Kali ini, saya mengeksplorasi eksistensi perkebunan tembakau terbaik di bekas wilayah Karesidenan Surakarta. Saya pergi ke Kecamatan Kebonarum, Klaten, untuk melihat sisa kejayaan perusahaan tembakau di sana, di antaranya los mbako atau los tembakau, tempat pengeringan tembakau dan pabrik tembakau Kebonarum.
Pada masanya, terutama saat puncak kejayaan sekitar tahun 1930, tembakau Kebonarum masyhur dengan kualitas ekspor terbaik hingga ke Eropa. Kota Bremen di Jerman merupakan pasar utama tembakau Kebonarum untuk dijadikan cerutu dan dijual kembali ke kota lain di Benua Biru.
Namun, persaingan industri tembakau di Pulau Jawa yang semakin ramai memaksa Kebonarum yang sudah eksis sejak abad ke-19 kian terpuruk. Saat ini area yang dulunya menjadi perkebunan tembakau Kebonarum telah berubah menjadi ladang sawah dan kebun warga.
Saya tidak datang sendirian. Seorang rekan asli Klaten, Mbak Galih, ikut menemani saya menjelajah Kebonarum. Penelusuran awal kami fokuskan di sisi selatan antara pabrik pengolahan tembakau Kebonarum dan Desa Basin.
Jejak Pabrik dan Los Tembakau di Kebonarum
Industri tembakau di wilayah Klaten dikelola oleh N. V. Klattensche Cultuur-Maatschappij sejak pertengahan abad ke-19. Inisiator awal, Mendez da Costa, pertama kali membuka di daerah Gondang. Barulah berikutnya menyebar ke wilayah lain, salah satunya Kebonarum.
Perusahaan perkebunan tembakau biasa menyewa tanah milik Kasunanan Surakarta dalam jangka waktu lama. Tanaman tembakau ditanam sekitar bulan Juli–September, saat musim kemarau tiba. Meski begitu, tetap ada aliran air untuk menjaga kestabilan tanah.
Biji pohon tembakau Kebonarum cukup langka di Hindia Belanda (Indonesia kala itu) karena diimpor langsung dari Bremen. Cara budidayanya langsung ditanam di tanah sampai masa panen. Setelah itu dikeringkan dengan bantuan bara api khusus di dalam los yang dilakukan malam hari.
Kemudian daun tembakau kering dikemas di pabrik Kebonarum dan langsung dibawa kembali ke Bremen untuk diolah menjadi cerutu. Sisa panen yang ada diolah kembali oleh pabrik tembakau Kebonarum. Karena produk tembakau sangat baik dan bernilai jual tinggi, dibangunlah proefstation voor Vorstenlandsche Tabak Onderneming atau laboratorium penelitian tembakau di kota Klaten pada 1898. Hingga saat ini fasilitas tersebut berada di bawah naungan Pusat Penelitian Tembakau PTPN X Persero Klaten.
Ada dua pabrik tembakau yang masih eksis hingga sekarang di Kecamatan Kebonarum, yakni pabrik Kebonarum dan pabrik Gayamprit. Sebagai areal perusahaan tentu dilengkapi fasilitas penunjang, salah satunya adalah los tembakau.
Los tembakau merupakan bangunan semipermanen berbentuk persegi panjang. Konstruksi utama berbahan bambu dengan atap pelana terbuat dari ijuk dan daun tebu kering, sedangkan dinding dibuat dari anyaman bambu. Los mbako biasa dibangun memanjang ke arah utara–selatan, tergantung kondisi geografis dan arah angin wilayah setempat.
Selain untuk tempat transit bibit sebelum ditanam, los juga berfungsi sebagai tempat pengeringan tembakau hasil panen. Cara mengeringkan daun tembakau antara lain diasapi dengan perapian sekam padi di malam hari. Setelah cukup kering, daun tembakau dibawa ke pabrik untuk pengolahan berikutnya.
