Subuh datang perlahan, tanpa suara. Langit juga masih tampak berwarna abu-abu lembut ketika kami melangkah menuju pesisir. Embun menempel di rumput, dan udara asin dari laut menyusup ke kulit dengan lembut. Dari kejauhan, sudah tampak warga berjalan pelan membawa perlengkapan adat daun kelapa muda yang dianyam, kendi berisi air laut, dan tali serat alami.
Terlihat di tepi pantai, kewang (tetua adat) yang menjaga hukum laut berdiri tegak di antara masyarakat. Pakaiannya sederhana, tapi wajahnya memancarkan kewibawaan yang tenang. Dari sampingnya, beberapa tokoh adat menjadi simbol dari laut yang akan “dibuka”.
Suasana begitu hening. Tak ada suara selain desiran angin dan debur ombak kecil yang menyentuh pasir. Kami berdiri bersama warga, menyaksikan ketika kewang mulai membaca doa dalam bahasa adat. Setiap kata meluncur pelan, seolah sedang berbicara langsung dengan laut.
Ketika doa usai, kewang menunduk, mengambil kendi berisi air laut, lalu perlahan mengucurkannya ke pasir. Gerakannya tenang, tapi penuh makna. Air asin itu meresap ke tanah, menjadi simbol bahwa laut kini telah diizinkan kembali untuk berbagi hasilnya.
Tiba-tiba, suara sorak pelan terdengar. Beberapa warga menepuk tangan, ada pula yang menitikkan air mata. Bagi mereka, momen ini bukan sekadar ritual adat, melainkan tanda bahwa kehidupan akan kembali bergerak. “Laut sudah terbuka,” bisik seorang mama di sampingku, sambil tersenyum kecil.
Nelayan mulai menurunkan perahu ke air. Beberapa lelaki muda membawa tali panjang yang digulung rapi, sementara anak-anak berlari menyusuri pantai, tertawa di bawah sinar matahari yang mulai muncul dari balik pepohonan kelapa. Hari itu, laut seperti ikut tersenyum menyambut kedatangan kami


Laut Mengajarkan Kebersamaan lewat Hela Tali
Kegiatan yang ditunggu sedari malam pun dimulai. Hela tali, begitu warga menyebutnya sebuah tradisi gotong royong menangkap ikan setelah sasi laut dibuka. Ini bukan hanya kegiatan ekonomi, melainkan juga perayaan atas kesabaran.
Kami ikut bergabung bersama puluhan warga di pesisir. Tali besar sepanjang hampir seratus meter dibentangkan membentuk setengah lingkaran di laut dangkal. Setiap orang memegang bagian tali, berdiri berjejer dari ujung ke ujung. Ketika kewang memberi aba-aba, suara seruan serempak menggema.
Langkah kami menapak di pasir basah. Tali ditarik perlahan, menutup lingkaran yang sudah dibuat di laut. Di tengahnya, air beriak, ikan-ikan berputar mencari jalan keluar. Suara tawa dan teriakan menyatu dengan debur ombak, membentuk irama alami yang tak bisa diciptakan di tempat lain.
Saya ikut menarik tali bersama seorang bapak tua dan anak remajanya. Telapak tangan terasa kasar oleh serat tali, tapi di dada ada perasaan hangat seperti sedang ikut menjaga sesuatu yang besar. Tali menegang, air laut terciprat ke wajah, dan di kejauhan, kilatan perak mulai tampak di antara jaring.
Ketika tarikan terakhir selesai, teriakan kegembiraan pecah. Jaring terbuka, memperlihatkan ikan-ikan yang berkilau di bawah cahaya matahari. Ada baronang, kakap kuning, dan kerapu macan.

“Rezeki laut sudah datang,” kata seorang nelayan dengan napas tersengal. Kami semua tertawa, letih bercampur bahagia. Laut benar-benar memberi, tapi hanya setelah manusia mau menunggu.
Setelah ikan dikumpulkan di atas hamparan daun kelapa, kewang dan para tetua kembali memimpin prosesi pembagian hasil. Tidak ada hitung-hitungan rumit, tidak ada perebutan. Semua dilakukan dengan kesepakatan dan kepercayaan. Sebagian hasil tangkapan akan dijual untuk kebutuhan ekonomi desa, tetapi sebagian besar dibagi rata kepada masyarakat yang ikut hela tali hari itu.
Wajah-wajah lelah berubah menjadi senyum lebar ketika ember dan wadah mereka terisi. Dari sini, keadilan bukan ditulis di atas kertas, melainkan dipraktikkan di pasir dan air asin.
Salah satu warga berkata pelan, “Kalau rezeki laut dibagi bersama, tidak akan pernah habis.” Kalimat itu sederhana, tapi seperti doa yang terus bergema di kepala.


Warga memamerkan ikan hasil tangkapan saat hela tali (kiri) dan aneka ikan yang dipanen seperti Ikan baronang, kerapu, dan ikan-ikan lainnya hasil hela tali/Adipatra Kenaro Wicaksana
Api, Ikan, dan Persaudaraan
Sore menjelang malam, pesisir Telalora berubah menjadi ruang perayaan sederhana. Api unggun dinyalakan di beberapa titik, asap ikan bakar mulai naik ke udara, bercampur dengan aroma arang dan garam laut. Hasil tangkapan hari it—baronang, kakap kuning, dan kerapu macan—diletakkan di atas daun kelapa yang disusun memanjang di pasir.
Para ibu membersihkan sisik ikan dengan gerakan cepat dan terampil, sementara para lelaki menyiapkan bambu panjang untuk memanggang. Anak-anak duduk melingkar, menunggu giliran untuk meniup api kecil dengan potongan kardus.
Kami duduk di antara warga, ikut menikmati suasana yang terasa lebih seperti pesta keluarga daripada acara adat. Langit di atas perlahan memerah, memantulkan warna api yang menari di wajah orang-orang.
Dari sebelah saya, seorang bapak tua bernama Lauru menyalakan rokok lintingannya. Kulitnya keriput, tapi matanya masih tajam. Ia menatap bara ikan yang mulai gosong di pinggir.
“Begini, Nak,” katanya pelan, “orang luar sering lihat hela tali cuma sebagai cara menangkap ikan. Padahal, bagi kami, itu cara menjaga hubungan antara manusia dan laut.”
Saya pun langsung menoleh, mendengarkan dengan saksama.

