Hanya dibatasi selat sempit dengan dataran Kalimantan, Pulau Burung termasuk dalam wilayah administrasi Kecamatan Simpang Empat, Kabupaten Tanah Bumbu, Kalimantan Selatan. Pulau yang sekaligus merupakan nama desa ini ditunjuk menjadi taman wisata alam (TWA) di Tanah Bumbu sejak 2019. Segera setelahnya, pulau ini populer menjadi destinasi wisata alternatif. Unggahan di sosial media dan komentar tentang keindahan pulaunya menghiasi beranda sosial media warga Tanah Bumbu. Namun, di balik gembar-gembor destinasi wisata yang dipromosikan, Pulau Burung masih perlu dukungan pengembangan wisata berkelanjutan.
Pagi itu, saya bergabung dengan rombongan Komunitas Pegiat Gambar Tanah Bumbu untuk sama-sama menjelajah alam dan folklor di Pulau Burung. Perjalanan ke Pulau Burung dimulai dari dermaga kecil di Pelabuhan Borneo milik warga setempat di Simpang Empat. Sebuah dermaga kayu panjang tempat penyeberangan ke pulau-pulau kecil di sekitar perairan Tanah Bumbu dan Kotabaru. Untuk hari-hari biasa, ongkos menyeberang ke Pulau Burung dikenakan tarif Rp20.000 pulang pergi.
Perahu dikemudikan pelan, meninggalkan lumpur kecokelatan dengan ikan-ikan timpakul yang berkejaran di pasir. Semakin jauh dari dermaga, air laut memamerkan gradasi warna dari yang awalnya cokelat menjadi hijau kebiruan. Sepanjang perjalanan menuju Pulau Burung, pemandangan hutan bakau silih berganti dengan jejeran kapal-kapal berukuran raksasa milik perusahaan yang sedang tertambat.


Perjalanan cukup singkat, hanya sekitar 30 menit. Begitu tiba di Pulau Burung, kami disambut gerbang besar dengan cat warna-warni bertuliskan nama institusi. Kapal pun bersandar di dermaga kayu panjang, mengarahkan kami melewati keramba-keramba kosong sebelum menuju rumah warga yang berkelompok di tepi pantai.
Sambil menunggu kedatangan rombongan berikutnya, kami mengisi waktu dengan menyusuri titian kayu yang mengelilingi hutan bakau di tepi pulau. Titian yang kukuh dari kayu keras, tetapi beberapa titik sudah rapuh dan ada kayu pijakan yang lepas. Ternyata, titian ini tidak bisa tersambung ke ujung pulau satunya karena ada pembangunan menara penyambung kabel listrik. Kami berbalik arah dan memutuskan beristirahat di bangunan terapung di tepi pantai yang difungsikan menjadi aula.
Begitu rombongan kedua datang, kami duduk membentuk bundaran dan Bang Zak, kami biasa memanggil, selaku ketua komunitas Kopi Ambar, membuka acara dan menjelaskan tujuan kegiatan hari ini. Setelahnya, para peserta berdiskusi terkait praktik penulisan buku bermuatan lokal berjudul Maddonrosulu, sebuah kumpulan cerita penulis lokal yang berlatarkan Kabupaten Tanah Bumbu. Begitu acara berakhir, kami melanjutkan perjalanan ke rumah Ibu Harmawati.

Legenda yang Hidup
Hj. Harmawati, seorang tokoh berpengaruh di Pulau Burung sekaligus pendiri SDN Tunas Nelayan. Pada masanya, ia seorang diri menjadi guru dan mengajar warga desa agar tidak buta huruf. Tidak tanggung-tanggung, demi mendukung pendidikan di desanya, ia menyumbangkan lahan untuk dibangun gedung sekolah, meskipun hanya dengan ruang kelas yang sederhana. Hal yang sudah sangat langka di masa sekarang. Dedikasi dan perjuangannya menjadikan Pulau Burung bukan hanya tempat tinggal warga, melainkan juga contoh perubahan bagi generasi muda.
Dibantu oleh Kepala Desa Pulau Burung Saidina, yang merupakan keponakan Harmawati, kami diceritakan tentang asal usul Pulau Burung dengan legendanya yang berkaitan dengan Pulau Suwangi, yang terletak di bagian bawah Pulau Burung. Sebelum adanya manusia yang mendiami, pulau ini merupakan perwujudan dari ular raksasa yang mati akibat kalah bertarung dengan ular raksasa lainnya. Legenda ini diceritakan lisan secara turun-temurun dan memiliki banyak versi. Namun, versi yang diyakini masyarakat adalah versi miliki Harmawati.
Kisah ini pun diikuti dengan legenda lainnya yang masih hidup di Pulau Burung. Legenda Batu Beranak misalnya, yang dikait-kaitkan warga sekitar sebagai gerbang menuju alam lain. Sayangnya, rombongan kami tidak bisa berkunjung ke situs tersebut karena juru kunci sedang pergi ke luar pulau. Pak Saidina menjelaskan situs ini dan situs legenda lainnya di Pulau Burung belum menjadi destinasi wisata dan hanya cerita saja yang beredar. Tentu ini bisa menjadi potensi wisata untuk menjadi atraksi menarik bagi pengunjung.
Legenda lainnya yang dijadikan tradisi tahunan warga adalah situs makam yang berada di bawah pohon beringin besar. Situs ini keramat karena ada cerita tentang pohon beringin yang bisa berdiri kembali setelah roboh. Tradisi kampung itu dikenal warga dengan ‘Mappanre Kampoeng’, sebuah acara tolak bala yang digelar setiap tahunnya. Ritus adat yang dilaksanakan selama bertahun-tahun ini merupakan kearifan lokal warga desa dalam menjaga hubungan mereka dengan alam dan penciptanya.

