Jalanan kota Abepura jam 8 malam masih ramai lalu lalang kendaraan, tapi tidak dengan Jalan Cendrawasih yang tepat berada di sisi kiri Auditorium Universitas Cendrawasih.
Sudah hampir 15 menit saya, Ayos, Mawski, dan Fajrin mengawasi sekitar mengharap ada pertanda. Jarang orang lewat. Mungkin orang-orang enggan lewat sini karena tak ada lampu jalan—padahal ada tiang lampunya. Saya curiga lampunya sudah tamat riwayat karena dijadikan target lemparan.
Suasana sepi ditambah kurangnya penerangan bikin jalan ini susah ditembus. Di kota ini, suasana sepi dan gelap jelas disukai oleh para peminum saguer atau minuman keras lainnya, dijadikan selimut untuk berkumpul. Karena alasan itulah saya menjadi waspada. Teman-teman lain masih tampak santai. Sengaja saya tidak memberi tahu alasan di balik kewaspadaan saya itu kepada mereka. Kalau tahu, bisa-bisa mereka meminta segera balik pulang.
Lalu pertanda itu tiba. Ada yang memanggil kami dari gelap malam, di depan pintu pagar sebuah rumah. Walau tidak melihat wajahnya, saya tahu itu adalah Mendo, remaja jangkung yang kami tunggu sedari tadi. Ternyata kami hanya meleset dua rumah saja.
Pantas saja tadi kami tak melihat rumah itu. Posisinya menjorok ke dalam dan hanya diterangi lampu kuning di depan. Siapa pun pasti akan menganggap itu rumah tak berpenghuni. Di pintu rumah masih ada hiasan Natal. Di pojok, pohon Natal plastik masih menjulang. Padahal sudah hampir Valentine.
Ah, kami tertipu. Semula saya kira kami akan masuk ke dalam rumah. Ternyata tidak. Mendo menuntun kami melewati samping rumah, masuk di antara batang-batang pohon pinang yang menjulang, lalu menunduk dan meliuk-liuk menembus jemuran baju. Suara dentuman bas bervolume kecil bisa saya dengar. Kami menuju sumber suara itu.
Kami pun tiba. Agak susah memberi label pada tempat ini. Kondisinya semi permanen, setengah tertutup-setengah terbuka, ada pohon jambu yang bertugas menjadi peneduh di siang hari. Saya tidak bisa membedakan mana gudang, dapur, atau tempat cuci. Kombinasi ketiganya menjadi absurd ditambah laptop dan pelantang. Saya perhatikan, di laptopnya tercolok kabel menuju headphone. Kabel pelantang dan kabel memanjang dibungkus dengan lakban cokelat yang ujungnya dibungkus dengan busa yang saya duga sempilan busa kasur. Ternyata itu mikrofon rakitan mereka. Kotak pelantang yang besar itu barangkali cocok jadi tempat tidur bayi. Saya menduga corong itu belum mengeluarkan suara penuhnya ibarat raksasa yang menahan suara. Berbisik. Mengesankan sekali studio mereka ini.
Dalam studio sudah ada Luis, Michael, Elon, Ruts, dan Omri. Mereka tergabung dalam grup rap bernama Jubi. Walau mereka sudah lama saling mengenal, grup ini baru beberapa bulan mereka bentuk. Bongkar pasang di kalangan grup rap memang sudah lumrah.
Walau sering mendapat omelan orangtua karena musik yang mereka dengar terlalu berisik dan tidak jelas, mereka tetap menggemari musik itu. Bagi mereka, menjadi rapper adalah [pernyataan] identitas. (Selain musik rap, reggae juga sudah cukup akrab dengan mereka sejak SD. Itulah yang sedikit banyak memengaruhi karya mereka.)
“Dulu kami hanya bermodal handphone untuk merekam lagu. Sekarang sudah bisa belajar memakai laptop dengan software pengolah audio,” kata Elon. Lagu-lagu kreasi mereka jadi lebih bervariasi. Tema-tema lagunya tidak jauh dari keseharian mereka. Malam ini mereka sedang merekam lagu berjudul “Mana Janji” yang berkisah tentang laki-laki yang menagih janji setia pada kekasihnya. Masing-masing dari mereka merapalkan lirik tapa nada seperti seorang anak sekolah yang belajar menghafal Pancasila.
Mereka rupanya pemburu kesunyian. Bermusuhan dengan suara lalu lalang motor, suara gonggongan anjing, ataupun bunyi-bunyi mengganggu lainnya. Itulah alasan kenapa mereka memilih merekam lagu di malam hari. “Kami sangat berhati-hati karena jika ada suara dari luar masuk saat merekam otomatis kami harus mengulang lagi,” kata Mendo. “Risiko punya studio rekaman di rumah, ya, begini,” lanjut dia.
Musik rap memang digandrungi anak-anak muda di Papua, khususnya di Abepura. Lewat rap, mereka bebas berekspresi dengan lirik-lirik yang disuarakan dengan tempo cepat. Mau itu di taksi (sebutan angkutan umum) antardistrik sampai di gang-gang kecil, lagu rap cukup dominan terdengar, bersaing dengan lagu-lagu Pance Pondaag dan Black Brother. Tidak usah jauh-jauh. Di Tanah Hitam, tempat kami tidur, juga demikian. Tiap pagi ritual Fajrin adalah memutar lagu-lagu rap dengan logat Timur kental di Creative Digital Papua.
Mendo sudah memberi tahu mereka maksud kedatangan kami. Jadi kami tidak perlu banyak basa-basi. Mawski saya lihat sudah mulai asyik menangkap suasana ruangan ini. Mata lensanya lahap memakan pecahan-pecahan adegan yang sedang berlangsung. Sebagai videografer dia sudah tau apa yang harus dilakukan. Ayos lebih kalem mencoba mencairkan suasana dengan membuka obrolan dengan beberapa di antara rapper tersebut. Sebagai penulis tak susah baginya untuk mengulik cerita.
Saya sendiri sudah siap dengan perekam suara di tangan, mencoba menangkap obrolan mereka sambil mendengarkannya melalui earphone. Entah karena memang dasarnya Ayos pintar basa-basi atau karena Mendo and the gang doyan bercerita, saya keasyikan mendengar mereka sampai-sampai saya terduduk di tanah. Tapi, lama-lama fokus saya geser dan suara obrolan mereka makin jauh. Lalu saya merasakan kesunyian. Bunyi-bunyi terisolasi.
“Oh, mereka berhenti mengobrol,” pikir saya. “Tapi kenapa gelap? Mati lampukah?”
Tiba-tiba saya mendengar suara hentakan keras. Seketika saya gelagapan berdiri sambil mencoba mengumpulkan sisa-sisa nyawa. Rupanya saya ketiduran. Dan suara hentakan tadi ternyata teriakan Elon yang ditangkap perekam.
Tengah malam itu ledakan tawa mereka sukses membangunkan anjing tetangga.
1 comment
[…] benang-benang yang tak tampak namun saling terhubung di Abepura. Benang-benang itu saling mengaitkan anak-anak mudanya, menyimpul lewat makan pinang bersama, […]