Kalau aku disuruh bercerita tentang Jogja tidak akan ada habisnya. Biasanya setiap berkunjung ke kota itu aku pasti datang bersama bapak, ibu, atau eyang. Namun perjalananku kali ini berbeda. Untuk pertama kalinya aku berkunjung seorang diri, benar-benar sendiri. Waktu itu aku berangkat dari Semarang hari Sabtu pagi pukul 6.30 dengan travel.

Karena masih hari kerja, tentunya aku harus melaksanakan kuliah daring di perjalanan. Beruntungnya hari itu adalah hari terakhir perkuliahan sebelum ujian. Jadi dosen hanya memberikan materi dan penugasan.

Sampai di Jogja aku langsung tancap gas menyelesaikan tugas dan mengumpulkan materi untuk bahan ujian di hari Senin. Nyaman dengan suasana yang berbeda dari rumah membuatku bersemangat. Rasanya tugas-tugasku selesai dalam waktu singkat. Setelah bergelut dengan tugas aku menarik selimut hingga fajar kembali nampak. Begitulah hari pertamaku di Jogja—menikmati perjalanan, menyelesaikan tugas, lalu tidur dengan nyenyak.

Minggu pagi aku dibangunkan suara ayam milik tetangga dan sinar surya yang menyelinap masuk melalui jendela kamar bertirai merah. Aku beranjak dari kasur lalu merapikan selimut yang menghangatkan tubuhku semalaman.

Pagi itu cuaca sangat cerah. Aku duduk di teras menikmati angin sejuk khas desaku sambil ditemani gemercik air sungai di samping rumah. Air mengalir tak terlalu deras, terkadang juga ada sekelompok bebek dan angsa mandi di sana. Sesekali aku berdiri memandangi hamparan sawah di sana.

Seekor ngengat hinggap di semak-semak belakang rumah/Anggardha Paramita

Tergiur hamparan hijau yang indah, aku pun berjalan menuju sawah. Ada beberapa bukit yang bisa kulihat dari sini, salah satunya yang biasa disebut penduduk desa sebagai Gunung Gedhang. Sungguh, suasana ini yang selalu membuatku rindu dengan Jogja.

Siang harinya aku sibuk membantu kedua “kakak” sepupu menyelesaikan tugas sekolah. Keduanya memang masih SD dan SMP. Namun karena ayah mereka adalah kakak dari ibuku, aku memanggil dengan sebutan “mbak”. Rupanya mereka tak mau membuang kesempatan ini. Lama tak bersua, aku diminta membantu menyelesaikan tugas sekolah mereka minggu ini. Tugasnya yang satu membuat video memasak, yang satu lagi membuat video membaca. Membuat video memang bukan keahlianku, tapi kalau sekadar untuk tugas anak SD dan SMP aku yakin karyaku masih layak pakai.

Selesai membuat tugas sembari bercengkerama, kedua kakakku bermain layang-layang dengan ayahnya. Kata pakde, layang-layang memang sedang marak saat itu. Aku tidak bergabung dengan mereka. Aku sudah berencana untuk belajar di luar rumah dan mencetak beberapa materi untuk dipelajari karena besok akan ada ujian.

Setelah bersiap aku menggendong tas dan mengaktifkan Google Maps. Walaupun sering pulang ke Jogja, sudah kubilang bahwa ini adalah kali pertamaku berpergian sendiri. Aku pergi mengendarai Vario merah milik pakde. Baru menempuh perjalanan sekitar lima menit gerimis mulai datang. Pikirku sebentar lagi pasti reda, jadi aku tak mengeluarkan jas hujan. Ternyata benar, setelah berjalan agak jauh menyusuri Selokan Mataram gerimis pun berhenti.

Sampai di tempat tujuan aku bersyukur sore itu belum banyak pengunjung yang datang. Jadi aku tak perlu putar balik mencari tempat lain. Maklum, menempuh pendidikan di bidang farmasi membuatku waspada dengan COVID-19. Mencari tujuan untuk didatangi pun aku jadi sangat pemilih dan punya banyak hal yang dipertimbangkan.

