Langit Bangka cepat berganti muka saat aku dan Gladia menyambangi Mentok. Terkadang biru, terkadang kelabu. Tak masalah, selama tak ada hujan yang tumpah dari atas sana. Barangkali ini yang sering dikatakan orang-orang sebagai cuaca tak menentu.
Mentok, sebuah kota tua yang banyak menyimpan cerita. Kota kecil yang berjarak dua jam perjalanan dari Pangkalpinang, ibu kota Provinsi Bangka Belitung. Mentok terletak di Bangka Barat dan menjadi ibu kota kabupaten ini.
Motor kami akhirnya berhenti di Pantai Tanjung Kalian, titik paling barat Pulau Bangka. Nama tersebut diambil dari kalimat pendirian kota Mentok yang berbunyi, “Sudah didapat tempat tertentu di depan Muara Sumsang dekat Tanjung yang keliatan”; makanya dinamakan Tanjung Kalian. Ini menunjukkan bahwa Tanjung Kalian adalah tempat bersejarah yang menjadi saksi bisu awal mula perkembangan kota Mentok sejak 290 tahun yang lalu.
Di tempat ini orang-orang tampak sibuk hilir mudik. Maklum, Tanjung Kalian adalah salah satu pelabuhan aktif. Memasuki Tanjung Kalian kami disambut angin pantai, debur ombak, dan yang paling menarik perhatian adalah aroma otak-otak.

Otak-otak Mentok
Selain sejarahnya, Mentok dikenal sebagai “Kota Seribu Kue” karena banyaknya jenis kue tradisional yang ada. Julukan ini tidak hanya sekadar nama, tetapi juga mencerminkan kekayaan kuliner dan potensi ekonomi kreatif yang dimiliki oleh masyarakat setempat, di antaranya adalah otak-otak.
Dari pintu masuk Pantai Tanjung Kalian, terlihat warung berjejer dengan asap mengepul dari pembakaran otak-otak, salah satu makanan khas Bangka Belitung. Terbuat dari olahan daging ikan tenggiri, berpadu dengan tepung tapioka atau sagu yang kemudian dibungkus dengan daun pisang.
Warung-warung ini tepat berada di dekat bibir pantai. Di sebelahnya, sebuah mercusuar kokoh berdiri. Kami memilih tempat duduk yang menghadap pelabuhan. Tidak menunggu lama, sepiring otak-otak daun pisang, empek-empek kulit bakar dan sebuah kelapa muda telah tersaji di hadapan kami. Harga otak-otak di sini relatif murah, hanya Rp1.000 per buah.
Otak-otak yang masih panas nikmat disantap sembari dicocol dengan cuka tauco kental atau cuka cabai. Rasa gurih, asam manis akan lumer di mulut. Selain memuaskan lidah, mata pun disaji panorama laut Tanjung Kalian yang dihiasi hilir mudik kapal-kapal di pelabuhan.
Van der Parra
Sambil menikmati otak-otak dan pemandangan laut, perhatian kami teralih ke bongkahan besi tua yang cukup besar, mengintip dari air pantai. Itu adalah bagian dari kapal yang telah karam. Bangkai kapal Van der Parra itu setengah terendam oleh air laut, tampak begitu rapuh dihempas gulungan ombak.
Kapal tersebut milik perusahaan nasional Belanda bernama KPM (Koninklijke Paketvaart Maatschappij), cikal bakal berdirinya PT Pelayaran Nasional Indonesia (PELNI). Kapal ini dulu dioperasikan sebagai armada penyeberangan untuk mengangkut barang dan penumpang.
Saat terjadi kerusakan pada kapal, pihak perusahaan dan pemerintah Belanda sengaja membiarkan kapal tersebut berada di pesisir pantai untuk mencegah abrasi. Kini, Van der Parra hanya menjadi besi tua, sisa peninggalan Hindia Belanda. Sekarang lebih sering dianggap sebagai tempat bermain anak-anak yang berenang di Pantai Tanjung Kalian.