Sejatinya, keberadaan los di Kebonarum cukup banyak. Namun, seiring perkembangan waktu mulai hilang menjadi lahan sawah. Sangat disayangkan, tetapi itulah faktanya. Untungnya kami masih menjumpai satu yang masih utuh sebagai monumen hidup kejayaan tembakau Kebonarum. Galih pun menyatakan hal senada. Kami bersyukur masih bisa mengabadikan los meski berada di desa lain.
Sisa-sisa Kejayaan dan Catatan Lainnya
Penelusuran berlanjut kembali ke arah sekitar pabrik tembakau Kebonarum. Menyaksikan sisa-sisa bangunan yang ada mesti tidak semua.
“Sisa paling jelas, ya, ini, Mas! Pabrik tembakau Kebonarum dan pabrik tembakau Gayamprit sekitar 2,5 kilometer dari sini [Kebonarum] ke utara,” jelas Galih.
Kedua pabrik tembakau masih tampak sebagai monumen hidup meski tidak lagi beroperasi. Pemicunya adalah kalah saing dengan perusahaan rokok besar seperti saat ini, sebab keduanya memproduksi tembakau linting.
Di saat sedang asyik mengobrol, tiba-tiba Galih melontarkan pertanyaan yang tidak saya pikirkan sebelumnya. “Mas, tadi lewat Gayamprit terus ke barat melewati depan SD Negeri Ngligi 1, kan?”
Rupanya, sebelum menjadi sekolah dasar saat ini, dahulunya merupakan rumah sakit perkebunan milik perusahaan perkebunan tembakau Kebonarum, yang juga digunakan oleh perkebunan tembakau Gayamprit. Hal ini disebabkan lokasinya tepat di antara kedua perusahaan perkebunan tersebut. Pikir saya, pantas saja letak sekolahnya unik karena ada di tengah hamparan sawah. Saya sering lewat, tetapi baru tahu sekarang.
“Mbak, proses pengeringannya, kan, menggunakan api. Apa tidak berbahaya dan menciptakan kebakaran losnya?” tanya saya ke Galih.
Merujuk pada catatan yang ia miliki, los tembakau milik perkebunan tembakau Kebonarum sering terbakar. Sejak zaman Belanda pun tercatat ratusan los di Klaten dilalap si jago merah. Api diduga muncul setelah proses pengeringan semalam selesai, lalu tidak dimatikan secara baik sehingga merambat ke konstruksi bambu.
Proses pengeringan yang berlangsung semalam selalu ditunggu para pekerja. Api yang dihasilkan pun tidak terlalu menyala besar, karena sejatinya yang dibutuhkan untuk pengeringan adalah kestabilan suhu dan uap yang dihasilkan untuk mengeringkan daun tembakau.
Sementara daun tembakau yang dikeringkan di los mbako tidak kalah sedap jika dibandingkan pengeringan secara terbuka di bawah sinar matahari langsung. Yang membedakan hanya waktu dan proses pengeringan, karena di los tembakau lebih rumit dan lama.
Saat proses itulah kadang api menyambar ke bagian lain yang mudah terbakar. Terlebih konstruksi los yang didominasi bambu dan ijuk, membuat api mudah menyala besar dan cepat.
“Apalagi kalau pekerja kelelahan setelah sebelumnya panen, terus melanjutkan pengeringan. Ini juga faktor utamanya, karena harus lek-lekan (jaga malam),” terang Galih.
Petani adalah profesi mayoritas di Kebonarum. Dahulu, jika memasuki masa tanam tembakau, para petani akan beralih sementara dari semula padi menjadi tembakau. Begitu juga sebaliknya. Namun, saat ini petani tembakau sudah jarang ditemukan. Mereka lebih memilih menjadi petani padi dan penggarap sawah milik orang lain. Bukan disebabkan oleh harga, melainkan lebih pada mudahnya perawatan dan lahan—yang kini dibebaskan untuk jalan tol—menjadi alasan mereka beralih profesi.
