. New York, Seoul, dan Singapura pernah gagal. Tapi mereka mampu belajar dan memperbaiki.

Bandung juga bisa. Namun, harus dimulai dari kesadaran bahwa ruang publik bukan monumen. Ia adalah organisme sosial yang harus terus dijaga kelangsungannya secara sinambung. Jika ini berhasil dilakukan, Teras Cihampelas bisa menjadi contoh bahwa ruang yang sempat terabaikan bukan akhir dari segalanya. Ia bisa tumbuh kembali menjadi ruang bersama sepanjang warga benar-benar dilibatkan.

Dua petugas kebersihan masih terus bekerja tatkala saya menuruni satu per satu anak tangga menuju tepian Jalan Cihampelas. Saya pikir merekalah penjaga terakhir mimpi Teras Cihampelas. Mereka bukan arsitek, bukan wali kota, bukan pula presiden. Mereka adalah orang-orang kecil yang tetap menyapu, merawat, dan percaya bahwa suatu hari nanti Teras Cihampelas bisa hidup kembali.

Pada akhirnya, sebuah kota bukan sekadar tempat tinggal, melainkan tempat hidup yang harus terus dipelihara. Bahkan, ketika mimpi-mimpinya belum betul-betul sempurna.


Kenali Indonesiamu lebih dekat melalui Instagram dan Facebook Fanpage kami.
Tertarik buat berbagi cerita? Ayo kirim tulisanmu.

Avatar photo

Penulis lepas dan blogger yang gemar bersepeda.

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

Worth reading...
Menyemai Perjalanan Tanpa Jejak Digital