Satu bulan lalu, sekitar 25 April 2023, saya melakukan perjalanan ke Wonosobo, Jawa Tengah. Saya menjumpai langsung kesenian rakyat di kabupaten berhawa dingin itu, yaitu lengger topeng. Pergelaran seni tersebut merupakan salah satu bentuk ekspresi masyarakat pinggiran yang jauh dari imperium seni berada. Akan tetapi, denyut keberadaannya masih berlangsung hingga kini sebagai tradisi lisan penduduk sekitar yang masih terawat.
Perjalanan ini saya mulai dari Yogyakarta yang ternyata memakan waktu lebih dari tiga jam. Penyebabnya adalah macet arus mudik yang tak berkesudahan. Saya harus sering berhenti untuk beristirahat atau sekadar mencari kudapan di pinggir jalan.
Saya menemui tujuan saya di salah satu sanggar seni di daerah Singkir, Jaraksari. Tak jauh dari alun-alun kota. Seorang pemuda setempat—yang enggan menyebutkan namanya—menjelaskan bahwa setelah sempat rehat selama bulan Ramadan, mereka memutuskan untuk menggelar lengger topeng. Tujuannya guna memeriahkan agenda halalbihalal setelah lebaran usai.
Guyub dalam Seni
Galih Heru, dalam hasil riset tugas akhir strata S-1 berjudul “Lengger Wonosobo: Sakral dan Profan”, menjelaskan bahwa lengger topeng merupakan salah satu bagian dari ekspresi keseharian masyarakat Wonosobo yang masih dikomunikasikan hingga hari ini.
Awal kehadirannya sendiri menjadi sulit untuk ditelusuri secara pasti. Namun, menurut tradisi tutur yang beredar, Sunan Kalijaga pernah menggunakan lengger topeng sebagai sarana dakwah. Salah satu anggota walisongo itu mulanya mendapati kemasan kesenian tersebut dengan cara memancing syahwat penonton.
Lokasi pertunjukan seni lengger topeng berada tepat di tengah lapangan yang dekat dengan serambi Masjid Baiturochman. Jadwal pagelaran tersebut adalah tepat ketika berakhirnya waktu Isya. Tandanya adalah meningkatnya volume suara sound speaker berkali-kali lipat.
Tabuhan bendhe dan riak gemuruh dari para niyaga membentuk langgam takbiran. Langgam tersebut mengaung di sepanjang jalan menuju pusat pagelaran. Mungkin juga berfungsi sebagai alat navigasi atau pemantik bagi masyarakat agar membaur untuk menyaksikan tontonan rakyat itu.
Jelang mulai, antusias para warga terhadap lengger menarik perhatian saya untuk hadir menjadi bagian dari pertunjukan. Berbagai lapis kelas berkumpul dalam satu ruang, menjalin ritme paguyuban mereka satu sama lain. Fenomena yang mungkin tak pernah saya jumpai di ruang pertunjukan urban.
Pertunjukan yang Menembus Dimensi
Langgam Sulasih memulai pagelaran, bersamaan dengan masuknya para lengger dan butho yang membawakan sesaji ritual kepada leluhur. Langgam Sulasih kerap menjadi pembuka pertunjukan, karena dianggap cukup mampu menghubungkan batas dimensi antara alam dengan manusia. Bisa juga sebagai permintaan berkat kepada para leluhur agar pergelaran dapat berjalan lancar sampai akhir.
Setelah bagian ritual selesai, para penari lengger bergiliran keluar-masuk sesuai dengan langgam yang akan niyaga bawakan. Di tepi panggung, terdapat sebuah meja yang berisikan deretan topeng di dalamnya. Seorang pawang menjaga dan meruwat meja tersebut. Adapun topeng tersebut berfungsi sebagai medium peralihan. Masing-masing lengger akan menggunakan topeng yang berbeda dan pawanglah yang menentukan, sesuai dengan langgam yang dibawakan.
