“Gue harus lanjut jalan, Pol!” ucap saya kepada Deni Gempol setelah dua hari saya undur melanjutkan perjalanan ke Poso. Beberapa kali saya mendengar cerita negatif tentang Tana Poso dari teman-teman. Akan tetapi rasa ingin datang ke sana malah semakin membuncah. Cuaca siang Palu cukup membuat saya berkeringat. Gempol mengantar saya dengan vespanya ke perbatasan kota setelah saya pamit dengan Babe, keluarganya, dan teman-teman.
“Saya hanya sampai sini bisa ngantar kamu, Dal!” Kemudian kami berpelukan. Gempol salah seorang saudara di dalam perjalanan saya. Dia juga yang mengajarkan saya cara melakukan perjalanan keliling Indonesia lima tahun lalu di Merauke, tepatnya di Base Camp Sabang-Merauke Chandra Surya. Setelah berpisah dengan Gempol, saya mulai melakukan ritual jalan kaki sembari lirik-lirik ke belakang—mana tahu ada rezeki tebengan mobil ke Poso.
Selang sebentar saya mampir di sebuah warung untuk membeli air mineral. Uang saya hanya tinggal 5.500 rupiah. Jadi hanya bisa membeli air mineral ukuran sedang yang harganya 4000. “Seribu lima ratus rupiah untuk ke Poso? Masa bodo, lah!” ucap saya dalam hati. Seringkali saya kehabisan uang dalam perjalanan. Akan tetapi saya yakin Tuhan akan membukakan jalan, dengan jalan yang sering tidak saya duga. Mungkin karena itulah saya kecanduan melakukan perjalanan di Republik tercinta ini, Indonesia.
Perlahan baju saya mulai basah oleh keringat. Panas terik matahari dan aspal menyatu mencumbu tubuh ini. Langkah demi langkah serta tegur sapa dan senyum penduduk yang saya temui membuat saya tak terlalu merasakan panas yang membakar. Setelah sekitar satu jam berjalan dan belum mendapatkan tumpangan akhirnya saya berhenti untuk istirahat di sebuah pondok pinggir jalan. Di sana sudah ada sudah ada dua orang pria. Mereka juga sedang istirahat setelah melakukan perjalanan dari Poso mengendarai sepeda motor. Sorot mata mereka tajam. Mereka pun mulai menjejali saya pertanyaan-pertanyaan mengenai diri saya, hingga akhirnya mereka meminta saya memperlihatkan KTP.
Ketakutan-ketakutan mulai mengalir di dalam diri. Apalagi di Poso sedang ada Operasi Tinombala yang dilakukan TNI untuk menumpas kelompok Santoso dan beberapa hari sebelumnya juga terjadi kecelakaan helikopter di Poso. Saya sempat berpikiran untuk kembali dan mengubah rute perjalanan ke arah Tolitoli. Namun saya teringat kembali waktu sebelum masuk tanah Papua tahun 2011 lalu. Beberapa orang teman di Jakarta sempat berkomentar bahwa saya hanya mengantar nyawa ke sana, bertemu dengan orang-orang primitif, dan gerakan radikal OPM. Akan tetapi setelah setahun kurang seminggu saya berkeliling Papua, apa yang saya rasakan selama di sana tidak sama dengan apa yang saya bayangkan sebelumnya.
Setelah istirahat saya melanjutkan perjalanan. Tidak ada satu pun mobil yang berhenti untuk memberikan tumpangan kepada saya. Tidak masalah; saya tetap berjalan kaki. Sekitar setengah jam jalan kaki hujan pun mulai turun dan tiba-tiba saja ada mobil pick-up yang berhenti. “Mau ke mana?” tanya seorang Ibu yang duduk di sebelah sopir. “Saya mau ke Poso,” jawab saya. “Masih jauh. Ayo naik. Tapi cuma sepotong jalan, ya!” balas Ibu itu. Akhirnya saya mendapat tumpangan sepanjang kira-kira 4 km. Di bak, saya duduk mepet kaca belakang agar terlindung dari hujan. Kemudian saya diturunkan dekat pos retribusi DLLAJ. “Minta tolong sama bapak petugas retribusi saja untuk cari tumpangan mobil barang!” ujar ibu itu. Saya pun mengucapkan terima kasih untuk tumpangan dan informasi yang ia berikan.
Di pos retribusi saya berkenalan dengan Pak Darwis, salah seorang petugas yang sedang dinas. Saya pun bisa numpang men-charge ponsel dan juga disuguhi teh hangat. Sembari menunggu hujan reda, kami bercerita tentang daerah Poso yang sedang ramai diberitakan, tentang operasi TNI dan kelompok radikal Santoso. “Poso aman. Kamu datang saja ke sana. Semuanya tidak seperti pemberitaan-pemberitaan di TV,” ucap pria itu, yang semakin membuat saya bersemangat datang ke Poso.
“Bawa bom gak, Mas? Masalahnya saya takut kalau Mas sampai bawa bom.” Kalimat sopir mobil pick-up itu membuat saya terkejut. Padahal saya mau minta tumpangan kepadanya untuk ke Poso. Akhirnya saya memperlihatkan isi tas ransel untuk memastikan bahwa saya aman. Setelah melihat sendiri isi tas, saya dipersilakan naik ke mobilnya. Ipong, begitu namanya. Laki-laki berusia 28 tahun itu setiap hari bolak-balik Poso-Palu untuk mengantar ikan hasil tangkapan nelayan Poso. “Sial… Dia ngebut lagi!” seloroh saya dalam hati ketika ia balap-balapan dengan sesama pick-up ikan.
