Berkunjung kembali ke Pulau Dewata menjadi salah satu keinginan yang telah saya nantikan beberapa waktu belakangan ini. Tidak dapat dimungkiri Bali menjadi destinasi yang sangat lengkap untuk mencurahkan segala rasa yang terpendam. Setelah sekian purnama berlalu, kali ini saya kembali menyambangi Bali bersama orang terdekat.

Tidak banyak tempat yang saya kunjungi karena keterbatasan waktu. Tujuan utama saya di antaranya menyambangi Uluwatu. Mungkin rencana perjalanan saya terdengar terlalu biasa dan klise. Akan tetapi, menurut saya salah satu daya tarik Uluwatu adalah betapa lengkapnya obyek wisata ini. Dari menikmati sunset dengan megahnya pemandangan laut dari atas tebing, hingga mengunjungi Pura Uluwatu yang dikelilingi oleh ratusan monyet.

Tidak hanya keindahan dan suasana alamnya saja. Uluwatu pun menyajikan kesenian yang sudah sangat mendunia. Sajian seni itu disebut Tari Kecak. 

Menilik Kembali Tari Kecak

Jujur, saya sudah sangat sering menikmati kesenian Tari Kecak. Perjumpaan pertama saya menonton Tari Kecak saja waktu masih di sekolah dasar. Tidak tahu mengapa, saya tidak ada bosannya untuk kembali menonton kesenian tersebut.

Ada keunikan Tari Kecak yang sangat berbeda, yaitu hanya diiringi oleh musik yang dikeluarkan oleh mulut para penarinya. Kemudian kostum para penari utama yang sangat khusus dan eksentrik, ditambah adanya interaksi para penari di tengah pentas dengan penonton yang cukup menghibur. Sampai dengan makna dari Tari Kecak itu sendiri yang membawa seribu satu arti, yang dapat ditangkap berbeda oleh satu wisatawan dan yang lainnya.

Mungkin kebanyakan orang akan mendapatkan makna kebahagiaan dan perasaan terhibur dengan pertunjukan tersebut. Namun, saya justru tenggelam dalam pikiran yang membawa diri untuk jauh merenung. Apabila semakin dalam memaknai Tari Kecak, apa yang terjadi dan dialami oleh pasangan kekasih Rama dan Sita bukanlah hal yang biasa. Termasuk apa yang diperjuangkan oleh mereka berdua patut untuk dijadikan teladan.

Tepat pada pukul 16.00 WITA saya tiba di Pura Uluwatu dengan mengendarai mobil. Akses menuju lokasi terbilang cukup mudah karena sudah dapat dilalui oleh kendaraan besar, seperti bus maupun truk. Namun, lokasi Pura Uluwatu yang berada di ujung Pulau Bali membuat durasi perjalanan cukup memakan waktu. Dari Bandara Internasional I Gusti Ngurah Rai saja membutuhkan waktu kurang lebih 45 menit untuk sampai ke lokasi dengan catatan khusus: tidak ada macet. 

Pada saat memasuki Pura Uluwatu, seluruh wisatawan tidak bisa sembarangan masuk. Kami wajib mengikuti aturan dan tata cara selayaknya memasuki sebuah tempat suci. Seluruh wisatawan harus mengenakan kain tambahan yang dililitkan di perut sampai kaki.

Hal yang perlu diketahui oleh wisatawan adalah ketika masuk ke Pura Uluwatu, maka tidak serta-merta dapat menyaksikan pertunjukan Tari Kecak. Tarif masuk Pura Uluwatu sebesar Rp30.000 untuk wisatawan lokal. Apabila kita berniat menonton Tari Kecak maka harus membeli lagi tiket pertunjukan tersebut. Ada tiket on the spot untuk membeli Tari Kecak, tetapi ketersediaan tiket tersebut betul-betul sulit diprediksi. Lantaran Tari Kecak adalah tujuan utama saya, sudah barang tentu saya memesan tiket secara daring dari jauh-jauh hari.

Kesenian Tari Kecak yang akan saya nikmati sejatinya dijadwalkan pada pukul 18.00 WITA. Belajar dari pengalaman sebelumnya, setibanya di Pura Uluwatu saya sesegera mungkin mencari posisi yang strategis. Selain lebih khidmat menikmati pertunjukan, juga agar mendapatkan lokasi terbaik untuk melihat matahari terbenam.

Tari Kecak dan Kontemplasi yang Menampar Diri
Para penari kecak memasuki tempat pertunjukan/Dimas Purna Adi Siswa

Tenggelam dalam Tari Kecak

Om Swastiastu!

