Perjalanan saya kali ini berada di Desa Malangjiwan, Kecamatan Colomadu, Karanganyar dan Keraton Kartasura di Dusun Ngadirejo, Sukoharjo. Rasa penasaran memicu saya untuk melacak jejak kediaman Pangeran Puger, pewaris takhta Keraton  Kartasura.

Lokasi yang diduga menjadi bekas kediaman berhasil saya temukan. Hanya saja, saat ini telah berubah menjadi dua bukit kecil di tengah hamparan sawah Desa Malangjiwan. Menurut cerita turun-temurun warga sekitar, dua bukit ini disebut Puthuk Pugeran, bekas tempat tinggal Pangeran Puger dari Keraton Kartasura.

Awalnya ragu ketika saya harus melewati pematang sawah untuk mencapai lokasi. Namun, setelah melihat jejak roda motor dan mengikuti arahnya, sampai juga saya di Puthuk Pugeran.

Matahari yang bersinar terik pagi itu tidak mematahkan semangat untuk banyak memotret, termasuk warga penggembala. Mereka tidak banyak tahu sejarah, selain Puthuk Pugeran merupakan tanah milik Keraton Kasunanan Surakarta. 

Saya pun mulanya tidak mengetahui, karena tidak ada reruntuhan yang bisa disaksikan. Hanya ada satu sumur dan altar kecil menghadap ke selatan dan timur di kedua bukit. Sempat berpikir areal tersebut merupakan bekas pemakaman Tionghoa, tetapi rupanya bukan. 

  • Sepenggal Kisah Penelusuran Jejak Pewaris Takhta Keraton Kartasura
  • Sepenggal Kisah Penelusuran Jejak Pewaris Takhta Keraton Kartasura

Kehidupan Masa Lampau Pangeran Puger

Kediaman Pangeran Puger di Malangjiwan kini hilang tak bersisa, berbeda dengan singgasananya di Keraton Kartasura. Meski menyisakan reruntuhan tembok benteng, masih beruntung tidak hancur total.  

Pada masa mudanya, Pangeran Puger bernama Raden Mas Darajat. Putra Sunan Amangkurat I dari permaisuri kedua, yakni Ratu Wetan yang berasal dari Kajoran, Pajang, sekaligus cucu Sultan Agung dari Pleret, Bantul. 

Ketika terjadi konflik antara Amangkurat I dan Raden Mas Rahmat—yang kelak bergelar Amangkurat II—Pangeran Puger dinobatkan sebagai putra mahkota bergelar Adipati Anom di Keraton Plered. Raden Mas Rahmat merupakan putra dari permaisuri pertama Amangkurat I, yakni Ratu Kulon, sehingga berstatus saudara tiri Pangeran Puger.

Eskalasi konflik keluarga kian memanas, seiring dengan terjadinya pemberontakan Pangeran Trunajaya dari Madura pada 1677. Jantung Keraton Plered diserang, menyebabkan Amangkurat I melarikan diri ke Banyumas dan meminta Amangkurat II mempertahankan Keraton Plered.

Namun, sialnya Amangkurat II turut melarikan diri menuju Desa Wanakerta, sehingga Pangeran Puger menjadi putra mahkota berdiri di ujung tanduk perlawanan dari Keraton Plered. Kalah perang memaksa Pangeran Puger melarikan diri ke Desa Jenar, lalu mendirikan istana kecil bernama Keraton Purwakanda dengan Sunan Ngalaga.

Pangeran Puger tidak tinggal diam. Ia sempat hendak mengambil alih kembali Keraton Plered yang telah diduduki Pangeran Trunajaya setelah menumpas sisa-sisa prajurit Trunajaya. Namun, usahanya sia-sia karena Keraton Plered sudah rusak cukup parah. 

Sepenggal Kisah Penelusuran Jejak Pewaris Takhta Keraton Kartasura
Sudut sisi timur tembok benteng Keraton Mataram Kartasura/Ibnu Rustamadji

Raja Tanpa Istana dan Konflik Keluarga Tiada Henti

Selama pelarian, Amangkurat II adalah raja tanpa istana. Ia lantas mendirikan padepokan di tempat yang kini disebut Keraton Mataram Kartasura, hingga mencapai puncak kejayaan tahun 1680. Padepokan diubah menjadi Keraton Kartasura oleh Amangkurat II, menggantikan Keraton Plered hingga wafat tahun 1702.

