Belakangan sektor pariwisata di Malang Raya semakin menggeliat dan mengundang orang untuk berkunjung. Seperti yang sedang tren di media sosial, terutama Tiktok, yaitu Puncak Budug Asu. Bukit kecil ini berada di Toyomarto, Singosari, Kabupaten Malang, termasuk dalam area Perhutani KPH Malang. Lokasinya yang tidak jauh dari pusat Kota Malang, hanya sekitar 30 menit dengan sepeda motor, sehingga cocok sekali bagi yang suka wisata alam, terutama hiking.
Sabtu (22/2/2025), saya berkesempatan untuk menjajal trek pendakian menuju puncak yang berada di kaki Gunung Arjuno itu. Saya berangkat seorang diri alias solo hiking. Pikir saya, akhir pekan pasti ramai sehingga bukan masalah jika harus berangkat sendirian. Apalagi pendakian tektok alias pendakian pulang pergi (PP) tanpa menginap sedang tren di kalangan anak-anak muda atau Gen-Z. Terutama bagi pendaki-pendaki FOMO (Fear of Missing Out)—istilah untuk orang-orang yang tidak ingin ketinggalan tren kekinian—yang pasti banyak ditemui di sepanjang rute nantinya.
Puncak Budug Asu memiliki ketinggian 1.422 meter di atas permukaan laut (mdpl). Elevasi dari parkir motor hingga puncak hanya 414 meter, cukup dengan dua jam perjalanan PP. Cocok buat yang hobi pendakian tektok atau trail run.
Saya berangkat dari Surabaya pukul 07.15 dan tiba di basecamp Puncak Budug Asu via Balai Besar Inseminasi Buatan (BBIB) Singosari tepat pukul 09.00. Jarak antara gerbang masuk BBIB hingga parkir motor kurang lebih 1,5 kilometer. Saya sarankan menggunakan sepeda motor saja, terutama motor trail, karena jalannya sangat tidak ramah untuk motor matic dan mobil.


Kiri: Kondisi jalan dari gerbang masuk BBIB menuju pos masuk Puncak Budug Asu. Kanan: Jalan menuju pos registrasi pendakian Puncak Budug Sewu untuk membeli tiket masuk sebesar Rp10.000 per orang dan parkir motor Rp5.000/Dodik Suprayogi.
Melewati Kawasan Hutan Pinus dan Kebun Kopi
Sebelum melanjutkan perjalanan yang sesungguhnya, saya tidak henti-hentinya berdoa kepada Tuhan agar diberi keselamatan dan kelancaran, apalagi saya solo hiking. Saya mulai melangkahkan kaki pukul 09.25 dari tempat parkir motor.
Belum sempat observasi mengenai jalur dan waktu tempuh pendakian Puncak Budug Asu, saya sedikit mengobrol dan bertanya pada juru parkir, agar mempunyai bayangan mengenai trek Budug Asu. “Kalau lari 15–30 menit saja bisa sampai puncak, kalau jalannya kayak keong, ya, bisa dua jam, Mas,” kata Pak Kir.
Menurut saya, trek pendakian ke Puncak Budug Asu tidak begitu ekstrem. Dari aplikasi Strava saya memantau dua kilometer perjalanan sejak parkir motor, jalan masih cenderung landai, kanan-kiri perkebunan kopi dan hutan pinus yang rindang. Di sini banyak pendaki yang membuat konten video atau sekadar foto-foto. Terutama pengunjung muda-mudi yang terlihat menikmati sekali mengabadikan momen mereka di hutan pinus bersama kawan-kawannya.
Saya mendekat dan menyempatkan diri untuk bertegur sapa. “Rombongan dari mana, Mas, Mbak? Mau saya fotokan?”
Sebagai pendaki solo, ini adalah salah satu cara saya agar tidak bosan di jalan, sekaligus menambah jaringan pertemanan. Saya pun tak ketinggalan untuk mendokumentasikan hutan pinus yang rindang dengan pohon-pohon kopi di bawahnya, menggunakan tripod yang saya bawa dari rumah.
Tanjakan Curam dan Tali Tambang yang Tajam
Saya melewati sebuah pos yang awalnya loket tiket masuk, tetapi kini berfungsi sebagai lokasi mendirikan tenda bagi yang ingin bermalam. Selanjutnya saya disuguhkan trek yang bikin ngos-ngosan, padahal hanya setengah kilometer saja.
Terdapat seutas tali tambang sebagai alat bantu melewati jalur yang menanjak. Dari pemantauan alat navigasi saya, kemiringan jalur mencapai 60 derajat sehingga bisa dikatakan cukup ekstrem. Tidak ada sedikit pun jalan yang landai di sini. Dari pos tiket sampai puncak sepenuhnya menanjak, sungguh membutuhkan energi yang ekstra. Banyak pengunjung yang balik badan dan tidak melanjutkan hingga ke puncak. Sebab, treknya memang sangat tidak ramah untuk jantung dan akan licin jika sehabis hujan.
Maka perlu fisik yang prima di sini. Kalau tidak fokus dan kuat, akan berbahaya buat pendaki itu sendiri bahkan bisa saja jatuh menggelinding hingga cedera fatal. Meskipun demikian, trek ke Puncak Budug Asu bisa dikatakan masih cocok buat pendaki pemula atau tempat diklat pencinta alam yang murah sekaligus untuk senam jantung.
Ada satu hal yang tidak boleh dilupakan jika mendaki ke Puncak Budug Asu, yaitu sedia sarung tangan. Sebab, gesekan tangan dengan tali tambang cukup membuat iritasi bagi yang mempunyai kulit sensitif, agar tidak luka apalagi sampai berdarah.


