Banyak sekolah masih memperjuangkan adanya kesetaraan gender, sementara SMAN 8 Kota Malang sudah menerapkannya, baik di tingkat pengajar maupun peserta didik. Laki-laki tidak mendominasi ruang-ruang berorganisasi, sementara keterlibatan perempuan terus didorong. Lantas, bagaimana praktik bak ini dapat mendukung terciptanya toleransi di sekolah?
Sebagai salah satu instrumen untuk mencerdaskan kehidupan bangsa, sekolah dituntut tampil seperti bengkel reparasi, dengan waktu yang sedikit harus melakukan banyak perubahan. Mengubah ketidaktahuan menjadi sebuah pengetahuan, hingga meningkatkan daya saing siswanya di tingkat global. Sekolah juga dinyatakan sebagai tempat yang menjunjung tinggi kesetaraan dan keadilan, seperti yang tertuang pada Pasal 31 UUD 1945, bahwa setiap warga negara berhak mendapatkan pendidikan yang layak.
Sayangnya, kultur patriarki menyebabkan konstruksi di masyarakat menitikberatkan pendidikan adalah hak eksklusif para lelaki, sementara perempuan dipandang sebatas masyarakat kelas dua, yang tugasnya hanya seputaran pekerjaan domestik seperti mencuci baju, mengurus rumah tangga, dan menyenangkan suami. Namun, seiring berjalannya waktu, masyarakat mulai paham dan mengerti bahwa perempuan dan laki-laki memiliki hak yang sama dalam segala bidang, termasuk pendidikan.
SMAN 8 Kota Malang adalah salah satu contoh sekolah yang sukses menghilangkan stigma perbedaan gender. Siswa laki-laki tidak mendapat perlakuan istimewa dibanding siswa perempuan, tapi justru saling melengkapi. Sudah beberapa kali kepala sekolah dipimpin oleh sosok perempuan. Paling baru, dalam tiga tahun terakhir ketua OSIS yang terpilih di sekolah ini juga perempuan semua.
Apa faktor-faktor yang melatarbelakangi hal di atas?
Tasrikha Ikawati, selaku guru Bahasa Inggris dan wakil kepala kesiswaan SMAN 8 Kota Malang periode 2019-2022 yang akrab disapa Ibu Ika, memaparkan bila keterpilihan mereka menempati posisi-posisi tersebut semata-mata karena kecerdasan dan kemampuan untuk menjadi pemimpin. Kualitas mereka memang sudah melewati beberapa tahap pengujian, yang pada akhirnya sampai pada sesi pemilihan oleh warga sekolah.
Semua siswa SMAN 8 Kota Malang dipersiapkan untuk menghadapi persaingan, mereka juga dibekali dengan pengetahuan keadilan dan kesetaraan yang bagus sehingga tolak ukur pemimpin bukan lagi pada gender tapi kemampuan. “Sejauh yang saya tahu, tidak pernah ada (masalah gender), baik guru atau siswa. Selama proses kami tidak melihat gendernya, baik laki maupun perempuan kami tidak melihat itu. Proses pemilihannya juga panjang sekali, ada tes administrasi, wawancara, tes tertulis. Kami selalu melihat pada hasil terbaik,” jelasnya. Biasanya akan terdapat masing-masing tiga kandidat calon ketua dan wakil ketua terpilih yang akan maju pada pemilihan OSIS. Mereka merupakan hasil seleksi ketat nan panjang yang mewakili anak-anak kelas 11 dan 10 sebagai calon ketua dan wakil ketua OSIS.
Berhasil melewati rangkaian seleksi tersebut, pada tahun ini ketua dan wakil ketua OSIS terpilih merupakan sosok perempuan yakni pasangan Niangke Fairrachma dari kelas 11 IPS dan Kanindita Tiara Maharani dari kelas 10 MIPA. Sedangkan sebelumnya, terdapat pasangan ketua dan wakil ketua OSIS, Salma Rasheeda dari kelas 11 IPS didampingi Ale Sulthon Rahman dari kelas 10 MIPA (periode 2021-2020) dan Adi Cantika dari kelas 11 IPS didampingi Nazwa Marsha dari kelas 10 MIPA (periode 2019-2020).
