Jalan Pagongan di Kota Cirebon tak hanya menghidupi pengusaha interior rumah, tapi juga penjual daun pisang di pedestrian. Relasi pemilik toko dan pedagang kecil di sana sudah terjalin setengah abad lamanya.
Minggu (15/6/2025), Suradi tengah melipat daun pisang di sebuah emperan toko yang tutup. Lelaki 75 tahun itu tak sungkan bercerita tentang usaha yang dirintisnya sejak tahun 1975. “Kalau toko libur, saya jualan dari pagi sampai daun habis,” katanya.
Sementara di hari biasa, Suradi dan empat penjual daun pisang lain di kawasan Jalan Pagongan, mulai beraktivitas pukul 15.00 hingga malam. Memberi kesempatan konsumen leluasa mengunjungi gerai perlengkapan rumah di sana, tanpa harus terganggu kesibukan jual beli daun pisang di muka toko.
Masyarakat yang memerlukan daun pisang untuk pelbagai kebutuhan, sudah hafal jam buka penjual daun pisang di Jalan Pagongan. Suradi menawarkan 10 lembar daun pisang Rp10.000. “Stok setiap hari ada, pelanggan tak pernah kehabisan,” ucapnya.
Dia mendapat pasokan daun pisang dari perkebunan di wilayah Arjawinangun, Kabupaten Cirebon. Kapan saja Suradi minta dikirimi, penyuplainya siap sedia. Dalam satu kali orderan, dia menerima 30 ikat daun pisang. Per ikat ada 20 helai daun.
Selama 50 tahun menggeluti bisnis daun pisang, Suradi mampu menyekolahkan sepuluh anaknya hingga jenjang menengah atas. Di hari tuanya, warga Klangenan itu telah dikaruniai 30 cucu. Dia mensyukuri kehidupannya yang sederhana, tetapi terasa berkah.
“Apakah pernah libur berjualan?” tanya saya.
”Kalau capek, ya, libur,” sahutnya.


Tantangan Udara Panas
Beberapa waktu kemudian, saya melintasi Jalan Pagongan di sore hari. Mau tahu geliat penjual daun pisang ketika mentari rebah ke barat. Saya bertemu Satini yang sedang memelototi hape, sambil menjajakan daun pisang depan sebuah gerai keramik dan aksesoris pengaman rumah.
“Sejak buka tadi sudah banyak yang ambil,” ucapnya menjelaskan peruntungan hari itu. “Kalau yang sudah langganan, tinggal kontak saja. Nanti saya siapkan,” tambahnya.
Satini berjualan daun pisang di emperan toko milik warga keturunan Tionghoa sejak 25 tahun lalu. Hubungannya dengan pemilik toko cukup baik. Wanita 55 tahun itu diberi kebebasan berniaga selepas asar sampai rembulan berdinas.
Satini mendapat daun pisang dari Indramayu. Dia memborong 500 lembar daun setiap kali pemesanan. Salah satu pelanggannya adalah toko kue ternama, yang membutuhkan daun pisang untuk membungkus makanan ringan: lemper ayam.
“Konsumen saya lainnya suka bikin botok roti dan botok tahu,” bebernya menyebut dua kuliner tradisional yang dibalut daun pisang lalu dikukus.
Apa tantangan selama berbisnis daun pisang? Satini mengeluh udara panas kawasan pesisir menyebabkan daun mudah mengering. Jika daun sudah menguning kemudian kering, praktis tak dilirik pembeli. “Akhirnya jadi sampah,” katanya kecewa seraya menunjuk lembaran daun di pojokan yang sudah mengerut.
Satini menegaskan penjualan daun pisang berpacu dengan waktu. Ia berani memasang harga tinggi untuk daun yang baru dikirim alias masih segar. Penampakan daunnya hijau mengilap dengan permukaan lebar. “Semakin susut kualitas daun, harga kian rendah,” ujar ibu tujuh anak itu.
Di lapaknya, nenek sepuluh cucu itu membanderol sepuluh lembar daun pisang dengan mutu terbaik, Rp15.000. Lalu ada yang Rp10.000, Rp7.500 hingga Rp5.000. Menurutnya, pelanggan sudah paham kalau mau daun yang bagus, mesti merogoh kocek lebih dalam.
“Yang enggak pakai nawar lagi, biasa buat acara syukuran atau hajatan,” tutur Satini mengklasifikasi konsumennya.


