Di antara riuh rendahnya tempat yang berjuluk “Kota Pelajar”, sebuah kampung hangat bernama Prawirotaman perlahan berubah menjadi dunia kecil yang berbeda. Gang-gang sempit yang dulunya disesaki oleh lalu-lalang warga lokal, kini bersolek layaknya galeri seni terbuka. Tembok-tembok gang menjadi kanvas lepas, diwarnai mural dan grafiti nyentrik yang tak hanya mencuri perhatian, tapi juga menggoda lensa kamera wisatawan. Aroma cat semprot berpadu dengan kopi artisan, lalu suara gamelan dan keroncongan berganti petikan gitar dan tabuhan drum dari bar-bar kecil yang terdengar hingga larut malam.
Dulu, orang berdatangan ke Yogyakarta untuk mencari ketenangan dan keberagaman budaya. Murahnya angkringan, hotel melati yang tarifnya tak lebih dari harga tiket bioskop, dan suasana santai yang membuat siapa pun ingin berlama-lama.
Namun, saya selalu percaya bahwa Yogyakarta tak akan berubah menjadi kota serupa Jakarta. Ia akan tetap istimewa dengan kesederhanaannya. Tak hanya populer karena keberagaman destinasi wisata dan melekatnya unsur budaya, tapi juga identik dengan “murah meriahnya”. Keyakinan itu bukanlah datang dari serbuan video yang selalu dibalut dengan narasi hiperbolis dari kreator konten, melainkan rentetan cerita autentik mereka yang telah lebih dulu menginjakan kaki di kota ini: teman sejawat, tetangga, hingga abang-abangan di kampus.
Konon, dengan uang seratus ribu, mereka bisa bertahan hidup seminggu di Yogyakarta. Katanya, di sana masih banyak makanan di bawah harga Rp5.000 dan sudah bisa bikin perut kenyang. Tapi itu dulu. Hari ini, saya duduk di salah satu bar di jantung Prawirotaman. Menu ditulis dengan spidol putih di papan hitam, lampunya temaram, musik jazz yang mengalun pelan, dan harga softdrink serupa Coca-Cola dibandrol dengan harga Rp30.000-an. Meski awalnya cukup kaget, tapi saya mulai sadar bahwa saat ini saya tengah duduk di dalam bar, bukan di warung-warung pinggir jalan. Terlebih di antara para wisatawan mancanegara yang tengah bervakansi di tempat yang sama.
Prawirotaman kini tak lagi sekadar kampung. Ia menjelma serupa kota dalam kota: tempat segala hal yang “instagramable” menyatu dalam satu zona eksklusif. Di tengah euforia malam di pusat Prawirotaman, gerobak bakso Malang dan siomay Bandung menepi diantara sederet gerai bakery dan restoran ala Western dan Asia. Beberapa orang menyebutnya sebagai pluralitas. Tapi buat saya, ini semacam distorsi.


Plang utama Jalan Prawirotaman (kiri) dan aneka plang petunjuk arah menuju sejumlah penginapan/Yayang Nanda Budiman
Hidup di Yogyakarta Tak Lagi Murah
Saya tak ingin dicap sebagai lelaki tua yang selalu meromantisasi masa lalu dan menolak perubahan. Namun, ada yang terasa ganjil tatkala mitos murahnya hidup di Yogyakarta terus dipamerkan, padahal realitasnya sudah jauh berbeda dari apa yang diceritakan. Seolah-olah kota ini dipoles eksklusif untuk turis, tetapi perlahan ia melupakan warganya sendiri.
Merujuk pada data Badan Pusat Statistik (BPS), Upah Minimum Provinsi (UMP) Daerah Istimewa Yogyakarta pada tahun 2025 adalah Rp2.264.080,95. Meski telah mengalami kenaikan sekitar 6,5% dari tahun sebelumnya, tetapi angka ini masih tergolong rendah jika dibandingkan dengan daerah lain di Pulau Jawa.
Bahkan jika kita melihat biaya sewa kos di sekitar Prawirotaman dan pusat kota, kini bisa menyentuh Rp1.000.000–1.500.000 per bulan untuk kamar standar. Itu pun belum termasuk biaya listrik, uang makan, transportasi, dan kebutuhan harian lainnya. Biaya tersebut hampir serupa dengan kota Bandung yang mempunyai upah minimum dua kali lipat jauh lebih besar, yakni Rp4.482.914,09.