Tidak lama kemudian, takhta kerajaan diwariskan ke putra Amangkurat II, Raden Mas Sutikna (Amangkurat III). Ia lantas meminta bantuan pemerintah Hindia Timur Belanda (Vereenigde Oostindische Compagnie atau Perusahaan VOC) di Jakarta untuk membantunya memimpin Keraton Mataram Kartasura. Pada Februari 1686, kedua pihak meneken perjanjian, yang salah satu poinnya membantu menangkap buronan Untung Suropati di Kartasura. Melalui perjanjian inilah konflik keluarga kian meruncing. 

Sejatinya, Amangkurat II sebelum wafat sempat berwasiat dan menunjuk Amangkurat III sebagai raja, agar menjalin hubungan baik dan kembali bersatu dengan Pangeran Puger. Salah satu upayanya adalah menikahkan Amangkurat III dengan Raden Ayu Lembah, putri Pangeran Puger.

Akan tetapi, apa yang diharapkan tinggallah kenangan. Selama kepemimpinan Amangkurat III, kekisruhan semakin menjadi lantaran tabiat yang tidak baik darinya. Perebutan takhta atas hak sebagai raja antara Pangeran Puger dan Amangkurat III pun tak terelakkan.

Sepenggal Kisah Penelusuran Jejak Pewaris Takhta Keraton Kartasura
Bagian dalam reruntuhan Keraton Mataram Kartasura di sisi barat laut/Ibnu Rustamadji

Pangeran Puger, putra sah Amangkurat I sebagai calon penerus takhta kerajaan, lantas menempati kediaman yang kini bernama Puthuk Pugeran. Tujuannya untuk mempermudah pengawasan Keraton Kartasura

Sebelum akhirnya naik takhta, Pangeran Puger sempat diadu domba dan menjadi tahanan rumah selama setahun atas perintah Amangkurat III. Sebab, Pangeran Puger menuduh Amangkurat III atas dugaan persekongkolan perebutan takhta dan intrik keluarga. Amangkurat III beranggapan jika tuduhan tersebut sengaja diembuskan untuk menjatuhkan takhta. 

Padahal, faktanya intrik keluarga Amangkurat III yang terjadi adalah hubungan asmara terlarang antara Raden Ayu Lembah—istrinya—dengan Raden Sukra, putra pejabat pemerintah Semarang. Raden Sukra akhirnya dieksekusi di Keraton Kartasura dengan dipenjara di kandang macan hingga wafat. 

Tak lama kemudian, Amangkurat III bersama istrinya menemui Pangeran Puger, lalu memerintahkannya mengeksekusi sang istri dengan hukuman lawe atau gantung. Kekejaman sang keponakan membuat Raden Suryokusumo, putra Pangeran Puger, marah besar dan ingin membalaskan dendam keluarga. 

Konflik kian memanas, Amangkurat III memerintahkan keluarga Pangeran Puger diburu dan dieksekusi mati. Untungnya seluruh keluarga Pangeran Puger tidak ada yang tertangkap dan dieksekusi. Hanya Pangeran Puger yang menjalani tahanan rumah selama setahun.

  • Sepenggal Kisah Penelusuran Jejak Pewaris Takhta Keraton Kartasura
  • Sepenggal Kisah Penelusuran Jejak Pewaris Takhta Keraton Kartasura
  • Sepenggal Kisah Penelusuran Jejak Pewaris Takhta Keraton Kartasura

Setahun kemudian, Pangeran Puger akhirnya dibebaskan oleh Amangkurat III atas bujukan Patih Sumabrata. Pangeran Puger tidak tinggal diam. Ia segera berangkat ke Semarang untuk mengunjungi petinggi pemerintah Hindia Timur di sana. Ia kemudian menghimpun prajurit untuk membantunya mengambil alih takhta raja Keraton Kartasura.

Mendengar informasi adanya upaya kudeta dari Pangeran Puger, Amangkurat III memerintahkan prajurit mencari dan mengeksekusi Pangeran Puger. Usahanya sia-sia, karena Raden Jangrana II, selaku Bupati Surabaya yang memimpin pengejaran, berbalik mendukung Pangeran Puger. 

