Langit yang mendung menaungi Jalan Siliwangi Kota Cirebon, Minggu (29/12/2024). Saya membuat janji dengan Dita Hudayani S.H., ingin menemui ibunya yang anggota Legiun Veteran Republik Indonesia (LVRI).
LVRI adalah organisasi resmi yang menghimpun mantan pejuang kemerdekaan. Terbentuk sejak 1 Januari 1957, merujuk kepada Keputusan Presiden (Keppres) Nomor 103 Tahun 1957 tentang Pengesahan Legiun Veteran Republik Indonesia. Kantor LVRI ada di setiap kota/kabupaten se-Indonesia. Tahun ini, LVRI memasuki umur 68 tahun.
“Boleh, Mas, mama ada,” kata Dita lewat pesan pendek, ketika saya kabari mau datang pukul 09.30 WIB.
Saya mengenal Bu Dita sejak menjadi anggota KPU Kota Cirebon dua periode (2008–2018). Berlanjut saat mengulas sejarah Perpustakaan 400 dan Ikatan Keluarga (Ikkel) 400. Ayah Bu Dita, mendiang Emon Sulaeman Reksalegora (wafat 1996) adalah eks kombatan Batalyon 400 Tentara Pelajar yang bersama rekan seperjuangannya menginisiasi pendirian Perpustakaan 400 (kini dikelola Dinas Perpustakaan dan Kearsipan Daerah Kota Cirebon).
Istri Pak Emon adalah Saomiyanah. Mereka menikah tahun 1957 lantas menempati rumah di Jalan Siliwangi nomor 79. “Saya lahir dan besar di rumah ini,” tutur Dita yang anak kedua dari tiga bersaudara. Sekarang bersama suaminya yang sudah memberi tiga anak, Dita kembali tinggal di rumah masa kecilnya dekat Stasiun Kejaksan, sambil menemani sang bunda yang pada 30 April 2025 nanti akan berusia 101 tahun.
Dita mengisahkan, sebelum zaman kemerdekaan dulu, urusan catatan kelahiran seorang anak tidak langsung diurus ke pemerintah. Ayah Saomiyanah membuat catatan pribadi tempat dan tanggal lahir si anak: Indramayu, 30 April 1924.
“Masa itu belum dikenal akta lahir. Belakangan di KTP, dituliskan mama lahir tahun 1925. Padahal kami mengacu pada catatan kakek,” terang wanita 64 tahun itu.
Sehingga pada 30 April 2024, lanjut Dita, pihak keluarga tak ragu merayakan ulang tahun ke-100 sang uyut yang telah dikaruniai tujuh cucu dan tiga cicit. “Kami undang keluarga besar, terutama keponakan mama. Karena mama itu anak kesebelas dari dua belas bersaudara, tinggal dia sendiri (yang hidup),” ucapnya berbagi kebahagiaan.


Kantor LVRI Kota Cirebon dan Sekretariat Piveri berada dalam satu kompleks di Jalan Cipto Mangunkusumo/Mochamad Rona Anggie
Fasih Berbahasa Belanda
Pertemuan saya dengan Saomiyanah kemarin merupakan kali kedua. Sebelumnya tahun 2009, kami berjumpa di Gedung Juang Moestofa Pasha (Sekretariat LVRI Kota Cirebon), Jalan Cipto Mangunkusumo.
Waktu itu Saomiyanah yang berumur 84 tahun, menjabat Ketua Perempuan Istri Veteran Republik Indonesia (Piveri). Ia bergabung dengan LVRI sejak tahun 1960. Menjadi bagian dari 57.547 orang veteran yang terdata resmi sampai dengan Desember 2023.
Menurut Saomiyanah, aktif di LVRI membuatnya bertemu lansia sesama pejuang kemerdekaan. “Kalau tidak bergaul dengan sesama veteran, mau sama siapa lagi? Saya ingin memanfaatkan umur yang ada untuk aktivitas sosial. Biar tetap semangat,” tegasnya dengan bahasa Indonesia terbata, tercampur aksen bahasa asing.
Bukan tanpa alasan pengucapan bahasa Indonesia Saomiyanah agak sengau. Sebab, ibu tiga anak itu menguasai bahasa Belanda sejak zaman penjajahan. Saomiyanah boleh berbangga, sebagai seorang inlander alias pribumi, ia mampu duduk di bangku Meer Uitgebreid Lager Onderwijs (MULO) dan Algemeene Middelbare School (AMS) di Semarang. Pendidikan setingkat SMP-SMA.
