Selalu ada pilihan tempat wisata di Nusa Tenggara Timur, yang tidak hanya mampu menciptakan efek kagum akan segala hal di dalamnya, tetapi juga dapat menjadi tempat belajar yang baik tentang ragam hal yang ada di sini. Menariknya, semua itu tidak saja tersaji lewat alam yang Tuhan ciptakan dengan begitu sempurna, tetapi juga lewat warisan budaya dan hasil cipta masyarakat di dalamnya. Salah satunya, bisa saya temukan di Rumah Tenun Ikat Flamboyan—sebuah ruang bagi masyarakat yang tergabung dalam kelompok penenun.
Sebelumnya, di saya sudah mengunjungi Rumah Tenun Kampung Alor pada 2021 lalu untuk menyaksikan proses menenun serta ragam koleksi yang ada di dalamnya. Setelahnya, saya mengunjungi Rumah Tenun Kampung Sabu dan menyaksikan hal yang sama di sana.
Tenunan dengan segala keindahan motif dan nilai luhur yang terkandung di dalamnya lahir dari jari-jari terampil dan ketekunan para penenun. Dengan itu, apresiasi atas tenun pertama-tama harus dialamatkan kepada para penenun. Mereka hadir sebagai tokoh penting di balik lahirnya tenunan nan indah, sekaligus berdiri di garda depan dalam upaya pelestarian warisan budaya nan luhur.
Melabuhkan kaki di Kabupaten Belu memberi saya berkesempatan untuk bertemu para penenun nan terampil.
Memang, selama kurang lebih empat tahun lebih saya berada di Pulau Timor, kekayaan tenunan Kabupaten Belu belum sepenuhnya melekat sebagai identitas daerah ini. Perbatasan, Fulan Fehan, dan beberapa destinasi wisata lainnya masih dominan disebut sebagai ikon Kabupaten Belu. Sementara tenunan masih jarang saya dengar—dalam konteks pergaulan sehari-hari—apalagi keberadaan kelompok penenun dan sekolah tenun yang ada di sana.
Alhasil, lagi-lagi melalui kesempatan Modul Nusantara, saya tiba di salah satu sekolah tenun lokal yang terletak di Kuneru, Kelurahan Manunutin, Kecamatan Kota Atambua, Kabupaten Belu. Namanya, Sekolah Tenun Ikat Flamboyan. Sekolah tenun ini terbentuk secara resmi dua tahun lalu, berada di bawah binaan Kelompok Tenun Ikat Flamboyan yang berlokasi di tempat yang sama.
Jumlah siswanya berjumlah 15 orang, dan mereka acap disebut sebagai anak-anak Flamboyan. Anak-anak ini merupakan gabungan dari anak-anak sekolah pada jenjang yang berbeda, dengan rincian empat orang siswa SD, lima orang siswa SMP, dan enam orang siswa SMA. Ketika tiba di sana, anak-anak ini pun sedang menenun beberapa kain tenun khas Kabupaten Belu.
Sore hari itu, kami berkesempatan bertemu secara langsung dengan Mama Maria Goreti Bisoi, yang akrab disapa Mama Eti Bisoi. Beliau merupakan Ketua Kelompok Tenun Ikat Flamboyan sekaligus pengelola Sekolah Tenun Ikat Flamboyan. Dari beliaulah, kami mendapatkan informasi tentang keberadaan sekolah ini.
Beliau menjelaskan, di Kelurahan Manumutin sendiri ada dua sekolah tenun, termasuk salah satunya Sekolah Tenun Ikat Flamboyan. Dalam praktiknya, sekolah ini bersifat terbuka bagi siapa saja yang ingin belajar menenun—dari berbagai jenjang pendidikan—untuk kemudian diajarkan dan dilatih perihal keterampilan menenun.
Aktivitas menenun yang diajarkan kepada anak-anak Flamboyan mempunyai beberapa tahapan. Kelas pertama yakni pengenalan alat dan bahan, serta fungsi alat yang digunakan dalam menenun. Setelahnya, para siswa mendapatkan pelajaran mengenai jenis tenunan maupun nilai filosofis di dalamnya, dan tahapan spesifik lain sehingga para siswa dapat memahami secara baik serangkaian tahapan menenun.
Di Sekolah Tenun Ikat Flamboyan, para siswa juga intens dilatih untuk menenun tais futus (tenun ikat) dan tais fafoit (tenun sulam) dalam masyarakat Belu. Terkait alat dan bahan menenun, Mama Eti Bisoi menyebut beberapa alat dan bahan, yang mencakup ailulu, ru’i, knur, kai ana, ulo, kaka balun, beba, benang, dan beberapa lainnya. Sementara terkait motif, beberapa motif yang sempat diperkenalkan beliau, antara lain nugu (dikur-tanduk), bebak taran (dahan pohon tuak bergerigi), romiki (gadis kemak bersolek), aikleu (dahan pohon), dan bia ubu (binatang air).