Pembawa acara membuka pertunjukan sekaligus menyapa wisatawan yang sudah hadir. Tidak lama berselang, pertunjukan dimulai dengan ritual doa yang dipanjatkan oleh Pandita kepada seluruh penari. Pertunjukan Tari Kecak dibagi menjadi empat bagian besar, yaitu adegan Rama dan Laksmana meninggalkan Sita, Sita diculik oleh Rahwana, Hanoman menyusup ke Alengka, dan adegan terakhir tatkala Hanoman mengobrak-abrik Alengka Pura (Ubudian, 2021). 

Sejatinya cerita Tari Kecak ini bermula dari hasrat Sita untuk mendapatkan Rusa Emas. Di kala usaha Rama memburu Rusa Emas di tengah hutan, Sita mendengar teriakan minta tolong dan seketika mengira teriakan tersebut berasal dari Rama. Sita yang tengah kalang kabut langsung menyuruh Laksmana untuk mencari Rama. Laksmana yang sempat tidak mau meninggalkan Sita sendirian—karena telah berjanji untuk menjaganya—justru dituduh secara sembrono oleh Sita bahwa Laksmana mau mengambil keuntungan apabila terjadi kematian Rama, yang merupakan kakaknya. 

Di titik inilah saya mulai hanyut, tenggelam merenungi kisah kasih diri sendiri. Prasangka buruk menyelimuti pikiran sehingga logika tidak dapat berpikir dengan jernih. Acapkali prasangka membawa kita pada tindakan yang ceroboh dan berdampak pada orang lain secara menyakitkan. 

Seakan terkena getah atas tindakan buruknya sendiri. Babak yang menyakitkan pada Tari Kecak ini adalah Sita diculik oleh Rahwana, sosok yang mempunyai sepuluh muka dan digambarkan sebagai tokoh yang keji dan kejam. Perjuangan keras Rama, dengan dibantu Laksmana serta Hanoman untuk menyelamatkan Sita, ditanggapi oleh Sita dengan memberikan sebanyak mungkin pertanda. Tujuannya memberikan ketenangan serta petunjuk kepada Rama. Kisah romansa Rama dan Sita ini pun tidak kalah mengharukan dibanding dengan Romeo dan Juliet. 

Hal yang membuat saya semakin termenung adalah tragedi kelam yang dialami oleh Rama dan Sinta bukanlah barang remeh. Coba bayangkan apabila kekasih hati kita tiba-tiba diculik oleh orang yang kita ketahui berperilaku dan berperangai tidak baik. Jika hanya berlandaskan pada logika dan firasat, pemikiran buruk sudah terbayang dan rasanya seakan hanya ingin menyerah saja bukan? 

Firasat dan logika terkadang menyatu dalam satu konklusi yang sama. 
Terlebih prasangka yang buruk bertamu memberikan hentakan gema. 
Akan tetapi, kali ini aku belajar kembali. 
Tidak selalu logika dimenangkan. 
Belum tentu firasat dibenarkan. 
Arunika yang sedari tadi menyeruak itu sejatinya sedang tertutup oleh kabut hitam. 
Oleh awan abu yang diiringi desir angin badai yang menerkam. 
Izinkan aku, langit meneduhkanmu. Aku percaya. 
Gemuruh badai akan berganti dengan ketenangan. 
Kabut hitam pun menyusul akan hilang dengan kegembiraan. 
Hingga akhirnya Arunika-ku kembali bersinar beratraksi. 
Beranjak dari timur ke barat menjadi Virama yang utuh suci. 

(Dimas Purna Adi Siswa, 2024)

Tari Kecak dan Kontemplasi yang Menampar Diri
Pemandangan matahari terbenam/Dimas Purna Adi Siswa

Makna yang mendalam dari pertunjukan Tari Kecak membuat saya tenggelam pada palung pemikiran yang dalam dan melahirkan ungkapan sajak di atas secara impulsif; yang belajar dari makna Tari Kecak. Perenungan kali ini kembali menampar diri untuk terus belajar. Di tengah badai masalah yang menghantam dalam suatu hubungan, hal pertama yang perlu dicermati ialah agar tetap berpikir jernih.

Apabila pasangan kita yang tidak dapat berpikiran jernih, kitalah yang berusaha menenangkan, mendampingi, dan terus berusaha di sampingnya. Begitu pun sebaliknya. Karena sejatinya setiap persoalan atau kesulitan dalam hubungan hanyalah sebuah babak baru untuk mencapai tingkatan-tingkatan selanjutnya.


Referensi

Ubudian. (2021). Sinopsis Lengkap Pementasan Tari Kecak Uluwati. Diakses dari https://www.ubudian.id/page/sinopsis-lengkap-pementasan-tari-kecak-uluwatu.html.


Kenali Indonesiamu lebih dekat melalui Instagram dan Facebook Fanpage kami.
Tertarik buat berbagi cerita? Ayo kirim tulisanmu.

Tinggalkan Komentar