TRAVELOG

Sabtu yang Menyenangkan di Panti Wreda Bandung

Aku selalu percaya bahwa satu pertemuan yang baik akan membawa pada pertemuan-pertemuan lain setelahnya. Sama seperti hari itu, pada suatu Sabtu di akhir Juni. Berkat ajakan Kak Cici, seorang yang kukenal dari salah satu komunitas tentang kesehatan mental di Bandung, ia mempertemukanku dengan komunitas Dr. Longbook, komunitas yang rutin membacakan cerita di beberapa panti wreda di Kota Bandung. 

Kala itu, aku berkesempatan menjadi relawan pada kegiatan yang cukup unik: mendengar para nenek bercerita, lalu menceritakan kembali. Temanya cukup mengharukan: pesan para orang tua untuk generasi selanjutnya. 

Aku berangkat dari Jatinangor menuju Panti Sosial Tresna Wredha Budi Pertiwi yang terletak di Jl. Sancang No. 2, Burangrang, Kota Bandung pukul setengah delapan pagi, berhubung acara akan berlangsung pada jam sembilan. Perjalananku cukup menyenangkan. Sepanjang jalan bebas hambatan, kemacetan kronis sepanjang Cileunyi–Cibiru pun nihil pagi ini. Matahari pagi tidak begitu menyengat, udara Bandung masih sangat segar dan dingin, sebuah pagi yang sempurna. Aku menempuh perjalanan selama setengah jam, hingga akhirnya sampai di halaman depan panti ini.

Sabtu yang Menyenangkan di Panti Wreda Bandung
Briefing dari Pak Indra soal kegiatan Dr. Longbook/Nawa Jamil

Panti Wreda di Bandung

Beberapa nenek tampak berjemur ditemani perawat berpakaian serba putih. Salah satu perawat perempuan mengarahkanku ke area parkir berkanopi di bagian kanan bangunan.

“Kakak yang dari komunitas baca itu, ya?” tanyanya.

“Iya, kak. Parkirnya di mana, ya?”

Ia lalu menunjuk satu area di sebelah kanan, melewati area tempat beberapa mobil terparkir. “Di sana, ya, Kak.”

Setelah memarkirkan motorku, perawat itu lalu mempersilakanku menunggu di area dalam, di area aula panti. Kami masuk lewat pintu samping, area parkir dalam, lalu memasuki bagian luar aula. Bentuk panti ini cukup unik, dengan aula dan surau kecil di tengah-tengah, sementara bagian lain seperti kantor dan kamar-kamar lansia mengelilingi area tengah.

Aku menjadi salah satu relawan tercepat pagi itu, berhubung acara memang baru akan dimulai satu jam lagi. Tidak beberapa lama setelah duduk, seorang nenek yang lebih senang dipanggil ‘eyang’ menghampiriku dan dua relawan lain. Kami menyalami tangannya. Ia duduk dan mulai bercerita banyak hal dengan senang. 

Lansia adalah orang-orang yang selalu senang bercerita tanpa diminta, tentu saja tidak dalam artian yang buruk. Saat Eyang sedang asyik menceritakan banyak hal, Pak Indra selaku koordinator kegiatan ini pun menghampiri kami. Tampaknya ia baru selesai mencetak beberapa keperluan hari ini. Tidak sampai setengah jam, aula sudah dipenuhi oleh relawan, mahasiswa perawat yang ikut pada kegiatan ini, serta nenek-nenek yang tinggal di panti.

Sabtu yang Menyenangkan di Panti Wreda Bandung
Foto bersama Nenek Hani/Nawa Jamil

Mendengarkan Cerita Para Lansia lalu Menceritakan Kembali 

Acara pun dimulai dengan briefing singkat dari Pak Indra. Pada intinya, kegiatan kami hari ini adalah mendengarkan cerita tentang perilaku baik dan perilaku buruk, serta pesan untuk generasi hari ini. Masing-masing relawan akan berpasangan dengan satu orang nenek, lalu perawat akan mengisi di antaranya.

Sesi pertama berlangsung selama setengah jam. Relawan akan mendengar kisah nenek pasangannya, sembari menanyakan beberapa poin pertanyaan yang telah diarahkan sebelum sesi ini berlangsung. Setelahnya, akan ada sesi khusus untuk para relawan. Pada sesi ini relawan akan merangkum kisah dari nenek, menulisnya secara singkat, hingga menjadi satu cerita menarik untuk dibacakan nanti.

Sesi terakhir adalah menceritakan kembali. Pada sesi ini, masing-masing relawan dan nenek penceritanya akan maju ke depan aula, lalu menuturkan cerita yang telah ditulis berdasarkan sesi pertama tadi. 