Tanjakan curam Budug Asu yang licin tanpa anak tangga, hanya dibantu seutas tali tambang (kiri) dan trek menuju puncak dengan anak tangga dan seutas tali tambang/Dodik Suprayogi
Cerah dengan Sedikit Gerimis di Puncak
Pukul 10.15 saya tiba di puncak. Terlihat dua tenda besar berdiri yang penuh dengan rombongan anak sekolah di depannya, Mereka sedang asyik bersenda gurau.
Memang, Puncak Budug Asu cukup luas hingga muat untuk mendirikan 20 tenda. Dari ketinggian, terlihat pemandangan hamparan kebun teh Wonosari menghijau.
Banyak kegiatan yang bisa dilakukan di puncak, salah satu yang lazim adalah foto bersama plakat bertuliskan “Puncak Budug Asu. Tanda jika sudah berhasil hingga puncak. Sementara muda-mudi dari kejauhan sedang asyik joget-joget ala Tiktok, memperlihatkan dari golongan mana mereka lahir: Gen-Z.
Saya tidak berlama-lama di puncak, hanya kurang lebih 30 menit. Istirahat sejenak untuk minum air putih dan ngemil sedikit snack untuk menambah asupan energi. Cuaca kemudian sedikit gerimis dan kabut mulai tampak, sehingga saya bergegas untuk segera turun.


Memahami Pakaian yang Sesuai untuk Pendakian
Menjadi kegelisahan saya di tengah tren pendakian masa kini, ketika pendakian menjadi ajang adu pakaian (outfit). Terutama di kalangan pendaki Gen-Z, yang jauh sekali dari prinsip safety alias menjaga keselamatan.
Dahulu saat diklat pencinta alam atau pramuka, saya diajarkan tata cara berpakaian di alam bebas, khususnya saat mendaki gunung. Pengetahuan ini penting karena di alam bebas semua hal bisa saja terjadi, sehingga perlu disiapkan dengan matang. Saya memerhatikan, ada pendaki yang hanya memakai sandal jepit dan celana boxer. Ini sangat tidak sesuai dengan cara berpakaian di alam bebas. Semua ada normanya.
Memang, aktivitas di alam bebas itu bakal memproduksi keringat yang banyak dan bikin gerah badan. Namun, keselamatan diri tidak kalah penting. Pilihlah pakaian yang ringan dan tidak bikin gerah, tetapi tertutup, Meminimalisasi terjadinya luka atau iritasi pada kulit. Sekarang sudah banyak yang jual di lokapasar (marketplace). Lalu alas kaki yang empuk dan bisa melindungi kaki dari benturan benda keras juga penting, seperti sepatu atau sandal gunung khusus untuk trekking atau hiking.
Outfit yang bermerek itu tidak salah, tetapi pakaian yang tepat jauh lebih penting. Jangan lupa sedia sarung tangan, karena tali tambang di Budug Asu tajam.

Mendaki dengan Hati Gembira
Selain niat yang bersih, pendakian ke Puncak Budug Asu juga perlu hati yang gembira alias hati yang kuat. Mengapa begitu?
Sejauh mata memandang, banyak pendaki yang mountain date alias kencan di gunung, Selain itu, Puncak Budug Asu juga menjadi idola destinasi hiking keluarga. Tidak sedikit saya melihat “keluarga cemara” yang sedang hiking di sini: ayah, ibu dan anak-anaknya. Sungguh pemandangan menyejukkan.
“Kok sendirian saja, Mas?” tanya seorang bapak yang sedang menggendong buah hatinya, kira-kira umur tujuh tahun, sembari menggandeng tangan sang istri tercinta. Bagi pendaki solo macam saya, hati yang gembira sangat diperlukan jika mendapati kondisi tersebut agar dijauhkan dari sifat iri dan dengki.
Bagaimana, tertarik mendaki ke Puncak Budug Asu?
Kenali Indonesiamu lebih dekat melalui Instagram dan Facebook Fanpage kami.
Tertarik buat berbagi cerita? Ayo kirim tulisanmu.