Beres pengenalan sekolah tenun kepada rombongan kami, saya menemui Mama Eti untuk sedikit menggali informasi tentang keberadaan Sekolah Tenun Ikat Flamboyan. Menariknya, menurut Mama Eti, anak-anak yang saat ini tergabung di sini rupanya bergabung atas niat dan kemauannya sendiri untuk belajar menenun. Hal ini pun disampaikan oleh salah seorang anak yang saya tanya hari itu.
“Karena mau belajar tenun,”katanya sambil tersenyum malu.
Model pembelajaran terkait jenis tenunan, motif, dan nilai filosofis tenunan pun boleh dibilang sangat unik. Anak-anak sekolah diberi ruang belajar secara mandiri untuk memahami hal-hal demikian. Mama Eti dan beberapa penenun Flamboyan hanya mengirimkan materi melalui grup WhatsApp dan kemudian anak-anak secara aktif mempelajarinya secara mandiri.
Hebatnya, anak-anak ini kemudian datang ke tempat tenun dengan pemahaman yang baik dan benar perihal materi yang dibagikan tersebut. Mama Eti dan pendamping lainnya hanya memberikan informasi tambahan sesuai kebutuhan anak-anak tersebut. Dalam perjalanannya, sekolah tenun ini tidak memungut biaya untuk belajar. Dalam seminggu, anak-anak hanya akan didampingi selama 4 jam oleh dua instruktur yakni Mama Eti dan Mama Marta.
Obrolan saya dan Mama Eti diakhiri dengan pertanyaan saya perihal ide awal menggagas Sekolah Tenun Ikat Flamboyan, Kuneru. Dengan nada bicaranya yang tenang Mama Eti kemudian menjelaskan ide awal pendirian sekolah tenun tersebut.
“Awalnya kita sering ikut kegiatan di luar, dan kita tahu bahwa tenun ini warisan budaya. Kita sadar bahwa ini perlu diwariskan kepada anak cucu, lalu bagaimana cara mewariskannya sedangkan guru-guru di sekolah hanya [fokus] pada bidangnya masing-masing, menenun tidak ada pada program atau kurikulum sekolah.”
“Jadi ya, muncul ide bagaimana kalau kita yang bisa dan mampu [yang mengajarkannya]. Apa salahnya meluangkan waktu untuk ajarkan kepada anak-anak sendiri?” lanjutnya.
Keberadaan Sekolah Tenun Ikat Flamboyan juga mendapat dukungan positif dari masyarakat sekitar dan pemerintah. Beberapa waktu sebelumnya, Mama Eti Bisoi menerima penghargaan sebagai perempuan yang berjasa dan berprestasi di Kabupaten Belu yang diberikan pada 21 April lalu. Menurutnya, penghargaan ini tidak terlepas dari keberadaan kelompok tenun dan sekolah tenun yang mereka bentuk.
Mama Eti Bisoi juga menambahkan bahwa secara umum pelestarian tenunan di Kabupaten Belu sudah dilakukan dengan baik. Menurutnya, masyarakat sudah punya kesadaran untuk menaruh perhatian besar pada pelestarian tenun, dan semua itu perlu didukung oleh semua pihak sebagai upaya pelestarian budaya daerah maupun nasional.
Beberapa dari rombongan kami pun berkesempatan mencoba menenun dengan peralatan yang ada di sana. Annis, Prasetya, Intan, dan beberapa yang lainnya pun tampak serius mengikuti arahan Mama Eti dan Mama Marta.
Annis, salah satu rekan mahasiswa Modul Nusantara dari Jawa Barat menyampaikan kesan pribadinya setelah berkesempatan mencoba menenun.
“Senang bisa ngedengerin ilmu dari pihak pengelola tenun, sama bisa praktek juga secara langsung. Biasanya kan cuma bisa lihat lewat media aja cara menenun. Apalagi kalau ada kelas rutin buat menenun ikutan deh annis. Ya walaupun nggak ulet,” ungkap Annis.
Seiring malam yang kian menjelang, kami akhirnya pamit pulang dari Sekolah Tenun Ikat Flamboyan. Mobil melaju, dan saya mulai membayangkan betapa jauh jarak yang harus kami tempuh dari sini menuju Soe.
Kenali Indonesiamu lebih dekat melalui Instagram dan TikTok kami.
Tertarik buat berbagi cerita? Ayo kirim tulisanmu!