Tempat yang aku kunjungi ini adalah sebuah kafe milik seniman muda Indonesia yang karya-karyanya sangat inspiratif. Bernama Rumah Senja dan Pagi, pemiliknya adalah Alffy Rev. Bangunannya sederhana dan masih erat dengan budaya Jawa. Meja pengunjung tertata sedemikian rupa dalam sebuah joglo dan ada juga yang di luar. Suasananya pun sangat artistik. Lampu mewah dengan sinar kuningnya menggantung di tengah joglo. Dinding, meja, dan kursi yang ada hampir semuanya dilukis sangat teliti dengan kata-kata motivasi.

RUmah Senja dan Pagi/Anggardha Paramita

Aku memilih duduk di kursi depan meja biliar. Setelah memesan, aku mengeluarkan laptop dan mulai mengulang materi kuliah dari dosen. Sesekali aku melihat pengunjung mulai mengayunkan tongkat mendorong bola yang ada di meja itu. Beberapa pengunjung juga mulai berdatangan dan ada yang sudah pulang. Terlalu asyik mengulang materi kuliah dan membaca artikel, ternyata aku sudah berada di kafe ini lebih dari dua jam. Tak heran aku lupa waktu. Suasana di tempat ini memang cocok dengan seleraku. Tak ingin sampai rumah terlalu larut aku pun berkemas dan melanjutkan perjalanan.

Dari kafe aku mengendarai motor menuju kota. Aku melewati Tugu dan berjalan lurus menuju Universitas Gajah Mada. Kawasan kampus terlihat lebih sepi dibandingkan biasanya. Pikirku mungkin karena dampak kuliah daring. Aku pun tak menemukan tempat untuk mencetak materi kuliah.

Alih-alih langsung pulang, aku mengendarai motor dan berkeliling kota. Tak pernah bosan, aku selalu senang menyusuri jalanan Malioboro sampai Keraton. Berkendara tanpa tujuan khusus sembari mengamati suasana jalan yang dilewati memang sudah jadi hobiku.

Aku tiba di rumah jam 9 malam. Sebelum tidur aku sempat merapikan materi yang telah kucetak di dekat Pasar Godean. Beruntung ada tempat fotokopi yang masih buka saat perjalanan pulang.

Keesokan harinya aku bangun lebih pagi. Ini adalah hari Senin, hari terakhirku di Jogja. Aku mengemas barangku karena sore nanti harus kembali ke Semarang. Jam 10 pagi aku melaksanakan ujian daring terlebih dahulu. Hal ini adalah pengalaman baru untukku.

Tadinya aku berencana untuk bertemu dengan kawan jauh sebelum kembali ke Semarang. Dia menghubungiku bahwa sedang melaksanakan tes masuk Angkatan Udara di Jogja. Sayang sekali jadwal ujiannya belum selesai hingga sore hari, sedangkan aku harus segera pulang. Kami pun sepakat untuk menunda rencana ini karena tak ingin membebani satu sama lain.

Plengkung Gading/Anggardha Paramita

Masih ada waktu sekitar 1,5 jam sebelum travelku datang. Aku memikirkan hal lain daripada harus duduk dan menunggu. Akhirnya aku mampir dulu ke Alun-alun Kidul dan berjalan menelusuri trotoar di sepanjang alun-alun dan gang di sekitarnya. Suasana sore itu belum terlalu ramai. Para pedagang pun baru sedikit yang datang dan menjajakan sajiannya. Aku mampir di sebuah angkringan untuk mengganjal perutku yang mulai menggerutu karena melewatkan makan siang.

Pukul 16.00 aku melanjutkan perjalanan, melewati beberapa warung di rumah warga, bertemu dengan banyak becak di tepi jalan, dan menyebrangi Plengkung Gading. Tepat pukul 16.30 travel yang aku pesan membawaku kembali ke Semarang.

Oh, ya, aku lupa bercerita. Perjalananku ke Jogja kali ini tepat pada peringatan hari kesehatan jiwa. Tujuanku ke sini memang bukan untuk berlibur, maka dari itu aku datang sendiri. Bagaimanapun aku harus tetap bijak menghadapi rutinitas yang monoton selama di rumah saja. Aku berniat menemukan suasana baru dalam perjalananku dan memberikan ruang untuk memperbaiki diri, karena, mengutip sebaris kalimat dalam One Tree Hill, “If there is no breaking then there is no healing, and if there is no healing then there is no learning.”

Tinggalkan Komentar