Hubungan masyarakat Bukit Rimbang Bukit Baling dengan piyau sedekat urat nadi yang mengalirkan oksigen dan nutrisi ke tubuh mereka. Hidup mati bergantung pada lembaran-lembaran kayu dan mesin tempelnya.

Teks: Rifqy Faiza Rahman
Foto: Deta Widyananda dan Mauren Fitri


Sepasang Mata Piyau: Dari Urusan Rumah Tangga sampai Asmara
Masyarakat yang tinggal di sepanjang Sungai Subayang, baik di dalam maupun luar kawasan Suaka Margasatwa Bukit Rimbang Bukit Baling sangat bergantung pada piyau untuk mobilitas setiap harinya/Mauren Fitri

Dalam satu hari, nyaris tidak terhitung piyau hilir mudik melintasi Sungai Subayang. Sungai ini menjadi ruh utama akses masyarakat keluar masuk kawasan Suaka Margasatwa (SM) Bukit Rimbang Bukit Baling. Dari Gema, ibu kota Kecamatan Kampar Kiri Hulu, menuju Pangkalan Serai, desa paling hulu. Begitu pun sebaliknya.

Sebagai satu-satunya alat transportasi, piyau telah “makan asam garam” di Sungai Subayang. Piyau menjadi tumpuan warga mencari ikan, berbelanja kebutuhan rumah tangga, pelesir atau berobat ke pusat kecamatan, hingga mengangkut bahan-bahan bangunan untuk membuat rumah di kampung.

Risiko terbesar yang mereka hadapi adalah kondisi perairan Sungai Subayang bisa berubah-ubah tergantung cuaca. Tidak bisa diprediksi. Jika air terlalu pasang, piyau rawan terhantam batu atau batang pohon yang tidak terlihat karena warna air sedang keruh kecokelatan. Biasanya terjadi saat puncak musim hujan Desember—Januari. Sebaliknya, jika terlalu surut atau dangkal, piyau yang membawa beban terlalu berat akan kandas.

Sepasang Mata Piyau: Dari Urusan Rumah Tangga sampai Asmara
Piyau melintas di Sungai Subayang. Tampak jelas gradasi warna yang menunjukkan perbedaan kedalaman sungai. Seorang motoris harus mampu mengendalikan piyau ketika melewati jalur sungai yang dangkal dan berarus/Deta Widyananda

Tidak hanya saat keperluan belanja, sekolah, atau aktivitas lainnya, tetapi kondisi tersebut juga berisiko tinggi pada masyarakat yang berada dalam darurat kesehatan dan membutuhkan penanganan medis segera. Seorang ibu yang sedang hamil tua akan mengalami kegawatan jika sungai sedang banjir dan arus terlalu deras, sehingga tidak bisa dibawa ke ibu kota kecamatan.

Di sisi lain, jauhnya jarak antardesa dengan pusat kecamatan menyebabkan tingginya ongkos perjalanan piyau. Seumur hidup Ajis Manto atau Datuk Pucuk (55), ninik mamak Desa Tanjung Beringin pun tak luput dari pengalaman dengan piyau. Utamanya ketika hendak membangun tempat tinggal di kampung. Masyarakat di dalam kawasan harus pergi ke Gema, ibu kota Kecamatan Kampar Kiri Hulu, jika ingin berbelanja bahan bangunan.

“Untuk membuat satu rumah sederhana di Tanjung Beringin,” katanya, “tak terhitung [berapa kali] bolak-balik Gema.”

Meskipun proses pembangunannya tidak sampai satu tahun, biayanya amat tinggi. Menurut Datuk Pucuk, “Yang [bikin] mahal [karena] ongkos transportasinya, [biaya satu rumah] bisa dua kali lipat dari [bangun rumah] di Gema. Kalau di Gema cuma butuh 20 juta, di Tanjung Beringin bisa 40 juta.”

Sebagai gambaran, jarak dari Gema ke Tanjung Beringin sekitar 17—18 kilometer. Waktu tempuhnya dua jam. Makin ke arah hulu, ongkos minyak dan jasa motoris makin mahal. Jika nekat, satu piyau mampu mengangkut delapan sak semen dengan total bobot 400 kilogram.

