Dari gugus informasi yang terjalin di media massa, pribumi katanya juga turut berkecimpung dalam gegap gempita Societeit Concordia. Namun, fakta ini tak boleh berhenti di sini saja. Kira-kira awal abad ke-20, bermula atau berkisar di tahun 1980, golongan pribumi terpelajar mulai bercokol. Apabila merujuk pada data obsesi Hans Pols pada kehidupan Abdoel Rivai, seorang pribumi pada masa ini melucuti ke-pribumi-annya; berpakaian, berlagak, dan berlogat seperti orang Eropa agar bisa masuk ke lingkar kehidupan sosial Eropa.
Begitu pula dengan tokoh Siti dalam fiksi Uning Musthofiyah. Sebagai anak haram pengawas perkebunan yang tiba-tiba dapat bangku di HBS dan diundang ke pesta ultah teman sekelasnya di rumah loji, kebaya harus tanggal dari badannya. Gadis berkulit sawo matang, bermata hijau itu, pada akhirnya memakai gaun, berseragam, dan bersepatu layaknya orang Eropa.
Ini berarti menghayati riak sosial di Societeit Concordia, sama artinya dengan mengakui bahwa untuk melihat meja biliar dan bola sodok saja, seorang pribumi harus dilema dan tampak asing bahkan bagi dirinya sendiri. Di masa itu kiranya, seseorang sudah sebingung Hamlet, “To be or not to be.”
Mengubur Societeit Concordia
Bagi saya, tidak ada pemakaman paling layak dan perkabungan paling epik selain tewasnya Societeit Concordia. Betul, bangunan ini terbunuh, bukan secara metafora tapi dalam artian yang sesungguhnya. Societeit Concordia yang secara simbolik dan ikonis memisahkan kelas elite, pribumi terpelajar, dan jongos serta babu yang dilarang ke sana menjadi titik sorak masyarakat selama masa perlawanan terhadap Belanda dan Jepang, juga kemerdekaan.
Tubuh yang dulunya tak terjamah kelas bawah ini, kemudian menampung coretan-coretan pembebasan, juga harus berbedak abu dilalap api selama Malang Bumi Hangus. Bangunan ini menjadi tawanan, lalu tewas tak lama kemudian. Malang Bumi Hangus tidak menjadikan Societeit Concordia sebagai objek kemarahan saja, tetapi juga sebuah teknik gerilya ―dan yang paling penting, objek kesadaran terhadap tirani penjajahan.
Ini bukan sesuatu yang disayangkan. Meskipun kemudian bangunan ini menjadi siluman pusat perbelanjaan modern, digubah sedemikian rupa hingga ia tak lagi tampak seperti wujud aslinya. Mal Sarinah setidaknya tak hanya membuka jalan untuk kelas elite belaka. tetapi juga sebagai pusara sorai pembebasan. Sehingga, cagar budaya ini tak cukup ditandai dengan nisan sebongkah batu dan papan pemberitahuan. Tempat kejadian perkara, misalnya lokasi rapat akbar KNIP, perlu ditunjukkan.
Bukan Bintang; Binatang Asia
Lagu kebangsaan melatari kepak burung dara, “Kakak mau beli kerupuk uyel?”
Dua-tiga anak berumur kurang dari sembilan tahun menghampiri kami bersama dua kameradnya. Ikat rambutnya longsor, lingkar kerahnya molor setengah pundak, celananya kedodoran. Child labor, di jantung kota ini, di alun-alun, dianggap normal adanya. Justru kalau anak-anak ini tidak nongol secara tiba-tiba, akan terasa aneh. Tumben gak ada anak jualan ini? Tumben gak ada anak jualan itu?
Bilah hujan sebongsor kuncup sayur gambas berumur sepuluh hari mengacaukan lelap lelaki paruh baya yang bobok cantik di atas bangku taman. Menghebohkan anak-anak yang berkejaran, meriuhkan pedagang-pedagang emperan. Termasuk kami yang lari terbirit-birit mencari naungan. Hujan sengit menghunjam. Di jantung kota ini, area beratap justru sangat terbatas. Kalau bukan karena lengan bercabang pohon beringin, kami pasti sudah sekuyup tokoh-tokoh fiksi Osamu Dazai di bulan bersalju.
“Pokok-pokok beringin itu kiranya sudah ratusan tahun umurnya. Coba lihat di sini, di foto lama, pohon ringkih di foto ini sudah segini gemuknya,” Dini Rachmawati menyodorkan foto lama di unggahan Instagram pribadinya. Layar HP miliknya menadah bintik terpaan hujan.
Kami membandingkan tubuh beringin yang masih kanak dalam foto hitam putih, tegak seorang diri, lalu mengalihkan pandang pada wujud menuanya saat ini. Ada bagian di dalam kota ini, yang selalu tinggal, dan diusir pergi. Paling tidak, dari seluruh fenomena yang melatari duka Malang, bencana, kekacauan, perubahan zaman, beringin ini tetap menaungi―membersamai.