Amangkurat III pun semakin terpojok. Raden Rangga Yudanagara dari Semarang menjadi mediator perdamaian konflik antara pemerintah Hindia Timur, Amangkurat III, dan Pangeran Puger mengenai kematian Francois Tack, perlawanan Trunajaya, dan pengejaran Untung Suropati. Tanda tangan kesepahaman diteken pada tanggal 6 Juni 1704. Sebagai imbalan, Pangeran Puger  diangkat sebagai Raja Mataram bergelar Sunan Pakubuwanan Senapati ing Ngalaga Abdurahman Saayyidin Panatagama Khalifatullah I.

Pangeran Puger lantas merangsek masuk Keraton Kartasura didukung prajurit gabungan Belanda, Semarang, Madura, dan Surabaya. Tujuannya mengambil alih takhta dari Amangkurat III. Perlawanan Amangkurat III dibantu dengan pimpinan Arya Mataram, adik Pangeran Puger. Pecahlah perang suksesi Jawa pertama itu.

Arya Mataram mengalami kekalahan. Ia lantas membujuk Amangkurat III pergi dari Keraton Kartasura. Arya Mataram kemudian berbalik mendukung sang kakak, yakni Pangeran Puger. Puncaknya terjadi pada tahun 1705, ditandai dengan runtuhnya pertahanan Amangkurat III menghalau serangan Pangeran Puger dan pemerintah Hindia Timur di Ungaran.

Amangkurat III dan keluarga melarikan diri ke Ponorogo. Di sana ia membuat keonaran dengan mengeksekusi Adipati Martowongso, sang bupati Ponorogo. Demi menjaga keselamatan, mereka melarikan diri menuju Kediri dan meminta bantuan Untung Surapati melawan pasukan gabungan Pangeran Puger, yang akhirnya menewaskan Untung Surapati.

Amangkurat III akhirnya menyerah dalam pelarian kepada pemerintah Hindia Timur dan Pangeran Puger. Tahun 1708 menjadi akhir pelariannya. Tidak lama setelah menyerah, ia menghabiskan masa tua di pengasingan di Sri Lanka hingga wafat tahun 1734.

  • Sepenggal Kisah Penelusuran Jejak Pewaris Takhta Keraton Kartasura
  • Sepenggal Kisah Penelusuran Jejak Pewaris Takhta Keraton Kartasura

Keraton Mataram Kartasura, Riwayatmu Kini

Keraton Kartasura akhirnya dipimpin Pangeran Puger atau Pakubuwana I, tetapi sistem pemerintahan sepenuhnya dikendalikan Belanda. Pangeran Puger dan keluarga sepenuhya tinggal di Keraton Kartasura. Phutuk Pugeran, seiring waktu tidak lagi ditempati, hanya ada beberapa pengikutnya saja. 

Tidak diketahui secara pasti, kapan tempat tinggal tersebut hilang meninggalkan gundukan bukit. Ada dugaan seiring Boyong Kedhaton atau perpindahan Keraton Mataram Kartasura menuju Desa Sala, tempat Keraton Kasunanan Surakarta saat ini. Jejak Keraton Kartasura yang masih bisa disaksikan sekarang adalah bagian tembok keraton. Hanya saja, bagian dalam sudah beralih fungsi menjadi pemakaman Islam.

Sangat disayangkan memang, tetapi faktanya demikian. Keraton Kartasura saat ini tak ubahnya perkampungan. Kompleks kedaton di sisi timur dan barat, lalu sisi utara keraton hingga Jalan Slamet Riyadi Kartasura merupakan alun-alun utara, sedangkan sisi sebaliknya dari keraton merupakan alun-alun selatan.

Saat ini kedua alun-alun sudah tidak tampak, berganti menjadi hunian warga. Semoga saja, keberadaan sisa-sisa Keraton Mataram Kartasura tetap lestari sebagai pengingat sejarah perang suksesi Jawa di masa depan. 

Tidak lupa, sebelum beranjak dari Kartasura, saya menyempatkan diri berdoa dan menyambangi beberapa sudut keraton yang masih tersisa. Di masa kini bangunan tersebut sudah tidak mewah lagi, tetapi sangat mewah di masa kejayaannya.


Kenali Indonesiamu lebih dekat melalui Instagram dan Facebook Fanpage kami.
Tertarik buat berbagi cerita? Ayo kirim tulisanmu.

Tinggalkan Komentar