Lika-liku masyarakat menjalani keseharian di Bukit Rimbang Bukit Baling juga dialami Teguh Ahmad Riyadi (22). Dia adalah motoris piyau yang membawa TelusuRI selama liputan di kawasan tersebut. 

Tidak semua orang bercita-cita jadi motoris

Pertemuan dengan Teguh, sapaannya, bisa dibilang sebagai takdir. Ketika hendak berangkat dan masuk kawasan, tidak banyak motoris yang bisa mengantar karena sudah memiliki agenda lain. 

Sampai akhirnya Indra Rius (30), dubalang muda Tanjung Belit, menemukan satu kenalannya yang tinggal di Desa Gema. Orang itu adalah Teguh, pemuda asal desa hulu, Pangkalan Serai. 

Meskipun masih muda, Teguh cukup berpengalaman. Ia sudah belajar menjadi motoris sejak kelas 2 SMP. Sebagai orang dari daerah hulu yang jalurnya terkenal sangat sulit, penuh jeram deras, dan banyak batu, bisa dibilang ia cukup mumpuni membawa piyau bermesin Kohler 15 PK milik Indecon yang kami pinjam. Seorang fasilitator Indecon, Astin, turut menyertai selama peliputan di Tanjung Belit, Batu Songgan, Tanjung Beringin, dan Terusan.

Sepasang Mata Piyau: Dari Urusan Rumah Tangga sampai Asmara
Teguh, motoris muda asal Pangkalan Serai, dengan gaya santai dan tenang mengantar tim TelusuRI selama liputan di desa-desa dalam kawasan Suaka Margasatwa Bukit Rimbang Bukit Baling/Mauren Fitri

Sepanjang perjalanan menyusuri Sungai Subayang, memang beberapa kali sempat terjadi insiden menegangkan. Misalnya, sempat kandas di perairan Batu Songgan, nyaris terbalik di Aur Kuning, atau menyerempet tebing di dekat Gajah Bertalut. Penyebab utamanya karena arus kencang. Namun, Teguh mampu mengendalikannya dengan baik.

Putra dari Zamris dan Areni itu punya pengalaman romantis dengan piyau. Kisahnya terjadi sudah cukup lama, kira-kira sebelum kepindahan keluarganya dari Pangkalan Serai ke Gema beberapa tahun lalu. Cerita ini ia sampaikan ketika TelusuRI sedang menginap di Tanjung Beringin.

“Dulu mantanku orang Tanjung Beringin,” katanya.

Namanya anak muda zaman sekarang, Teguh dan sang mantan pun pernah mengalami enaknya pacaran. Namun, berbeda dengan anak-anak di kota, Teguh tidak mungkin berjumpa dengan pacarnya untuk nge-date dengan sepeda motor. Satu-satunya jalan penghubung antardesa di Bukit Rimbang Bukit Baling adalah Sungai Subayang. Satu-satunya alat transportasi yang dipakai adalah piyau.

Dari dua kesempatan nge-date dengan piyau, ada satu yang paling berkesan buat Teguh. Ia pernah secara sengaja menyempatkan diri mampir ke Tanjung Beringin. Idenya mengajak sang pacar jalan-jalan naik piyau ke salah satu pulau di sekitar Sungai Subayang.

Mereka pun pergi ke pulau tersebut. Berdua saja. Konsepnya memang serupa piknik. Selepas perahu ditambatkan ke batang pohon, Teguh mencari ikan sungai lalu membakarnya untuk disantap bersama-sama. Bayangkan suasana syahdu seperti ini. Menikmati waktu dengan orang terkasih, ditemani kecipak air sungai yang jernih, di tengah hutan belantara pula. 

Sayang, keindahan hubungan keduanya tidak bertahan lama. Namanya juga anak muda. Kami sempat berasumsi, jangan-jangan pengalaman itu pula yang membuat Teguh akhirnya enggan mencari uang dengan menjadi motoris piyau sepenuhnya.

