TRAVELOG

Tahura Djuanda dan Ruang Jeda dari Keramaian Kota Bandung

Adakalanya rutinitas kehidupan tampak seperti membawa kita untuk terus berjalan di atas treadmill di ruang pusat kebugaran: dipaksa terus bergerak, tapi tidak pernah tahu tujuan mana yang hendak kita capai. Kota Bandung, dengan euforia dan romantismenya, tak jarang terasa serupa mesin pabrik yang bekerja tak kenal lelah. 

Belum genap menikmati tidur yang sangat lelap, kehidupan membangunkan kita untuk bergegas menyelinap di antara sesaknya Jalan Sukajadi hingga Pasteur. Di halte, di antara persimpangan jalan dengan jeda lampu merah yang tak sebentar, ada banyak potret lelah yang seragam: wajah-wajah yang dipaksa saban hari bersemangat mencari nafkah, meski tubuh dan isi pikiran sudah mendesak untuk meminta jeda. 

Pertama, dalam tulisan ini saya tak sedang berupaya untuk meromantisasi pelarian dengan dalih penyembuhan. Tapi saya menampikkan bahwa terkadang ada satu momen di mana cara pamungkas untuk tetap bertahan waras adalah dengan mengalah sejenak dari rutinitas yang kian membosankan. 

Lagi-lagi, bukan untuk menyerah, hanya menarik napas lebih dalam dari biasanya. Dan tepat hari Rabu, di mana orang-orang tengah bergelut dengan tugas-tugas kantor, saya memutuskan untuk menyepi ke sudut utara kota. Suatu tempat yang tak hanya menyajikan panorama hijau, tapi juga menyediakan medium untuk diam. Namanya Taman Hutan Raya (Tahura) Ir. H. Djuanda.

Tahura Djuanda dan Ruang Jeda dari Keramaian Kota Bandung
Hijaunya pepohonan di Tahura Ir. H. Djuanda/Yayang Nanda Budiman

Menyusuri Tahura dari Jantung Kota

Sekitar tujuh kilometer dari jantung Kota Bandung, ada jalur kecil di daerah Dago yang membawa saya ke gerbang taman hutan yang cukup luas, terawat, dan masih asri. Jalan yang membawa saya seperti pindah ke dimensi lain. Dari suara klakson, ingar orang-orang di pusat perbelanjaan, menjadi gumaman angin yang meraba dedaunan. Di pintu masuk, misalnya, aroma hutan seperti tengah mempersilakan saya untuk segera menyusuri lebih dalam. 

Tahura bukan destinasi wisata yang riuh oleh modernitas wahana kekinian. Ia lebih menyerupai teman lama yang menyambut kita dengan peluk diam, tapi menenangkan. Lebih dari itu, saya merasa Tahura bukan hanya kawasan konservasi, melainkan juga ruang penyembuhan: melalui langkah kaki di atas tanah lembap, dari cahaya yang menerobos celah pinus, lewat suara ranting yang patah diam-diam. 

Sekitar pukul 8 pagi, saya perlahan menyusuri jalan setapak, menapaki sejarah yang tertanam di setiap lekuk tanah di taman ini. Dulu, kawasan Tahura merupakan rumah bagi dari hutan lindung Gunung Pulosari, cekungan alami yang telah ada sejak zaman purba. Kemudian tempat ini berganti rupa menjadi Taman Wisata Alam Curug Dago, hingga akhirnya pada pertengahan Januari 1985, tepat di hari Ir. H. Djuanda merayakan hari ulang tahunnya, kawasan ini diresmikan sebagai hutan raya pertama di Indonesia. 

Tak hanya menyajikan ragam flora dan fauna yang mendiami kawasan ini, ada juga beberapa tempat yang bisa kita singgahi: Gua Belanda, Gua Jepang hingga Curug Omas. Masing-masing menyimpan cerita masa lalu yang barangkali tak banyak diketahui oleh generasi kita yang terlalu larut dalam menggenggam layar gawai. Untuk pertama kalinya, saya menyempatkan masuk ke Gua Jepang. Berbekal rasa ingin tahu, suasana di dalam gelap dan lembap, seperti menyimpan pesan yang sudah lama kita kubur. Di tengah kesunyiannya, dari dalam sini kita bisa lebih mendengar suara hati yang selama ini terabaikan. 

Sepanjang perjalanan terlintas dalam benak saya: “Tahura seperti jeda panjang yang sering kali kita abaikan. Merasa hidup sepenuhnya hanya untuk menyuapi rutinitas yang menguras waktu dan isi kepala. Padahal, kita juga berhak untuk jeda sejenak.” 