“Saya ikut tinggal bersama kakak di Semarang,” ucapnya.
Ketika tahun 1942 Jepang masuk ke Indonesia lewat Pantai Eretan Indramayu, Saomiyanah baru lulus AMS dan ingin pulang ke kampung halaman. Namun, orang tuanya melarang, khawatir gadis muda itu menjadi sasaran keganasan tentara Dai Nippon. “Kita semua tahu prajurit Jepang suka melecehkan perempuan,” ujarnya.
Tapi Saomiyanah kadung kangen teman-teman masa kecilnya, dan tentu saja sanak saudara di Indramayu. Ia bersikeras pulang dan mengalami masa pendudukan Jepang di wilayah pantai utara. “Alhamdulillah, apa yang ditakutkan ayah dan ibu tidak terjadi,” katanya.

Pengatur Logistik dalam Operasi Tempur
Sampai di Indramayu, Saomiyanah bergabung dalam Persatuan Wanita Republik Indonesia (Perwari). Ketika itu pihak Jepang coba mengambil hati rakyat Indonesia dengan ragam aktivitas kedisiplinan. Mereka memberi pelatihan baris-berbaris, yang dicanangkan sebagai latihan dasar bagi kelompok revolusioner, untuk dapat merebut kemerdekaan dari Belanda.
“Saya rutin ikut latihan baris-berbaris itu,” ujarnya.
Menjelang kemerdekaan 1945, Saomiyanah aktif di Komite Nasional Indonesia (KNI), dan mulai terlibat dalam beberapa operasi tempur. Ia dipercaya mengurus logistik milisi, menyiapkan makanan di dapur umum darurat. “Jangan membayangkan dapur lapangan itu menetap, melainkan berpindah mengikuti pergerakan pejuang di garis depan,” ucapnya.
Tibalah hari yang dinantikan semua rakyat Indonesia: Ir. Sukarno dan Drs. Mohammad Hatta mengumumkan proklamasi kemerdekaan Republik Indonesia pada 17 Agustus 1945. Saomiyanah yang kala itu berusia 21 tahun, tampil menjadi tim pengerek bendera di Alun-alun Bangodua, Indramayu.
“Hari kemerdekaan ada di bulan Ramadan. Penduduk Indramayu menyambut gembira, mengibarkan Merah Putih di mana-mana, walau tak berlangsung lama,” kenangnya.
Rentang 1945–1948, lanjut Saomiyanah, Belanda masih belum menerima kedaulatan Indonesia. Mereka melancarkan Agresi Militer I dan II. Presiden Sukarno lantas memindahkan ibu kota RI di Jakarta ke Yogyakarta. Para pejuang berangsur hijrah ke sana, sambil bertahan dari gempuran serdadu Ratu Wilhelmina.
“Pergerakan mundur itu melewati wilayah Indramayu. Kami para wanita Indonesia, berusaha ikut mendukung perjalanan jauh tersebut, karena menempuh rute Jakarta-Yogyakarta. Kami siapkan logistik makanan, termasuk memberi perlindungan bagi pejuang yang beristirahat,” tuturnya.
Dalam pertempuran di daerah Indramayu, pasukan negeri Kincir Angin tak segan menyisir rumah penduduk Bangodua. Mereka berusaha menangkap milisi. Rumah kakak Saomiyanah, tak luput dari penggerebekan. Ketika para prajurit bule bertemu Saomiyanah, mereka kaget diajak berkomunikasi dengan bahasanya.
“Pasukan Belanda merangsek ke rumah. Mereka segan begitu saya ajak bicara dalam bahasa Belanda. Saya coba mengulur waktu, memberi kesempatan para pejuang kabur lewat pintu belakang,” ungkap wanita yang doyan durian dan gedong gincu.
Dari obrolan dengan tentara Londo itu, Saomiyanah tahu jika mereka menjalankan tugas setengah hati. Menurut mereka Indonesia berhak atas kemerdekaan, karena Belanda pun pernah merasakan getirnya kehidupan saat dijajah Jerman. “Hati kecil para tentara itu sebenarnya tak ingin melanjutkan perang,” bebernya.

Kiat Hidup Umur Panjang
Kembali ke perjumpaan saya dengan Saomiyanah, 15 tahun kemudian. Dita memapah mamanya ke ruang tamu. Kami berbincang berhadapan, dipisah meja bulat yang di atasnya tersaji kue tradisional dan tiga cangkir teh tawar.
“Ayo, silakan!” kata Saomiyanah sambil menyorongkan tangan ke arah meja.