Sebagaimana ketika para niyaga membawa langgam Gondang Keli, seorang lengger lanang (pemeran bisa pria maupun perempuan) dari belakang panggung akan masuk menghampiri ruang pertunjukan. Masuknya lengger lanang mendapat sambutan antusias oleh seorang lengger perempuan, yang sedari awal sampai akhir pertunjukan akan terus berada di atas panggung. Sedangkan sang pawang sendiri akan memilah dan mempersiapkan topeng yang sesuai, kemudian melapisinya dengan jubah hitam.
Ketika lengger lanang berhasil melebur dengan dimensi pertunjukan, maka ia akan menepi sejenak ke sisi panggung sambil menenggak satu gelas air. Lantas sang pawang akan mengenakan topeng berlapis jubah hitam. Topeng tersebut dapat memberikan kejutan, baik kepada penonton maupun lengger lanang sebelumnya, yang tidak mengetahui topeng yang akan atau sedang dibawakan.
Setelah lengger lanang menggunakan topeng, maka ia akan kembali memasuki ruang pertunjukan. Pada bagian inilah, topeng tersebut memancarkan impuls artistiknya. Topeng sebagai material artistik melebur dengan dimensi tubuh sang lengger. Seolah topeng dan tubuh sang penari telah menjadi satu kesatuan, yang membentuk ritme pertunjukan dan langgam yang sedang mereka bawakan.
Falsafah Lengger Topeng Wonosobo
Momen menarik adalah ketika pertunjukan telah memasuki berbagai lapis peralihan. Saat itu seorang lengger lanang enggan untuk menghentikan pertunjukannya. Meskipun pasangannya telah minggir ke tepi panggung, tetapi lengger lanang masih saja terus menari. Bahkan ketika sang pawang memaksa untuk melepaskan topeng dari tubuh sang lengger, sang lengger masih saja menari dan menolak untuk berhenti.
Uul, salah satu penggiat lengger di Sruni menjelaskan bahwa adegan tersebut terkenal dengan sebutan “topeng wegah ucul”. Fenomena ini muncul ketika sang penari tidak memiliki daya untuk melepaskan topeng yang ia kenakan. Kondisi saat sang penari tidak memiliki kendali atas tubuhnya sendiri, atau ketika sang penari sudah benar-benar memasuki dimensi sakral dari pertunjukan, sehingga ia mesti terus menari meskipun langgam sudah mencapai titik kulminasinya.
Maka fungsi dari pawang topeng adalah membebaskan tubuh sang penari dari dimensi sakral yang mengendalikan tubuhnya. Sang pawang akan bernegosiasi atau terlibat dalam aksi teatrikal dengan memecut sang penari, guna mengembalikan kesadarannya atas tubuhnya sendiri.
Sejauh pengalaman saya menjadi bagian dari pagelaran tersebut, apa pun yang menjadi material, musik, dan penari, yang hanya sebatas unsur dalam pertunjukan modern, tampaknya tidak berlaku bagi kesenian rakyat, seperti lengger topeng Wonosobo.
Lengger topeng Wonosobo memungkinkan bagi setiap unsur dalam pertunjukan menjadi satu kesatuan yang tidak bisa terpisah. Bahkan upaya peleburan tidak berhenti pada unsur-unsur yang digunakan. Sebagaimana manusia dan alam yang hubungannya saling beririsan, maka kehadiran pagelaran tersebut adalah bentuk syukur dari para penggiatnya untuk terus senantiasa menjalin hubungan dengan alam di sekitarnya.
Kenali Indonesiamu lebih dekat melalui Instagram dan Facebook Fanpage kami.
Tertarik buat berbagi cerita? Ayo kirim tulisanmu.
Kerap dipanggil sebagai Suden, kini tinggal di Yoyakarta dan sedang menempuh pendidikan panjangnya di menfess Twitter.