Namun, ternyata ia punya jawaban lain, “[Saya] mulai meninggalkan dunia motoris, karena risikonya besar.”

Sepasang Mata Piyau: Dari Urusan Rumah Tangga sampai Asmara
Raut lega Teguh ketika sudah keluar kawasan SM Bukit Rimbang Bukit Baling. Di hari itu, sempat terjadi insiden menegangkan. Di perairan Sungai Subayang yang berarus deras dan dangkal dekat Batu Songgan, ia menceburkan diri dan menahan laju piyau agar tidak menabrak tebing dan piyau lain dari arah berlawanan/Rifqy Faiza Rahman

Teguh cukup kenyang dengan pengalaman tenggelam, tabrakan, mengalami luka, dan kehabisan minyak [bahan bakar] di tengah perjalanan dengan piyau. Ia merasa keahliannya sudah cukup dan hanya akan menjadi motoris untuk keluarganya saja. Alasan lain adalah karena seluruh keluarganya sudah pindah rumah di Desa Gema. Paling hanya satu atau dua kali dalam setahun mereka akan pulang kampung ke hulu. 

“Untuk ke depannya sih, pengin bikin rumah sendiri di Gema. Terus buka usaha sendiri, seperti kedai grosir [sehingga] yang dari atas [Bukit Rimbang Bukit Baling] bisa belanja ke rumah,” angan Teguh.

Mengenal sekilas Bogok, seniman piyau legendaris

Kisah-kisah unik yang berkaitan dengan piyau, tentu tidak lepas dari peran piyau itu sendiri dan sosok pembuatnya. Dari cerita Teguh, diketahui sebenarnya ada tiga desa pengrajin piyau di dalam kawasan Bukit Rimbang Bukit Baling. Namun, ia mengakui jika pengrajin yang terbaik dari yang terbaik ada di Desa Terusan. Di desa ini pelopor pembuatan kerajinan piyau adalah Nasaruddin atau Bogok (63). Ia merupakan salah satu dari tiga pengrajin di Terusan, yang tidak lain masih terhitung kerabatnya juga.

Sepasang Mata Piyau: Dari Urusan Rumah Tangga sampai Asmara
Bogok sedang mengerjakan pesanan piyau di tempat kerjanya, Desa Terusan, kawasan SM Bukit Rimbang Bukit Baling. Ia memotong balok kayu dengan senso untuk dijadikan bilah-bilah papan, sebelum direkatkan menjadi lambung atau badan piyau/Deta Widyananda

“Saya [mulai] membikin piyau tahun 1978,” kata Bogok, “yang mengajarkan kakek saya. Namanya Nenan.” Kini ia masih produktif bekerja membuat piyau, dibantu oleh putra menantunya, Atur dan cucunya, Reinaldi. 

Bogok memproduksi piyau berdasarkan pesanan. Ukurannya juga tergantung jenis mesin tempel yang akan dipakai sebagai sumber tenaga kemudi oleh pemesan. Di kalangan masyarakat Bukit Rimbang Bukit Baling, ada dua jenis piyau yang populer dan dikategorikan berdasarkan merek mesin tempelnya, yakni Robin dan Johnson. Meski sekarang kedua merek tersebut tidak lagi “monopoli” kancah permesinan kapal karena sudah ada alternatif lain, masyarakat masih sering menyebut namanya.

Piyau jenis Robin dengan kapasitas tenaga mesin di bawah 20 PK, atau mengacu ukuran standar Bogok berukuran panjang 8,5 meter, bisa mengangkut 3—5 penumpang. Di luar barang bawaan. Beban maksimalnya 300 kilogram. Bogok menjualnya di kisaran 5—6 juta rupiah. Meskipun daya tampungnya kecil dan lambat, piyau Robin lebih lincah saat melewati arus atau jeram di antara bebatuan. 