Begitu pun pemilihan ketua ekstrakurikuler, meskipun tidak berlangsung serumit pemilihan ketua OSIS, tetap ada langkah-langkah yang harus ditempuh. Sampai saat ini, ekstrakurikuler tidak pernah dikenalkan dan dibagi berdasarkan gender tertentu, sehingga porsi yang didapat sama banyaknya. Namun sekali lagi Ibu Ika menegaskan bukan masalah gender yang menjadi pertimbangan, tetapi kemampuan personal yang bersangkutan.
Ibu Ika menambahkan bila salah satu kelebihan pemimpin perempuan adalah kemampuan untuk melakukan banyak tugas sekaligus–multitasking–yang tidak dimiliki oleh laki-laki. Perbedaan yang paling menonjol dari gaya kepemimpinan laki-laki dan perempuan menurut Joane Hoare dan Fiola Gell adalah perempuan lebih bersifat kooperatif dan kolaboratif, sementara laki-laki lebih kompetitif dan otoritatif. “Saya tidak mengatakan anak perempuan semuanya lebih bagus, enggak, semua ada kekurangan dan kelebihan, tapi masalah ketegasan, menangani masalah, bekerja sama dengan teman-temannya jalan semua itu. Bukannya yang laki-laki enggak jalan ya, tapi anak perempuan sepertinya lebih survive, lebih mencakup banyak hal,” ujarnya.
Sedangkan Rina Mariana atau Ibu Rina, guru bagian kesiswaan, juga partner pendamping Ibu Ika, juga mengomentari tentang bagaimana perempuan menjadi pemimpin. “Perempuan sebagai pemimpin sekarang wajar-wajar saja, karena seharusnya bukan karena perempuannya tapi karena kemampuannya. Kebetulan di sekolah ini yang bisa perempuannya. Kami melihatnya lebih pada kemampuannya masing-masing (terlepas dari latar belakang maupun gender),” ucapnya.
Atas dasar kesetaraan yang sudah melekat inilah kemudian sekolah menerima ajakan untuk berpartisipasi dalam kegiatan yang CREATE adakan, karena merasa nilai-nilai yang CREATE ajarkan bisa memperkuat lagi toleransi, pluralisme, dan kesetaraan gender di lingkungan mereka. Badar Satria Nusantara, salah satu alumni SMAN 8 Kota Malang membagikan pengalamannya selama mengikuti kegiatan CREATE, “Aku mikir awalnya CREATE kayak webinar biasa, tapi waktu aku ikut kegiatan CREATE itu acara yang paling niat untuk menumbuhkan rasa toleransi pada teman-teman yang seumuran aku.”
Badar, yang juga sempat menjadi bagian dari pengurus OSIS periode 2020-2021, tidak pernah merasa terintimidasi ataupun terpinggirkan dengan kemunculan pemimpin perempuan karena menurutnya kemampuan dapat dimiliki siapa saja terlepas gendernya apa. Namun, ada beberapa suara dari kalangan siswa yang masih terjebak konstruksi budaya patriarki sehingga seringkali meremehkan teman-teman perempuannya. Suara-suara sumbang tersebut tetap ada, meskipun sebagian besar warga sekolah sudah paham bahwa gender bukan halangan dalam melakukan apapun.
Pernah suatu saat, Badar mendapatkan pertanyaan dari teman akrabnya, “Kamu kok mau sih disuruh-suruh perempuan? Bukannya laki yang harus nyuruh ya?” Badar hanya membalas dengan kelakarnya, “Kamu kalau nyuruh aku bisa apa enggak?” Kemampuan koordinasi tidak dimiliki oleh semua orang, belum tentu laki-laki bisa mengkoordinasikan berbagai macam kegiatan yang berjalan dengan baik. Menanggapi langgengnya kepemimpinan perempuan di OSIS selama 3 tahun ini, Badar mengakui mereka mempunyai kemampuan yang mumpuni dalam urusan kepemimpinan. Muncul lebih banyak keteraturan yang dirasakan Badar selama menjadi bagian dari pengurus OSIS dan mempengaruhinya dalam setiap kegiatan.
Pada praktiknya, sekolah pun ikut mengakomodir bagaimana kesetaraan berpendapat terjadi di lingkup sekolah. Soal kesetaraan pendapat, guru dan siswa mempunyai forum sarasehan yang dimaksudkan untuk menampung aspirasi siswa atau keluh kesah mereka selama bersekolah. Para guru dan murid kompak untuk bisa menjadi padu dan tetap menghormati satu sama lain, sejalan dengan tagline yang dianut ‘Sekolah Ramah Anak’, sesuai dengan arahan pemerintah yang dicanangkan oleh Kementerian Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak pada tahun 2015.