Kota terlalu sibuk mengajarkan kita tentang persaingan, produktivitas, dan pencapaian yang semuanya serba tergesa. Tapi di sini, saya menikmati apa artinya hidup yang tak terburu-buru. Bahkan untuk jatuh pun daun memilih untuk pelan, seolah sedang memastikan bahwa tanah tempatnya berlabuh adalah yang paling layak. 

Menikmati Suguhan di Setapak Jalan

Di balik dialog yang sedang terjadi, di tengah hutan, saya menemukan sebuah selter kecil. Bukan tempat mewah yang dibangun secara permanen, melainkan hanya sekadar atap kayu dengan bangku panjang yang berjajar. Namun, cukup untuk menampung kelelahan yang saya pikul. Sembari meregangkan otot betis yang mulai terasa pegal, saya membuka bekal yang sebelumnya saya bawa: nasi hangat dan beberapa potong perkedel yang saya beli setelah perjalanan hampir dua jam dari pintu masuk, tepat sebelum Curug Omas. 

Kata orang-orang, namanya Perkedel Ceu Kokom. Entah siapa yang pertama kali memopulerkan, meski lokasinya terbilang cukup jauh, tapi kalau akhir pekan tempat ini selalu disesaki antrean pelanggan. Bahkan meskipun saya ke sini di hari kerja, antrean pun masih tampak ada. Tapi tidak mengapa, karena kadang, kelezatan yang jujur memang pantas untuk ditunggu. Selain soal rasa, suasana pun turut andil membuatnya istimewa. Di tengah hutan, dengan tubuh yang mulai kelelahan dan pikiran yang perlahan jernih, makanan sederhana pun terasa serupa jamuan istana ratu Inggris. Bagaimana tidak, makan perkedel sambil menatap dedaunan yang diterpa angin dan suara gemericik air dari kejauhan adalah nikmat mana lagi yang saya dustakan. 

Meskipun jam operasionalnya dibatasi dari rentang pukul 8 hingga 4 sore, tapi waktu terasa berputar pelan di sini. Mungkin karena tidak diburu, atau mungkin karena saya baru menyadari bahwa selama ini kita terlalu lama hidup dalam siklus rutinitas yang tak pernah dipertanyakan. Di Tahura, waktu seperti melambat. Satu jam bisa terasa seperti sehari, karena akhirnya kita benar-benar hadir di saat ini.

Tahura Djuanda dan Ruang Jeda dari Keramaian Kota Bandung
Wisatawan memberi makan rusa di tempat penangkaran dalam kawasan Tahura/Yayang Nanda Budiman

Ujung Perjalanan, Pulang, dan Menyembuhkan

Saya duduk lebih lama dari yang direncanakan. Mengamati setiap gerak burung kecil yang bertengger di dahan, mendengar desir angin yang berbisik serupa nyanyian tanpa lirik. Meski perayaan ini sederhana, tapi ia telah berhasil menyembuhkan semua isi kepala yang selama ini disesaki oleh berbagai tuntutan. 

Hingga pada akhirnya langkah ini keluar dari Tahura, tubuh terasa jauh lebih ringan dari biasanya. Bukan karena beban telah sepenuhnya hilang, melainkan kita telah belajar untuk tidak lupa memberi jeda sebentar pada kehidupan. Pada akhirnya, di tengah intensitas yang padat dan ritme yang mendesak, Tahura adalah ruang jeda yang menyembuhkan. Tempat kita menyadari bahwa tenang bukan berarti nirambisi, dan diam bukan berarti pasrah dan merasa kalah.

Sebab, pada akhirnya, saya menyadari bahwa hidup ternyata bukan soal lari sekencang mungkin atau bersaing seketat mungkin. Tapi tentang tahu kapan waktunya kita harus berhenti dan memberi jeda, menghela napas panjang, dan mengucapkan terima kasih.


Kenali Indonesiamu lebih dekat melalui Instagram dan Facebook Fanpage kami.
Tertarik buat berbagi cerita? Ayo kirim tulisanmu.

Yayang Nanda Budiman

Nanda, seorang praktisi hukum di Jakarta, menyambi sebagai penulis lepas yang senang bercerita, menyukai perjalanan dan musik blues.

    Tinggalkan Balasan

    Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

    Worth reading...
    Grey Art Gallery: Bervakansi lewat Pameran Karya Seni di Jantung Kota Bandung