“Saat menarik tali itu, kami belajar hal penting: kalau tidak serempak, tali bisa putus. Kalau tidak sabar, ikan bisa lolos. Jadi, hela tali itu bukan tentang siapa paling kuat, tapi siapa yang mau berjalan bersama,” lanjutnya sambil tersenyum kecil. Beberapa orang yang mendengar mengangguk.
“Kalau satu orang berhenti menarik, semua bisa jatuh. Itu sebabnya kami diajarkan sejak kecil, jangan lepaskan tali sebelum semua selesai.”
Saya pun sontak merasakan makna yang dalam. Hela tali bukan hanya kerja fisik, melainkan latihan kesadaran sosial tentang kebersamaan, kesetaraan, dan tanggung jawab.
“Kami percaya,” lanjut Lauru lagi setelah tawa reda, “setiap tarikan tali itu doa. Kami memohon supaya laut tetap berkenan memberi, dan kami tidak lupa untuk berbagi.”
Ia berhenti sejenak, mengembuskan asap rokok ke udara.
“Laut ini seperti manusia juga. Kalau terus diambil tanpa diberi waktu istirahat, dia bisa marah. Tapi kalau kita sabar, laut akan balas dengan rezeki yang baik.”
Kalimat itu membuat suasana mendadak hening. Hanya bunyi kayu terbakar yang terdengar, diselingi desir angin yang membawa aroma ikan panggang.
“Dan malam seperti ini, ketika semua orang makan bersama, rasanya seperti laut juga ikut duduk di tengah-tengah kita.”
Tak lama kemudian, ikan matang disajikan di atas daun pisang panjang. Para ibu menuangkan sambal dan perasan jeruk nipis di atasnya, aroma pedas dan segar langsung menyergap hidung. Semua orang mengambil bagian masing-masing, tak ada piring, tak ada sendok hanya tangan dan tawa.
Saya duduk bersila di pasir, menikmati potongan ikan baronang yang dagingnya lembut. Di sekeliling saya, obrolan ringan bergulir tentang cuaca, tentang musim ikan, tentang anak-anak yang kelak akan mewarisi laut ini.

Pelajaran yang Dibawa Pulang
Langit kini benar-benar gelap. Hanya api unggun yang tersisa, memantulkan cahaya jingga di wajah-wajah yang mulai lelah tapi bahagia.
Dan mungkin benar seperti yang pernah ditulis Pramoedya Ananta Toer, bahwa laut bukan hanya batas, melainkan juga pengingat. Bahwa dari lautlah manusia memulai segala sesuatu, dan ke laut pula semuanya akan kembali.
Saya memejamkan mata, mendengarkan arus yang datang dan pergi. Di dalamnya, ada gema yang terasa sangat tua, seolah berasal dari masa ketika manusia pertama kali mengenal kata pulang.
“Laut menyimpan segala yang tak sempat dikatakan manusia tentang kekuasaan yang datang dan pergi, tentang kapal yang karam dan doa yang tak pernah sampai. Dan di antara pasang surutnya, manusia belajar: bahwa yang berani berlayar tak selalu harus sampai, asal tahu ke mana harus kembali.”
Malam itu, di Telalora, saya tahu perjalanan ini bukan sekadar melihat laut yang dibuka, tetapi menyaksikan bagaimana manusia belajar hidup dari laut tentang menunggu, berbagi, dan menjaga. Dan seperti arus yang selalu kembali ke pantai, saya tahu bahwa kisah ini pun akan selalu mencari jalannya pulang.
Referensi:
- Estradivari. (2015). Menguak potensi ekologi, sosial, dan perikanan maluku barat daya: Sebuah temuan awal. Jakarta: Marine Conservation Science Coordinator-WWF Indonesia.
- Kennedy, P. S., Nomleni, A., & Lina, S. (2019). Peranan Budaya Adat Sasi dalam Pengelolaan Sumber Daya Laut Berkelanjutan di Wilayah Perbatasan Maluku Barat Daya Suatu Kajian Kualitatif, Prosiding Seminar & Lokakarya Kualitatif Indonesia, 103-114. DOI: https://doi.org/10.33510/slki.2019.103-114.
- Matrutty, D. P. (2015). Value system of pasi as a type of community based management of fisheries resources in Lease Islands, Maluku, Indonesia, Aquaculture, Aquarium, Conservation & Legislation International Journal of the Bioflux Society, 2015, Volume 8, Issue 3, 342-352. https://bioflux.com.ro/docs/2015.342-351.pdf.
Kenali Indonesiamu lebih dekat melalui Instagram dan Facebook Fanpage kami.
Tertarik buat berbagi cerita? Ayo kirim tulisanmu.
Lulusan S1 Kesehatan Masyarakat dengan Ilmu Terapan Kesehatan Lingkungan, Sesekali menjaga lingkungan agar tetap sehat, sambil mencoba untuk tetap ingat kapan terakhir kali menyiram tanaman di rumah.