Tak hanya soal biaya hidup dan sewa kamar kost yang melangit, harga makanan pun tampaknya kian mengikuti arus tren yang populer. Meski bukan bermaksud menyamaratakan, tetapi saya mengalami ketika makan seporsi bakmi godog Rp30.000, nasi goreng serupa daerah lain Rp15.000, bahkan sebungkus nasi ayam geprek di tempat yang dulu saya kenal, kini tak lagi bisa ditebus dengan uang Rp10.000. Tak cuma itu, angkringan yang selalu menjadi primadona kota ini pun kini banyak yang memasang harga lebih tinggi. Sebab, mereka tak hanya melayani pelanggan lokal, tapi juga wisatawan.
Ketika saya bilang di Yogyakarta sudah tak lagi murah, sebagian orang menjawab “Kalau kamu pintar cari tempat, Yogyakarta masih banyak tempat makan yang murah.” Mungkin pendapat itu benar. Tapi yang murah sulit ditemukan di pusat kota, apalagi di daerah populer seperti Prawirotaman.
Yogyakarta memang masih mempunyai segudang sudut yang menawarkan kesederhanaan. Akan tetapi, kesederhanaan itu perlahan tersingkirkan oleh euforia. Prawirotaman adalah simbol pesta dan kesenangan. Kawasan ini tak lagi bicara soal budaya lokal yang otentik, tapi perihal estetika mancanegara.


Akankah Yogyakarta Kembali Murah Meriah?
Jalan Prawirotaman kini menjadi nama kedua yang terlintas usai Malioboro, ketika orang berbicara tentang liburan di Yogyakarta. Popularitasnya kian melesat, terlebih setelah film Ada Apa dengan Cinta 2 mengambil beberapa adegan di tempat ini. Dikenal dengan sebutan “kampung turis” atau “Balinya Yogyakarta”, di antara mural-mural berwarna dan lampu-lampu jalan yang temaram, Prawirotaman mengajarkan satu hal: bahwa di kota ini, jarak antara rumah dan petualangan hanya selembar peta.
Dan Jogja, saya tak bisa menyalahkan atas kepudaran nilai murah meriahnya. Bagaimanapun, kota ini dipaksa untuk ikut bergerak oleh zaman yang berubah terlalu cepat. Ia tak sempat menolak, bahkan mungkin tak diberi pilihan. Mitos tentang hidup murah di Yogyakarta tetap dirawat rapat-rapat, dipoles dalam konten sosial media penuh nostalgia.
Seolah kota ini adalah jawaban bagi mereka yang lelah dengan kepadatan dan mahalnya hidup di Jakarta dan sekitarnya. Namun, kenyataan berbanding terbalik. Murahnya Jogja kini hanya romantisme masa lalu—kenangan yang ditawarkan dalam bentuk unggahan feed Instagram, bukan kenyataan yang bisa kita genggam.
Dan ketika saya duduk terdiam di sebuah kafe di Prawirotaman, menyeruput kopi sambil memotret mural di seberang jalan, ingatlah: di balik dinding dan lorong sempit gang itu, masih ada kehidupan lain yang jarang terekam di media sosial. Ada keriangan anak-anak yang bermain di pelataran rumah yang terbatas, ibu-ibu yang menjemur pakaian dan seorang bapak yang membetulkan rantai sepedanya. Ada banyak sudut Jogja yang orisinal, tak estetik—tapi nyata—menyaksikan euforia dari kejauhan dalam keheningan.
Di tengah terbukanya ruang Prawirotaman untuk setiap orang yang menikmati Yogyakarta, ia adalah ruang yang harus tetap kita jaga. Bukan hanya untuk para tamu yang datang dan pergi, melainkan juga tuan rumah yang lahir dan menua bersama kenangan kota ini.
Kenali Indonesiamu lebih dekat melalui Instagram dan Facebook Fanpage kami.
Tertarik buat berbagi cerita? Ayo kirim tulisanmu.