Dalam perjalanan saya menghubungi Adhy, anak Babe di Palu, untuk meminta kontak yang bisa dihubungi di Poso. Bagi para pejalan atau pe-touring ada istilah “berbagi saudara.” Saya diberi kontak Bapak Taufik, Ketua Komunitas Motor Antik Poso. Hujan kembali turun dan sekitar pukul 22.00 WITA akhirnya saya tiba di Tana Poso. Saya diturunkan di depan Polres Poso. Saya ucapkan terima kasih banyak pada Ipong. Kemudian saya mendatangi pos piket untuk melapor. Isi tas saya sempat diperiksa. Kata mereka, “Untuk jaga-jaga.” Saya mempersilakan Pak Polisi menggeledah isi tas ransel.
“Adal?” Seorang laki-laki berumur 40-an masuk ke pos piket. “Iya. Saya Adal,” jawab saya. Kemudian dia menghampiri saya lalu kami berjabat tangan. Dia memeluk saya erat sembari berkata, “Selamat datang di Poso, Saudaraku!”
Saudara-Saudara Baru di Rumah Katu
Saya menatap seorang yang tengah asik dengan mimpi-mimpinya, seorang yang pernah dicap oleh negara sebagai teroris. Hembusan nafasnya agak berat. Sudah dini hari akan tetapi mata saya ini masih belum juga bisa diajak kompromi. Kemudian Perlahan-lahan saya mulai beranjak ke tempat tidur sembari berusaha agar gerakan saya tidak mengeluarkan bunyi-bunyian. Setelah kepala saya rebahkan ke atas bantal, saya lalu mulai memandangi wajah orang yang berada persis di samping saya itu. “Bagaimana perasaannya ketika mengeksekusi orang?” Terlintas pertanyaan itu di dalam benak. Saya pernah membaca sebuah berita lama tentang ditembaknya seorang jaksa tahun 2004 silam di Kota Palu—dan sekarang saya tinggal dan sekamar dengan pelakunya!
“Lu jangan lama-lama di Poso. Mending lewatin aja daerah sana,” Bang Syarif berpesan ketika saya masih di Jakarta, sehari sebelum berangkat ke Sulawesi Tengah. Dia juga yang meminjamkan laptopnya kepada saya. Mungkin pesannya tidak saya hiraukan; perjalanan membawa saya bertemu dengan orang-orang yang sama sekali tidak saya duga. Dalam kisah yang digoreskan oleh Yang Maha Sutradara saya digariskan untuk bertahan beberapa waktu di Tana Poso.
“Orang suci punya masa lalu, bangsat juga punya depan.” Kalimat itu spontan keluar dari mulut saya ketika pertama kali bertemu dengan Bang Iin yang menyebut dirinya “mantan.” Saya memang tidak peduli latar belakang masa lalu orang yang saya kenal, mau dia mantan penjahat atau mantan pemberontak sekalipun.
Hari ketiga di Tana Poso saya diajak oleh Yayad ke lokasi Rumah Katu Marine Park, sebuah wahana bermain yang dibangun secara swadaya. Menariknya para pengelola adalah “mantan-mantan” lintas agama yang terlibat kerusuhan Poso tahun 2000-an. Lokasinya di Pantai Madale, sekitar 15 menit dengan kendaraan bermotor dari Kota Poso. Di lokasi ini juga ada sarana outbond, flying fox, banana boat, dan juga spot-spot indah untuk snorkeling. Bahkan ada beberapa gazebo dan, tentunya, tempat nongkrong. Ide dan dukungan awal berdirinya Rumah Katu Marine Park ini berasal dari pihak Marinir TNI AL.
Sudah tiga minggu lebih saya hidup dengan teman-teman Rumah Katu dan melakukan apa yang bisa saya perbuat di sana. Banyak hal yang saya pelajari dari Rumah katu, salah satunya adalah tentang arti sebuah perdamaian di dalam perbedaan. Bahkan saya teringat kalimat dari orang tua angkat saya yang juga berbeda keyakinan di Ambon sana: “Adik, kaka, keponakan, dan sanak famili seng (tidak) ada lai, semuanya (kerusuhan) seng ada guna.”
Setiap hari saya selalu bersama Bang Iin. Rasa ingin tahu membuat saya sering mengorek-ngorek masa lalunya dan juga mimpi-mimpinya di Rumah Katu untuk Tana Poso. Rumah Katu Marine Park adalah wadah usaha dan kreativitas yang bertujuan untuk mempererat tali silaturahmi dan persaudaraan dalam bingkai Bhinneka Tunggal Ika antara pemuda-pemuda lintas agama di Tana Sintuwu Maroso. Baginya Rumah Katu adalah langkah awal bagi teman-teman untuk suatu hari bisa berdikari dan saling tolong menolong untuk hal-hal yang positif.
Memang masih banyak pandangan-pandangan miring di tengah masyarakat tentang “mantan.” Akan tetapi alangkah indahnya kita saling merangkul untuk tanah air yang sama-sama kita cintai ini. Bahkan saya semakin yakin bahwa Tana Poso adalah salah satu destinasi yang wajib dikunjungi di Sulawesi Tengah ini. Bagi saya berita-berita negatif tentang Poso sebenarnya tidak sampai seujung kuku benarnya. Saya masih enjoy jalan sendirian dini hari mencari nasi kuning untuk mengobati lapar. Kadang apa yang kita bayangkan belum tentu sama dengan apa yang kita rasakan.
Kenali Indonesiamu lebih dekat melalui Instagram dan Facebook Fanpage TelusuRI.
Tertarik buat berbagi cerita? Ayo kirim tulisanmu.
Meyakini bahwa kehidupan adalah perjalanan tanpa penyesalan.