Kalaupun masih ada tanaman tembakau, biasanya milik perusahaan rokok yang menyewa lahan pertanian. Sewa perkebunan pun menyesuaikan waktu tanam setiap tahun. Lahan yang disewa pun tidak lagi ke perusahaan tembakau Kebonarum, tetapi tanah kas desa setempat.
Selesai masa tanam, tanah diolah kembali untuk perkebunan tahunan. Begitu seterusnya. Lahan perkebunan kini dikelola warga dan tidak untuk perusahaan pengolahannya. Saat ini, status sisa kejayaan perusahaan tembakau Kebonarum itu berada di bawah naungan PTPN X.
Begitu pula dengan lahan, yang dahulu digunakan sebagai los mbako di wilayah Kecamatan Kebonarum. Warga dan petani yang tinggal berdampingan pun tak mempermasalahkan hal tersebut. Mereka tetap bekerja seperti biasa di persawahan milik mereka.
Setitik Harapan
Puas menikmati areal sawah dan melihat lebih dekat los tembakau yang tersisa, kami putuskan kembali ke titik semula. Melihat sekali lagi sisa kejayaan tembakau Kebonarum. Dua pabrik pengolahan tersebut hingga kini masih berdiri tegak, memandang dengan angkuh siapa pun yang melintasi jalanan. Epik dan mewah, dua kata ini yang mungkin bisa menggambarkan betapa eksotisnya bangunan pabrik-pabrik tersebut.
Mungkin tidak semua orang mengetahui adanya pabrik tembakau Kebonarum, karena lokasinya yang jauh dari jalan utama Solo–Yogyakarta. Persisnya di jalur alternatif Yogyakarta–Boyolali. Tidak jauh dari kompleks pabrik gula Gondang Winangoen. Penampakan fisik pabrik Kebonarum bisa juga dilihat melalui citra peta digital.
Bagi yang ingin mengunjungi pabrik ini, tinggal berkendara sekitar 20 menit ke arah barat dari pertigaan lampu merah pertama Gondang Winangoen. Selanjutnya melalui Desa Basin sekitar 650 meter ke utara. Pabrik pengolahan tembakau Kebonarum berdiri tepat di sisi kiri jalan.
Senja mulai bergelayut. Penelusuran kami pun berakhir. Sebelum pulang, kami sempat menengok sisi barat pabrik. Tepat di belakang tembok pabrik, terdapat satu kompleks makam Jawa Islam. Awalnya saya berpikir kompleks makam pegawai pabrik dari Eropa atau kerkop, tetapi ternyata bukan.
“Kompleks makam Islam tua ini, Mas. Ya, mungkin saja, beberapa pegawai Eropa dari pabrik ini (Kebonarum) juga ada di sini,“ ujar Galih.
Sejatinya lazim kalau pegawai Eropa juga turut disemayamkan dengan makam Jawa Islam. Mereka memiliki hubungan pernikahan dengan salah satu perempuan priyayi wilayah setempat. Kompleks makam ini cukup tua, dibuktikan dengan salah satu epitaf nisan berangka 1832.
Saya dan Galih lantas mengirimkan doa untuk mendiang, sebelum berkemas untuk kembali ke kediaman masing-masing. Besar harapan kami perusahaan perkebunan tembakau Kebonarum dan Gayamprit tetap dipertahankan sesuai aslinya. Sebagai wujud perwakilan eksistensi di zamannya.
Kenali Indonesiamu lebih dekat melalui Instagram dan Facebook Fanpage kami.
Tertarik buat berbagi cerita? Ayo kirim tulisanmu.
Biasa dipanggil Benu. Asli anak gunung Merapi Merbabu. Sering nulis, lebih banyak jalan-jalannya. Mungkin pengin lebih tahu? Silakan kontak di Instagram saya @benu_fossil.