Sedangkan piyau Johnson berukuran lebih panjang dan lebar. Bisa mengangkut lebih banyak orang. Harganya berkisar 8—12 juta rupiah. Meski kapasitas mesinnya besar—mencapai 25 PK—dan lebih cepat, piyau Johnson tidak selincah Robin saat melewati jalur sempit dan dangkal. Biaya pembuatan kedua jenis piyau tersebut belum termasuk pemasangan aksesoris tambahan, seperti atap atau kursi.

Menurut Bogok ada sejumlah jenis kayu yang bisa dijadikan bahan baku piyau, antara lain medang, kempas, punjung, dan meranti. “Yang paling bagus medang,” katanya. Biasanya Bogok mengambil bahan kayu dari dalam hutan di sekitar Desa Terusan. Ia membutuhkan setidaknya enam sampai delapan batang kayu untuk satu piyau Robin. Namun, jika kesulitan bahan, ia mencari dan membeli kayu dari luar kawasan seharga Rp2,5 juta untuk membuat satu piyau. Dalam sebulan Bogok bersama menantu dan cucunya mampu membuat 2—4 piyau. Artinya, setiap piyau bisa selesai dalam waktu satu minggu.

Sepasang Mata Piyau: Dari Urusan Rumah Tangga sampai Asmara
Bentuk dasar lambung piyau yang hampir jadi. Sehari-hari Bogok bekerja dibantu menantunya (paling kiri) dan cucunya (tengah). Piyau buatan Bogok terkenal berkualitas karena pilihan kayu, kerapian pahatan, dan daya tahannya terhadap air maupun benturan/Deta Widyananda

Usia pemakaian piyau tergantung perawatan. Rata-rata satu piyau bisa awet setidaknya 3—4 tahun, karena bagusnya kualitas kayu yang tahan air dan benturan. Walau terkadang belum sampai dua tahun mereka akan ganti piyau baru. 

Salah satu ciri khas piyau buatan Bogok adalah motif garis tegas di bagian lambungnya. Seperti ada goresan dalam dan diberi pewarna cat. Selain itu yang paling menarik adalah ornamen di bagian kepala atau disebut pompang. Seolah menjadi sepasang mata piyau ketika berjalan memecah arus sungai. Ukirannya menunjukkan karakteristik budaya Kenagarian Terusan. Desa pengrajin piyau lainnya juga memiliki ornamennya sendiri.

Menanggapi produksi piyau yang menggunakan bahan baku kayu dari hutan, Kepala Balai Besar Konservasi Sumber Daya Alam dan Ekosistem (BBKSDA) Riau, Genman Suhefti Hasibuan, S.Hut, M.M. (50) mengatakan, “Sepanjang piyau diproduksi secara tradisional untuk alat transportasi masyarakat yang ada di sana, maka hal tersebut dimungkinkan.”

Pihaknya terus berusaha melakukan pendekatan sosialisasi dan edukasi ke masyarakat pengrajin piyau. Sembari terus meminta dan mengawasi agar tidak sampai terjadi komersialisasi skala besar dan mengirim bahan baku ke luar kawasan.

Saat ini BBKSDA Riau sedang bekerja sama dengan lembaga masyarakat sipil, untuk mengatur kembali tata kelola blok khusus 17.348,50 hektare yang bisa digunakan masyarakat kawasan SM Bukit Rimbang Bukit Baling. Termasuk memuat ketentuan tentang apa yang boleh dan tidak boleh dilakukan. (*)


Foto sampul:
Piyau-piyau milik warga bersandar di pulau berbatu di pinggiran Sungai Subayang, Desa Tanjung Belit, Kampar, Riau/Deta Widyananda

Pada September—Oktober 2023, tim TelusuRI mengunjungi Sumatra Utara, Riau, dan Kalimantan Timur dalam ekspedisi Arah Singgah: Meramu Harmoni Kehidupan Manusia dan Alam. Laporan perjalanannya dapat diikuti di telusuri.id/arahsinggah.

Kenali Indonesiamu lebih dekat melalui Instagram dan Facebook Fanpage kami.
Tertarik buat berbagi cerita? Ayo kirim tulisanmu.

Tinggalkan Komentar