Vivian dan Sejarah Perang
Di hadapan kapal Van der Parra, terdapat sebuah monumen dari pemerintah Australia. Fungsinya untuk mengenang sejarah pilu Perang Dunia II yang tidak banyak diketahui, bahkan oleh masyarakat Bangka sendiri. Monumen ini dibangun pada tahun 1993 untuk mengabadikan cerita tentang 67 perawat Australia yang menjadi korban kekerasan jepang.
Pada plakat-plakat kaca monumen yang menyajikan cerita lengkap peristiwa tersebut, terdapat gambar sosok perempuan yang sangat mencolok, Vivian Bullwinkel, perawat asal Australia yang menjadi satu-satunya korban selamat dari tragedi ini.
Pada Februari 1942, ketika Jepang menyerang Singapura, banyak warga sipil dan personel medis dievakuasi menggunakan kapal. Vivian termasuk dalam kapal SS Vyner Brooke, yang berlayar menuju Sumatra (via Pulau Bangka) untuk menghindari serangan. Namun, kapal itu dibom oleh pesawat Jepang di Laut Cina Selatan. Penumpangnya, termasuk wanita, anak-anak, dan perawat, tercerai-berai dan sebagian berhasil berenang ke Pantai Radji (kawasan pantai Tanjung Kalian), Pulau Bangka.
Setelah mendarat, sekitar 22 perawat dan sejumlah tentara Australia menyerahkan diri kepada tentara Jepang. Tentara Jepang berpura-pura menerima penyerahan itu, tetapi memisahkan laki-laki dan perempuan. Tragisnya, para pria ternyata dieksekusi dengan bayonet, sedangkan para perawat disuruh berbaris ke laut, seolah-olah untuk mandi, lalu ditembak dari belakang oleh tentara Jepang.
Vivian Bullwinkel adalah satu-satunya yang selamat. Vivian ditembak, tapi pelurunya hanya mengenai pinggulnya dan tidak fatal. Ia berpura-pura mati dan kemudian bersembunyi di hutan selama beberapa hari. Ia akhirnya ditangkap dan dijadikan tawanan perang selama lebih dari tiga tahun di kamp interniran Jepang.
Setelah perang usai, Vivian bersaksi dalam pengadilan kejahatan perang Jepang pada 1947. Ia menjadi simbol kepahlawanan, ketangguhan, dan keberanian perempuan dalam perang. Vivian dikenal karena keberaniannya menyuarakan kebenaran, dan memperjuangkan nasib rekan-rekannya yang gugur.
Kisah Vivian Bullwinkel adalah cerminan dari kekejaman perang, terutama terhadap mereka yang tak bersenjata. Perlawanan tanpa kekerasan, melalui keberanian menyuarakan kebenaran dan kekuatan perempuan, yang bukan hanya penyintas, tetapi juga penjaga nurani sejarah.
Kini, setiap tahun pada bulan Februari, tepatnya antara tanggal 14–17 Februari selalu ada warga negara Australia, Selandia Baru, dan Inggris—keturunan dari para penyintas—yang sengaja datang ke Pulau Bangka. Mereka berkunjung ke tempat yang pernah menjadi lokasi kekejaman perang oleh tentara Jepang selama Perang Dunia II.

Mercusuar Tanjung Kalian
Bertolak dari arah laut, tepat di belakangku sebuah mercusuar megah berdiri. Kepalaku harus menengadah penuh untuk dapat melihat puncak menara ini. Berapa tingginya, itu yang terpikir olehku. Belum lagi memasuki mercusuar, langkah kakiku berhenti di depan gerbangnya. Sebuah plang yang berisi informasi sejarah dari menara beton raksasa ini mengharuskanku menyisihkan waktu barang sepuluh menit untuk membaca.