Menuju Wisata Alternatif
Keheningan Pulau Burung memberi kesan bahwa waktu seakan berhenti, membawa kami ke dalam sebuah dunia yang jauh dari hiruk-piruk kehidupan kota. Dengan statusnya sebagai pulau wisata, belakangan pulau ini menjadi rebutan klaim-klaim sepihak oleh suatu instansi tertentu sebagai desa binaan. Padahal nyatanya mereka lebih fokus pada urusan simbolis dibandingkan pembinaan yang berdampak. Misalnya saja pada pengecatan gerbang selamat datang yang seolah telah ada perhatian pada pulau ini.
Padahal, dengan jarak yang begitu dekat dengan pusat modernisasi Kabupaten Tanah Bumbu, masyarakat di Pulau Burung belum menikmati listrik sepenuhnya. Belum lagi membicarakan pendidikan, layanan kesehatan, dan infrastruktur lainnya. Kehadiran gapura dan cat yang baru tidak serta-merta membawa dampak positif atau perubahan signifikan bagi kehidupan mereka. Instansi yang mengklaim pulau ini sebagai desa binaan seharusnya berfokus pada pemberdayaan masyarakat dengan program-program yang mendalam, seperti pelatihan keterampilan, pemberian akses pendidikan, dan perbaikan fasilitas dasar.
Mengenai desa binaan dan desa wisata, Pulau Burung merasa lelah untuk terus-terusan mengikuti lomba desa. Hadiah yang tidak sebanding dengan usaha, harus bekerja mempercantik desa, meningkatkan administrasi, dan memenuhi berbagai indikator penilaian, tetapi tidak terlalu banyak memberikan manfaat nyata bagi masyarakat yang akhirnya tidak terasa signifikan. Sebuah ironi yang kerap ditemui di desa-desa wisata lainnya.
Berbagai pihak berwenang perlu duduk bersama mengupayakan ini. Meski potensi wisata sebuah desa cukup besar, tetapi tanpa adanya komitmen Pemkab Tanah Bumbu dan pihak lain, hal ini bisa menghambat kemajuan desa wisata. Tentu saja, warga berharap dukungan pemerintah terhadap inisiatif mereka—memajukan desa sendiri di tengah keterbatasan akses dan fasilitas—sudah semestinya diapresiasi.

Jalan Panjang Desa Wisata
Terdapat kelompok budidaya mangrove di Pulau Burung, dimulai sejak 2006 oleh kelompok ibu-ibu warga desa setempat. Kelompok ini telah berkembang menjadi pemasok bibit mangrove ke berbagai daerah. Pembibitan ini tidak hanya untuk tujuan rehabilitasi ekosistem pesisir, tetapi juga peluang ekonomi bagi masyarakat setempat. Dengan kondisi lingkungan yang mendukung, kelompok ini mampu menjadi salah satu sentra penyedia bibit mangrove yang berperan dalam program konservasi di luar daerah.
Selain manfaat ekologis dan ekonomi, masyarakat Pulau Burung juga memanfaatkan kulit batang mangrove sebagai pewarna alami sasirangan, kain tradisional khas Kalimantan Selatan. Warga mengetahui bahwa kulit batang mangrove kaya akan tanin, yang memberikan warna khas pada kain. Meskipun dalam proses pewarnaannya tetap memerlukan tawas sebagai bahan fiksasi agar warna lebih tahan lama. Pemanfaatan ini menunjukkan peran mangrove dalam pelestarian lingkungan dan budaya lokal melalui kriya tekstil yang bernilai ekonomi tinggi.

Menjelajah Pulau Burung menyadarkan saya bahwa desa ini memiliki keunikan tersendiri. Tidak hanya alam, tetapi juga sejarah dan budaya. Bahkan saya baru tahu, Ibu Harmawati merupakan salah satu dari seribu wanita berpengaruh di dunia versi 1000peacewomen.org pada tahun 2005.1
Selain itu, ada banyak situs yang berpeluang dijadikan wisata alternatif. Bahkan sekolah dasar dan cerita inspiratifnya berpotensi menjadikan Pulau Burung lebih dari sekadar pulau kecil, tetapi juga pusat warisan pendidikan dan budaya yang patut dijaga.
Kenali Indonesiamu lebih dekat melalui Instagram dan Facebook Fanpage kami.
Tertarik buat berbagi cerita? Ayo kirim tulisanmu.
- Muhammad Helmi, Masuk 1000 Wanita Terbaik Dunia yang Diusulkan untuk Nobel Perdamaian, https://radarbanjarmasin.jawapos.com/feature/1973144198/masuk-1000-wanita-terbaik-dunia-yang-diusulkan-untuk-nobel-perdamaian?page=2, 22 September 2021. ↩︎