Aku memilih menjadi pencerita kedua setelah Kak Cici yang kebetulan setim dengan Eyang. Aku bersama Nenek Hani. Tepatnya, aku memilihnya dengan cepat dan tegas sewaktu Pak Indra mempersilakan relawan untuk mendatangi nenek yang kami pilih sebagai pasangan pencerita kami. Nenek Hani duduk paling belakang. Di samping tempat duduknya ada tongkat kayu cokelat dengan pegangan karet hitam dan kaki-kaki berjumlah empat yang kokoh dan seimbang. Aku menyalami tangannya lalu kami pun mulai berkenalan. 

Nenek Hani asli Solo, dan telah tinggal di Bandung selama puluhan tahun. Melihatnya seperti melihat diriku di masa depan. Sepertinya, Sabtu ini semesta ingin memberiku satu kejutan manis dengan memperkenalkan Nenek Hani. Kami memiliki kesamaan dalam banyak hal. Ia mempelajari keilmuan fisioterapi sama sepertiku sewaktu beliau muda, menjadi perantau di Bandung. Dan yang tak kalah uniknya, ia menyukai aktivitas luar ruangan sama sepertiku. 

“Ingat, Nak. Selagi kamu muda, tuntutlah ilmu. Orang-orang berilmu akan selalu Allah SWT mudahkan jalannya di kehidupan ini. Apa pun soal dunia pasti akan mengikut ketika kita mengejar Ilmu. Kalau bisa, masih muda, segerakan pendidikan yang lebih tinggi dari sekarang.”

Sesi ketiga, berbagi cerita dengan Nenek Hani (kiri) dan buku TTS yang diisi Nenek Hani/Nawa Jamil

Cerita Panjang dan Album Foto di Kamar Nenek 

Pagi itu kami bercerita dengan hangat. Kulihat sorot mata Nenek Hani yang cemerlang, keriput-keriput pada wajahnya juga tertarik kencang. Setelah sesi pertama berakhir, kami memanfaatkan sesi kedua untuk berbincang lebih lama bersama. Aku menyenangi percakapan kami berdua, seperti nenek dan cucu yang tengah bertukar kabar.

Setelah naik dan bercerita kepada seluruh peserta kegiatan, kami pun turun diiringi tepuk tangan orang-orang. Kami kembali ke tempat duduk, dan Nenek Hani mulai mengenalkanku dengan hal-hal yang disukainya. Nenek memperlihatkan rajutannya yang masih berjalan. Ia juga memperlihatkan teka-teki silang (TTS) yang ia isi, lalu kami mengisi TTS bersama sampai sejam lebih. 

Kegiatan ini berakhir tepat pada pukul 12 siang. Sebelum meninggalkan panti, Nenek Hani mengajakku melihat kamarnya. Aku pun ditemani Kak Cici dan Syifa setuju. Aku berjalan bersama nenek, menuju kamarnya yang terletak paling ujung sebelah kiri dari aula.

Sabtu yang Menyenangkan di Panti Wreda Bandung
Foto bersama di akhir kegiatan/Nawa Jamil

Sepanjang lorong-lorong panti yang kami lewati, aku terkejut akan kebersihan dan kenyamanan panti ini. Panti ini sangat bersih dan tertata. Setiap kamar memiliki taman dengan banyak tumbuhan hijau. Udara pun sangat sejuk dan banyak bukaan di berbagai sisi sehingga jauh dari kondisi pengap dan lembap. 

Di kamarnya, Nenek Hani memperlihatkan dua album foto. Di dalamnya, ada ratusan foto-foto nenek dengan berbagai orang yang ia temui di panti ini. Nenek menyebutnya ‘geng nenek hani’, mulai dari mahasiswa magang, mahasiswa yang melakukan penelitian, anak-anak relawan berbagai komunitas, dan banyak lainnya. Aku senang nenek melakukan banyak hal yang ia senangi di waktu senjanya. Ia punya banyak bahan baku manik-manik, punya banyak bahan baku benang wol untuk rajutannya, punya banyak hasil karya, dan lainnya.

Aku tidak begitu lama di kamar nenek. Setelah bercengkerama dan berbincang hangat, kami bertiga pun pamit pulang. Aku sangat senang karena nenek memberiku gelang buatan tangannya sendiri. Sebuah gelang dari manik-manik putih beraksen pink yang dirangkai membentuk bunga-bunga berantai. 

Di jalan pulang, aku tidak henti-hentinya bersyukur akan kebaikan-kebaikan kecil yang Allah sisipkan dalam hidupku. Pun Bandung yang menjadi kota perantauan dengan banyak keberkahan dan orang-orang baik. Perjalanan yang singkat, tetapi bermakna. Datang untuk suatu cerita dan pulang dengan hati yang penuh cinta. 


Kenali Indonesiamu lebih dekat melalui Instagram dan Facebook Fanpage kami.
Tertarik buat berbagi cerita? Ayo kirim tulisanmu.

Nawa Jamil

Menumbuhkan sayur di halaman rumah dan menulis sebagai Nawa Jamil.

    Tinggalkan Balasan

    Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

    Worth reading...
    Menelusuri Jejak Bosscha di Bandung