Cerita Penjual di Pasar
Daun pisang klutuk merupakan unggulan kemasan pangan. Informasi ini saya dapat dari Heri, pedagang daun pisang di Pasar Kalitanjung, Harjamukti. Lelaki 33 tahun itu tak pernah absen memesan daun pisang klutuk dari Cianjur.
Pengakuannya, level daun pisang klutuk asal Cianjur adalah nomor satu di Jawa Barat. “Saya enggan coba dari tempat lain, sebab yang dari Cianjur sudah teruji,” kata lelaki yang tinggal 24 jam di kiosnya.
Heri menerangkan setiap hari dia order tiga koli daun pisang klutuk. Satu koli berisi 30 lempit; per lempit 20 lembar daun ukuran 120 cm x 30 cm. “Saya beli 260 ribu per koli,” bebernya.
Kepada konsumen, dia jual per lempit mulai Rp10.000, Rp15.000, dan Rp20.000. Tergantung kondisi daun. Kualitas jempolan, ukuran besar dan hijau segar, kena harga maksimal. Pembeli eceran tetap dilayani, per lembar Rp2.000.
Mengutip laman tabloidsinartani.com, pisang klutuk atau pisang batu, menghasilkan daun yang dibutuhkan banyak produsen olahan makanan. Pisang ini memiliki karakteristik helaian daun dengan lapisan lilin cukup tebal.
Heri menyebutkan kiriman dari Cianjur ke tempatnya, termasuk untuk pemesan di Pasar Jagasatru (Cirebon) dan Pasar Cilimus (Kuningan). Selama tiga tahun menekuni usaha daun pisang, dia memilih menetap di kios bersama keluarga kecilnya. Bukan tanpa alasan Heri mendiami ruang seluas 3×3 meter itu, karena kiriman daun pisang lazim tiba tengah malam atau dini hari.
“Kalau perjalanan lancar, jam 12 malam sampai. Jika kena macet, molor jam dua pagi,” katanya lantas mengungkapkan semakin lama di perjalanan, kualitas daun bakal berkurang. “Terkadang gosong terpapar panas mesin mobil,” sebutnya.
Pelanggan Heri mayoritas produsen lontong. Lainnya mencari daun pisang untuk menyajikan buras, aneka pepes, serta ragam kue tradisional. Saat saya berkunjung ke kiosnya, dagangan Heri sudah ludes. Menyisakan beberapa lempit daun pesanan. “Alhamdulillah, tadi pagi cepat habis. Nanti malam dikirim lagi,” ucapnya semringah.
Kemasan Makanan Organik
Tak dimungkiri, daun pisang adalah kemasan organik ramah lingkungan yang akrab dengan penganan khas Nusantara. Semisal di gerai Tegal Boys—pinggir Pasar Jagasatru—buras sayur, lemper abon, dan kue koci (papais monyong), tersaji dalam balutan daun pisang. Semua camilan di sana dijual Rp1.000. Murah-meriah untuk bekal anak sekolah atau pelengkap kenduri.
Penjual nasi bakar di Jalan Dukuh Semar, Abu Ghozi, juga memilih daun pisang sebagai pembungkus. Menurutnya, aroma khas daun pisang yang dipanggang di atas wajan, menembus nasi dan suwiran ayam. Membuat suguhan nasi bakar terasa nikmat. “Saya beli daun pisang di Jagasatru,” kata lelaki yang usahanya digandrungi para pemburu sarapan.
Saya mampir pula ke kawasan Kampung Arab. Di sana ada penjual bubur lolos dan kolak yang dipincuk daun pisang. Bubur lolos kesohor dengan mitosnya: memudahkan ibu yang mau melahirkan. Bubur yang dikemas lonjong ini, lembut sekali. Bisa langsung ditelan sekali makan. Harganya Rp3.500 per buah.
Saya juga mendatangi depot sayur, memotret tumpukan tempe yang dibalut daun pisang. Sejak lampau daun pisang bersahabat dengan tempe mentah. Termasuk bahan tempe mendoan—yang supertipis—dibungkus daun pisang, guna menunjang proses pematangan kedelai.
Terakhir, saya kunjungi warung kopi di jalur arteri pantai utara (pantura), yang terkenal dengan buras dage dan aneka gorengannya (pia-pia, gehu, mendoan). Pemilik warung, Herni menjelaskan, saban hari dia memerlukan 20 lembar daun pisang untuk membuat 100 buras.
Aktivitas berjualan selama 24 jam, ia lakoni bergantian dengan saudara sekampung. Maklum, warungnya yang dekat perhentian lampu merah menuju arah Jawa Tengah, laris diserbu sopir truk dan bus lintas Jawa yang tak lewat tol. “Dini hari hingga pagi pembeli datang. Lontong, buras, dan gorengan primadona di sini,” tuturnya bangga.

Makanan Kukusan Lebih Sehat
Saya termasuk penggemar makanan kukusan berdaun pisang. Nyonya di rumah kerap membuat pepes ayam, tahu dan jamur untuk lauk. Mengolah menu dengan cara ditim merupakan alternatif selain digoreng pakai minyak. Tentu saja lebih sehat, mengurangi kolesterol berlebih.
Biasanya kami mendapat daun pisang dari penjual sayur keliling. Per lembar Rp2.000. Sebenarnya pohon pisang mudah tumbuh di mana saja. Terutama lahan kosong yang gembur. Banyak pula berkembang di sempadan sungai. Kalau butuh daun pisang hanya sedikit, tanaman yang tak bertuan bisa kita manfaatkan. Ketimbang koyak diterpa angin lantas mati meranggas.
Foto sampul: Suradi setia berniaga daun pisang di trotoar Jalan Pagongan, Kota Cirebon, sejak tahun 1975 (Mochamad Rona Anggie)
Kenali Indonesiamu lebih dekat melalui Instagram dan Facebook Fanpage kami.
Tertarik buat berbagi cerita? Ayo kirim tulisanmu.