“Masih bagus bicaranya,” respons saya ketika tahu ucapan Saomiyanah jelas terdengar.
“Kalau verbal memang masih bagus, ngobrol nyambung. Tapi pendengaran dan penglihatan sudah berkurang. Kalau lihat orang, ya, samar,” tutur Dita menerangkan kondisi fisik sang bunda di usia mau 101 tahun.
Ada kiat khusus di balik umur panjang Saomiyanah. Menurut Dita, sejak muda mamanya rutin mengonsumsi sayuran dan lebih memilih lauk ikan ketimbang daging merah. “Mama suka sekali sayuran lalaban dan pepes ikan,” bebernya.
“Apa ada makanan yang dipantang?” saya penasaran.
“Makan normal pakai nasi. Kadang minta sate kambing, tapi ya diemut saja,” katanya menjelaskan kemampuan mengunyah Saomiyanah sudah tak ada, karena sekarang memakai gigi imitasi.
“Nah, kalau durian, betulan dimakan. Masih doyan,” tambah Dita seraya menyebutkan—oleh cucu dan cicitnya—Saomiyanah biasa dipanggil Yuti.
“Maksudnya uyut putri,” sela Saomiyanah. Saya tersenyum dan takjub, karena di usia 100 tahun, sang uyut masih bisa diajak bincang santai.
Hampir setiap hari, lanjut Dita, ia mengajak mamanya jalan-jalan pakai mobil. Terakhir ke luar kota, ke Bandung, menjajal tol Cisumdawu yang menghemat waktu hanya dua jam saja sampai Kota Kembang. “Ya, sekadar cari makan,” ucapnya.
Pernah pula Saomiyanah ke Jakarta, tahun 2022, menghadiri acara peluncuran buku Palagan Cirebon di Gedung Joang 45. Buku ini mengisahkan perjuangan Tentara Pelajar Batalyon 400 di medan laga wilayah Kuningan dan Cirebon. Di halaman 220 terselip kisah suaminya yang tertangkap tentara Belanda, karena menjadi kurir surat-surat milik pejuang. Pak Emon kemudian dijebloskan ke penjara Kebonwaru, Bandung.
“Baru-baru ini kita juga ke pantai, ya?” kata Dita sambil menoleh ke mamanya.
“Iya, ke Ancol,” jawab Saomiyanah semringah.



Dari kiri ke kanan, searah jarum jam: Saomiyanah pelesir ke Pantai Ancol (2024). Saomiyanah menghadiri acara syukuran ulang tahunnya ke-99 di salah satu hotel (2023). Anak, cucu, dan cicit Saomiyanah berkumpul merayakan ulang tahun oma mereka yang tepat menginjak usia 100 tahun (2024)/Dokumentasi Dita Hudayani
Dita juga kerap membawa mamanya ke Panti Budhi Asih dan Sekolah Luar Biasa (SLB) Pancaran Kasih di Jalan Wahidin. Hanya sepuluh menit berkendara dari kediaman mereka. Keduanya kompak ingin membaktikan sisa umur untuk aktivitas kemanusiaan. Budhi Asih menampung anak-anak yatim dan tak mampu. Sementara SLB Pancaran Kasih tempat belajar siswa tunarungu dan yang mengalami keterbatasan intelektual.
Dita meyakini jika mamanya rutin berinteraksi dengan orang lain, akan membuat hati dan pikirannya lebih segar. Tidak akan merasa jenuh atau bosan. “Apalagi kalau ketemu kenalan lama, wah sudah kelihatan gembira sekali,” tutur nenek tiga cucu itu. Selain itu, sambung Dita, Saomiyanah berusaha menjalani kehidupan dengan rileks. Tidak ingin banyak pikiran. Tak ingin pusing apa kata orang. “Istilahnya selalu positive thinking. Mama selalu berprasangka baik pada orang lain,” tuturnya.
Sejauh ini, sambung Dita, terlihat mamanya menjalani ritme kehidupan dengan tenang. Tidak pernah mengalami gejolak berarti. Aktivitas di LVRI dan lembaga sosial, membuatnya merasa kuat ingin selalu berbagi dengan yang membutuhkan. “Kita tahu umur segitu anugerah dari Allah azza wa jalla, saya ingin mendampingi mama sampai akhir hayat,” ucap Dita mengakhiri pertemuan.
Kenali Indonesiamu lebih dekat melalui Instagram dan Facebook Fanpage kami.
Tertarik buat berbagi cerita? Ayo kirim tulisanmu.