Pembangunan mercusuar dilakukan oleh pemerintah kolonial Belanda pada kisaran tahun 1850–1860. Pembangunannya masih berupa kerangka besi. Dua tahun setelahnya, Bangka Tin Winningbedrift (BTW), sebuah perusahaan timah milik pemerintah Belanda, mengganti kerangka besi ini dengan desain baru yang lebih tinggi, kokoh, dan permanen yang terbuat dari baja besi cor.
Tujuan pembangunan mercusuar adalah sebagai penunjuk arah dan pengaman navigasi kapal dagang dan tambang timah yang melewati Selat Bangka. Sebab, pada masa itu, Mentok adalah pusat aktivitas ekonomi dan perdagangan timah. Maka, keberadaan mercusuar ini sangat krusial bagi kapal-kapal yang menuju atau keluar dari pelabuhan di Bangka, agar tidak karam di karang atau tersesat dalam kabut.
Kini aku tahu tinggi mercusuar adalah 56 meter. Bahkan sebelum menaiki anak tangga, aku sudah mengetahui jumlahnya sebanyak 199 dari plang informasi tersebut. Namun, menurut mitos yang beredar, jumlah anak tangga yang kita hitung saat naik dan turun tidak akan pernah sama. Maklum, bangunan yang berasal dari zaman Belanda, akan selalu dibungkus mitos, misteri, dan ujung-ujungnya soal noni Belanda. Menurutku ini justru semakin menarik. Bukan sebagai kepercayaan, melainkan lebih ke arah kearifan lokal yang memiliki nilai jual. Untuk memastikan mitos itu, aku telah berniat untuk menghitung jumlah anak tangga mercusuar Tanjung Kalian.
Memasuki tubuh Mercusuar, kita hanya perlu merogoh kocek tiket sebesar Rp5.000 per orang. Tangga melingkar spiral dan jendela berbentuk bulat, desain arsitektur bergaya klasik ini membuat suasana seolah kembali ke zaman kolonial. Yang luar biasa adalah sejak dibangun hingga sekarang, mercusuar masih terus berfungsi. Kini pengoperasian berada di bawah naungan Kementerian Perhubungan.

Setelah berusaha hingga lutut nyaris bergetar, akhirnya kami sampai juga di puncak menara. Pemandangan memukau Tanjung Kalian dan deru angin yang menyejukkan panasnya badan sehabis menjajal anak tangga adalah harga yang setimpal.
Kini, mercusuar Tanjung Kalian menjadi situs cagar budaya dan sejarah maritim. Simbol peradaban maritim dan kolonialisme Belanda di Bangka Barat, yang menawarkan destinasi wisata dengan panorama laut, pantai pasir putih, dan matahari terbenam.
Dari atas, Tanjung Kalian terlihat tidak lagi sama seperti awal aku datang. Bukan hanya tentang pantai, ombak, aroma ikan, dan monumen, melainkan makna yang terlahir dari kisah, kearifan lokal, dan sejarah. Tidak sekadar untuk dikenang, tetapi juga menjadi nilai untuk hidup dan mencintai Tanjung Kalian.
Oh, ya. Soal mitos anak tangga, aku gagal menghitungnya. Sebab, di hitungan ke-120 lebih aku sudah kehilangan fokus gara-gara sibuk mengatur napas. Bagi kamu yang ingin memastikan mitos ini, lebih baik langsung saja berkunjung ke Tanjung Kalian.
Referensi:
Balai Pelestarian Kebudayaan Wilayah V. (2017, 14 November). Mercusuar Tanjung Kelian, Direktorat Jenderal Kebudayaan, https://kebudayaan.kemdikbud.go.id/bpcbjambi/mercusuar-tanjung-kelian/.
Kenali Indonesiamu lebih dekat melalui Instagram dan Facebook Fanpage kami.
Tertarik buat berbagi cerita? Ayo kirim tulisanmu.