Niangke Fairrachma, selaku ketua OSIS SMAN 8 Kota Malang yang masih menjabat hingga sekarang mengungkapkan pendapatnya mengenai perempuan dan kepemimpinan. Menurutnya, ada beberapa aspek yang memang berbeda dari laki-laki ataupun perempuan. Namun bila bicara soal kemampuan, tergantung individu masing-masing. Sebagai seorang anak yang tumbuh di lingkungan yang mendukung emansipasi, pikiran-pikiran yang mengedepankan laki-laki itu adalah pemikiran kuno. Laki-laki dan perempuan tercipta untuk saling melengkapi.
Lalu, bagaimana dengan sindiran-sindiran? Selama Niangke menjabat, pada dasarnya tetap ada perkataan yang meragukan kapasitasnya dalam memimpin karena dia perempuan. “Langsung di depan muka saya sih enggak ada, saya cuma denger-denger aja. Tapi teman-teman di sekolah luar saya sering mendengar kadang ada yang underestimate mereka, tapi tergantung individu masing-masing kalau bisa ngebuktiin, gender bukan jadi penghalang,” tutur Niangke.
Karena masih dalam masa kerjanya, Niangke mengadakan banyak program-program OSIS seperti latihan dasar kepemimpinan, berbagai macam perlombaan seni maupun olahraga, HUT Smarihasta, Kartini Day, dan lain semacamnya. Kegiatan CREATE juga menginspirasi Niangke dan teman-temannya untuk memasukkan materi tentang toleransi, pluralisme, dan kesetaraan gender dalam MPLS (Masa Pengenalan Lingkungan Sekolah).
Yang patut digarisbawahi dari kesuksesan SMAN 8 Kota Malang dalam memberdayakan siswa perempuannya adalah dengan mendukung pihak laki-laki dan perempuan untuk berkompetisi dengan adil. Sekolah adalah pihak yang netral dan menyediakan segala keperluan siswa untuk berkembang. Menurut Niangke, inilah salah satu bentuk dukungan yang diperlukan oleh semua kalangan, “Dengan tidak mengurangi hak dan kewajiban dari kedua belah pihak, menurut saya itu sudah mendukung. Kesuksesan tidak selalu dipandang dengan setinggi jabatan. Kalau semisal dipandang seperti itu berarti yang paling sukses adalah presiden. Sukses kalau menurut saya adalah saya enjoy dengan apa yang saya jalani sekarang.”
“Ketika banyak yang bertanya bagaimana cara menjadi ketua OSIS, jujur saya enggak tahu jawaban pasti selain cuman bilang kamu percaya saja sama diri kamu, entah kamu jadi apapun nanti, kamu memang hebatnya di situ. Semua orang punya porsi dan tempatnya masing-masing,” ucap Niangke.
SMAN 8 Kota Malang memberikan contoh bagaimana penerapan nilai-nilai kesetaraan gender diwujudkan di lingkungan sekolah. Dengan adanya kesempatan yang sama kepada semua siswa untuk ikut berpartisipasi dalam hal organisasi dan kepemimpinan. Selayaknya, sekolah menjadi tempat belajar yang nyaman dan aman untuk para siswa untuk berkembang dan berlatih. Dengan kesempatan yang sama, perempuan dapat menjadi Kartini-Kartini baru yang siap membangun Indonesia.
1) Istilah yang menggambarkan upaya perbaikan yang memakan waktu singkat dan biaya lebih murah. Umumnya digunakan pada reparasi mobil penyok,
Konsorsium CREATE merupakan inisiasi Yayasan Hivos yang terinspirasi oleh nilai-nilai humanis bekerja sama dengan Rombak Media, Perkumpulan Pamflet Generasi, Lembaga Advokasi dan Pendidikan Anak Rakyat (LAPAR), Youth Interfaith Forum on Sexuality (YIFOS), dan Center for Marginalized Communities Studies (CMARs), dengan dukungan dari The United States Agency for International Development. Konsorsium CREATE bersama-sama membuat program yang bertujuan untuk meningkatkan pluralisme dan toleransi di kalangan siswa. CREATE mengadopsi pendekatan berbasis seni dan budaya yang inovatif sebagai titik masuk mempromosikan toleransi dan pluralisme di tingkat sekolah menengah.
Jika tidak dituliskan, bahkan cerita-cerita perjalanan paling dramatis sekali pun akhirnya akan hilang ditelan zaman.