Siang itu, kira-kira tengah hari, cuaca sangat panas sampai-sampai tanganku seketika berubah warna. Kutancap gas kendaraanku dari Sleman ke Kulonprogo seorang diri. Aku hendak ke pantai.
“Gak suka pantai kok ikut acara yang lokasinya di pantai?” begitu respons temanku tadi saat kuberi tahu aku akan ke pantai.
Tinggal di dataran tinggi memang membuatku tidak begitu menyukai pantai. Alasannya, selain karena pemandangan yang bisa dilihat hanya air, suhu di kawasan pantai lebih tinggi ketimbang dataran tinggi. Jadilah selama hampir tiga tahun di Jogja aku belum pernah ke pantai, sampai siang itu.
Keputusanku untuk ke pantai pun sebenarnya didasari oleh kebutuhan. Aku perlu sertifikat kegiatan untuk memenuhi persyaratan pembelajaran di kampus. Kebetulan di Pantai Trisik, Kabupaten Kulonprogo, ada sebuah acara bernama “Resik-resik Trisik.”
Tak tahu jalan, tentu aku mengandalkan teknologi pintar yang selalu kubawa. Google Maps memanduku berkendara pelan-pelan menuju Pantai Trisik. Panas terik, ditambah macet panjang akibat perbaikan jalan di sekitar Masjid Agung Bantul, membuat perjalanan itu terasa sangat lama.
Sepanjang perjalanan aku merasa dikejar-kejar oleh awan hitam. Lalu, pada satu waktu, dari spion kulihat awan itu makin pekat dan turunlah hujan deras di belakang sana. Lega sekali rasanya ketika akhirnya aku tiba di tujuan dan disambut oleh panitia kegiatan.
Aku pun diarahkan ke tempat parkir, sebelum diajak ke lokasi acara. Di tempat itu aku berjumpa dengan teman-teman baru dari berbagai universitas di Jogja. Tanpa diduga, aku juga bertemu seorang teman sekelas.
Bersama-sama, kami menyimak sambutan dari ketua acara dan penjelasan pengurus Paguyuban Konservasi Penyu Pantai Trisik. Mendengarkan mereka, sedikit-sedikit pengetahuanku tentang penyu bertambah.
Sebelum acara utama, resik-resik atau bersih-bersih Pantai Trisik, dimulai, pantia acara membagi para pesarta menjadi beberapa kelompok yang terdiri dari 8-10 orang. Setiap kelompok diberi lokasi resik-resik masing-masing agar peserta tak menumpuk di satu tempat.
Kami pun beranjak ke lokasi masing-masing. Aku dan teman-teman memungut sampah-sampah yang kami temukan lalu memasukkannya ke dalam karung yang sudah disediakan panitia. Lokasi bersih-bersih kami tak bisa dibilang luas. Namun, sebentar saja kami sudah mengumpulkan hampir sepuluh karung sampah. Melihat sepuluh karung itu, aku jadi insyaf betapa kita masih berjuang untuk mengubah kebiasaan membuang sampah sembarangan.
Jenis sampah yang kami pungut pun beragam, meskipun didominasi oleh sampah plastik seperti sedotan, sendok, bungkusan (permen, makanan, dll.), gabus sintetis (styrofoam), dan puntung rokok. “Bisa tidak para perokok itu menyimpan sampah mereka sendiri atau menghisap tanpa sisa?” batinku.
Senang sekali melihat pantai yang bersih. Rasanya, tanpa sampah-sampah itu, lebih nyaman untuk melihat laut yang tak tampak ujungnya itu. Usai bersih-bersih, kami foto bersama. Semula kukira itu adalah akhir acara. Ternyata tidak.
Tepat jam 5.30 sore, kami semua diajak panitia berjalan menyusuri pantai menuju tempat penangkaran penyu. Di sana aku melihat empat penyu besar dan banyak sekali tukik. Itu adalah pengalaman pertamaku melihat dan menyentuh penyu. Sebelum melepasliarkan salah satu tukik, meskipun tak tahu jenis kelaminnya apa, aku memberi anak penyu itu nama.
“Hei! Tukik ini namanya Nono, ya. Panggil dia Nono, oke?” teriakku pada teman-teman sekelompokku.
“Halo, Nono. Salam kenal dan sampai jumpa, ya,” ujar salah seorang temanku sembari mengelus cangkang Nono.
“Nanti taruh tukiknya bersama-sama di depan garis, ya, teman-teman. Dan hadapkan ke depan (laut),” kata pengurus paguyuban kepada kami.
Kami pun diminta untuk berdiri di belakang garis lurus yang sudah dibuat. Mengikuti panduan, kami melepaskan tukik secara bersamaan di bawah langit senja. Berat hatiku menaruh Nono di atas pasir dan melepaskannya. Perlahan, tukik itu merangkak menghampiri batas pasir dan air. Namun, ketika ombak datang, Nono disapu kembali ke arah daratan. Kami dilarang membantu supaya tukik belajar menggunakan instingnya menuju habitat aslinya. Ketika ombak datang dan surut untuk kedua kalinya, Nono sudah tak terlihat lagi.
Sampai jumpa, Nono.
Tinggal di kaki Gunung Wali, tapi tak pernah bosan dengan indahnya dataran tinggi. Gemar memanjakan lensa mata dengan potret indah untuk disimpan.