Salah satu yang pernah disaksikan beringin, merujuk pada kisah yang diusung pemandu kami, alun-alun tidak hanya menjadi tempat pribumi meloloskan diri dari kepenatan domestik, berjalan bergandengan tangan memadu kasih. Sebetulnya, perkara inilah yang melatari mengapa Malang punya dua alun-alun.
Potret Neville Keasbery yang menggambarkan beringin yang ada di Alun-alun Merdeka Malang tempo dulu via Kekunoan (foto kiri), dan beringin yang sama di masa sekarang oleh Putriyana Asmarani
Dahulu, Belanda ogah berpelesiran menikmati sore dengan pemandangan nahas pribumi. Mereka mau taman khusus untuk mereka menyorong kereta bayi, lari-lari, jalan-jalan, bersepeda, berkendara Benz. Begitulah alasannya Alun-alun Tugu berdiri, menyingkur Alun-alun Merdeka.
Tapi jangan dikira, dengan Alun-alun Tugu segalanya jadi berjarak; orang Belanda atau Eropa, tidak menapakkan kaki di area Alun-alun Merdeka. Tidak, mereka tetap mengunjungi Alun-alun Merdeka dengan alasan: menonton monyet. Ya, biasanya mereka akan melihat pemandangan sekumpulan anak bangsa, berkulit berbeda dengan mereka, berkegiatan di Alun-alun Merdeka.
Seperti mengunjungi kebun binatang.
Perkara kandang dan manusia yang dianggap binatang membuat pikiran saya melesat ke tahun 1642. Sepucuk surat cinta ditulis oleh seorang tahanan, Richard Lovelace—ia seorang sastrawan. Pada Althea, seorang yang ia cinta, ia berkata:
Stone walls do not a prison make, Nor iron bars a cage.
Alun-alun Merdeka tak berpagar jeruji, sebagaimana binatang dirintangi. Ini adalah tempat terbuka, pemandangan atas hewan liar yang menunduk pada tuan, merangkak untuk permisi. Tentu saja, mereka tidak akan menyerang apalagi menggigit.
Sore itu, angin kencang menggiring arak-arakan awan hitam menyingkir dari jantung kota ini. Hujan tandas seketika. Satu payung, kami berempat. Uap tanah melonggarkan pernapasan kami, seketika itu pula matahari sore menemukan celah untuk menyibak domba-domba langit. Ternyata dari tadi, sembari menunggu hujan, Dini Rachmawati berusaha mendapatkan kartu sakti.
“Ternyata kita boleh mengunjungi area luar Hotel Pelangi untuk saat ini,” katanya girang, lalu auranya menggelap, “tapi ada aturan yang mesti dipatuhi.”
Saya kira ini semacam aturan kunjungan, mengingat sepatu kami kuyup dan pastinya kami akan membawa kenang-kenangan jejak lumpur. Namun, “Kalau sudah sampai di area dansa, nanti saya tunjukkan di mana area itu. Kalian jangan menggumam atau menyanyi lagu Nasi Goreng.”
Nasi Goreng atau Geef Mij Maar Nasi Goreng dilagukan oleh penyanyi legendaris Wieteke van Dort.
“Memangnya kenapa, Mbak?” saya bertanya. Saya menyangka ini semacam kontestasi hak cipta.
“Karena sosok noni akan muncul dan kalian akan diajak ke alam ia berada untuk berdansa bersamanya,” ujar Dini Rachmawati serius.
Merinding. Kami mengangguk patuh.
Referensi:
Bronte, C. (1999). Villette. Wordsworth Classics.
Cervantes, M. de. (1993). Don Quixote. Wordsworth Classics.
Dahl, R.. (2006). Kiss Kiss: William and Mary. Penguin.
Haggard, H. R. (1996). King Solomon’s Mines. Puffin Classics.
Lovelace, R. (1642). To Althea, from prison. In M. H. Abrams & S. Greenblatt (Eds.), The Norton Anthology of English Literature (9th ed., Vol. 1, pp. xx-xx). W. W. Norton & Company.
Nietzsche, F. (1968). The Will to Power (Trans. Walter Kaufmann & R. J. Hollingdale.). New York: Random House.
Pols, H. (2012). Nurturing Indonesia: Medicine and decolonisation in the Dutch East Indies. Cambridge University Press.
Proust, M. (1992). In search of lost time: Volume 1: Swann’s way (C. K. Scott Moncrieff, Trans.). Vintage.
Ramadhan, F. I. (2023, 22 Oktober). Societeit Concordia, Tempat Gaul Kaum Elite Eropa di Malang. Tirto.id. https://tirto.id/societeit-concordia-tempat-gaul-kaum-elite-eropa-di-malang-deZF.
Thoreau, H. D. (2012). Walden and Civil Disobedience. Signet Classics.
Kenali Indonesiamu lebih dekat melalui Instagram dan Facebook Fanpage kami.
Tertarik buat berbagi cerita? Ayo kirim tulisanmu.
1 komentar
Tulisannya bagus banget, aku suka dengan cara Putri mengaitkannya pada kutipan-kutipan beragam karya sastra, sembari kilas balik malang tempo dulu yang bikin miris, aku jadi mengantongi rekomendasi karya sastra luar. Jadi makna apa yang didapat? Pedih